Senin, 20 Februari 2012

KEJUJURAN PRESIDEN JERMAN


Sungguh menarik, dalam kurun waktu dua tahun, Jerman kehilangan dua presiden. Bukan karena meninggal, melainkan karena mengundurkan diri.
            Dua puluh bulan lalu, Presiden Jerman Horst Koehler mengundurkan diri setelah dikritik media terkait dengan komentarnya tentang peran militer Jerman. Hari Jumat lalu, pengganti Koehler, yakni Christian Wulff, mengikuti jejak pendahulunya, mengundurkan diri setelah skandal korupsinya tercium media massa.
            Dalam kasus Koehler, satu hal yang perlu dicatat adalah seorang pemimpin tidak tidak boleh asal komentar; sebelum memberi komentar atau pernyataan harus memikirkan terlebih dahulu dampak dari komentarnya itu. Sebab, komentar seorang pemimpin ibarat sabdo pendito ratu, tidak asal ngomong, tetapi bisa dipegang.
            Lain lagi ceritanya dengan kasus Wulff. Ia mengundurkan diri bukan terkait omongannya, melainkan dengan tindakannya. Skandal yang menjerat Wulff pertama kali muncul Desember lalu.
            Skandal itu terjadi semasa Wulff masih menjadi Gubernur Negara Bagian Lower Saxony. Ia meminjam 650.000 dollar AS dari istri temannya. Diberitakan juga, seorang produser film, David Groenewold, telah membayari tagihan hotel presiden selama dua kali masa liburan. Hal itu tidak pernah diungkapkan oleh Wulff sebelumnya.
            Satu hal yang menarik adalah ketika mengumumkan pengunduran dirinya, Wulff mengatakan, “Saya telah membuat kesalahan, tetapi saya selalu jujur.” Karena merasa bersalah itulah, Wulff mengundurkan diri. Ia tahu diri bahwa tidak pantas lagi menjadi seorang pemimpin yang harus menjadi contoh.
            Setiap kali kita mendengar berita luar negeri, dari Negara sahabat, ada seorang pejabat tinggi entah menteri, entah perdana menteri, entah presiden mengundurkan diri karena terlibat kasus, setiap kali pula muncul pertanyaan: mengapa hal itu bisa terjadi di Negara lain, mengapa mereka bisa dan berani melakukan hal itu?
            Kita melihat pada diri mereka, termasuk Wulff, ada kemampuan untuk mengendalikan hasrat berkuasa. Hasrat berkuasa seorang pemimpin tidak boleh lebih besar daripada rasa pengabdiannya kepada masyarakat. Bukankah pemimpin harus mengemban amanat penderitaan rakyat, tidak terjebak oleh nafsu diri mempertahankan kekuasaan demi diri, keluarga, atau kelompoknya atau partainya.
            Dalam diri mereka, termasuk diri Wulff, ada nilai kejujuran; mengakui telah berbuat salah; bukannya malah menutup-nutupi dengan berbagao pernyataan; dan bukannya dilindungi oleh partainya. Mengutip pendapat filsuf Spanyol Baltasar Gracian, satu kebohongan akan menghancurkan semua reputasi dalam kejujuran. Seorang pemimpin yang tidak jujur akan kehilangan reputasinya.
Sumber: Opini, tajuk rencana, kompas 20 februari 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar