Sungguh menarik, dalam
kurun waktu dua tahun, Jerman kehilangan dua presiden. Bukan karena meninggal,
melainkan karena mengundurkan diri.
Dua puluh bulan lalu, Presiden Jerman Horst Koehler
mengundurkan diri setelah dikritik media terkait dengan komentarnya tentang
peran militer Jerman. Hari Jumat lalu, pengganti Koehler, yakni Christian
Wulff, mengikuti jejak pendahulunya, mengundurkan diri setelah skandal
korupsinya tercium media massa.
Dalam kasus Koehler, satu hal yang perlu dicatat adalah
seorang pemimpin tidak tidak boleh asal komentar; sebelum memberi komentar atau
pernyataan harus memikirkan terlebih dahulu dampak dari komentarnya itu. Sebab,
komentar seorang pemimpin ibarat sabdo
pendito ratu, tidak asal ngomong, tetapi bisa dipegang.
Lain lagi ceritanya dengan kasus Wulff. Ia mengundurkan
diri bukan terkait omongannya, melainkan dengan tindakannya. Skandal yang
menjerat Wulff pertama kali muncul Desember lalu.
Skandal itu terjadi semasa Wulff masih menjadi Gubernur
Negara Bagian Lower Saxony. Ia meminjam 650.000 dollar AS dari istri temannya. Diberitakan
juga, seorang produser film, David Groenewold, telah membayari tagihan hotel
presiden selama dua kali masa liburan. Hal itu tidak pernah diungkapkan oleh
Wulff sebelumnya.
Satu hal yang menarik adalah ketika mengumumkan
pengunduran dirinya, Wulff mengatakan, “Saya telah membuat kesalahan, tetapi
saya selalu jujur.” Karena merasa bersalah itulah, Wulff mengundurkan diri. Ia tahu
diri bahwa tidak pantas lagi menjadi seorang pemimpin yang harus menjadi
contoh.
Setiap kali kita mendengar berita luar negeri, dari Negara
sahabat, ada seorang pejabat tinggi entah menteri, entah perdana menteri, entah
presiden mengundurkan diri karena terlibat kasus, setiap kali pula muncul
pertanyaan: mengapa hal itu bisa terjadi di Negara lain, mengapa mereka bisa
dan berani melakukan hal itu?
Kita melihat pada diri mereka, termasuk Wulff, ada
kemampuan untuk mengendalikan hasrat berkuasa. Hasrat berkuasa seorang pemimpin
tidak boleh lebih besar daripada rasa pengabdiannya kepada masyarakat. Bukankah
pemimpin harus mengemban amanat penderitaan rakyat, tidak terjebak oleh nafsu
diri mempertahankan kekuasaan demi diri, keluarga, atau kelompoknya atau
partainya.
Dalam diri mereka, termasuk diri Wulff, ada nilai
kejujuran; mengakui telah berbuat salah; bukannya malah menutup-nutupi dengan
berbagao pernyataan; dan bukannya dilindungi oleh partainya. Mengutip pendapat
filsuf Spanyol Baltasar Gracian, satu kebohongan akan menghancurkan semua
reputasi dalam kejujuran. Seorang pemimpin yang tidak jujur akan kehilangan
reputasinya.
Sumber: Opini, tajuk
rencana, kompas 20 februari 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar