Jumat, 21 Desember 2012

DOA IBU



Lewat kata kau hadirkan aku
Senyawa dalam tubuh nyawaku
Adalah milikmu
Selantun kata membuai adalah doamu, ibu
Kendati kini anakmu sering hilang waktu
Hanya untuk menyebut namamu
Doamu senantiasa membuat ringan langkahku
Namun terkadang aku tak hirau ibu

Sabtu, 15 Desember 2012

MENGULANG WAKTU DI BAWAH PURNAMA



Aku melahirkan anak yang memajang bulan tepat pada purnama ke sepuluh
Maka berakhirlah aku sebagai perempuan pengganti malam menyetubuhi waktu waktumu yang kosong  serupa sebuah sebutan menanggalkan hari hari jahanam
Sisakan satu nama buatnya, tangisnya demikian kuat membelah langit dan masih ada tempat bagi suara bayi
Aku melahirkan kegaiban yang pernah kau sarangkan tepat pada dada yang retak
                                                            Pada rahim mengoyak
Hingga menandai tangisnya purnama tak henti menghamburkan cahaya ke segenap pelosok
Sinarnya demikian sempurna
Setiap malam aku berdiri di bawahnya, cahaya dalam kegelapan mata mengubah bulan persis
Menandai hari hariku yang pernah kosong
Setiap malam aku menatap bulan dan menanti tepat pada purnama ke sepuluh
Mengakhiri hari hariku yang mulai mengembang
Aku melahirkan anak yang memajang angin menggiring bulan melewati batas cahaya yang belum tersentuh menjadikan tanah tanah subur, menggiring cahaya hingga sampai pada kegelapan yang tak tergapai garis edarnya, menjamu dalam hidangan yang biasanya terlewatkan pada angka angka kalender buram termakan usia :
                                                                        demikian cepat hari berganti
Hingga berulang ulang melahirkan pada purnama yang sama
Mengulang waktu di bawah hujan cahaya

Jumat, 14 Desember 2012

POHON DEPAN RUMAHKU



Pohon depan rumahku daun daun yang memanggil melambai
Jendela tanpa kaca

Pohon depan rumahku daun daun yang selalu rajin menyapa
Pada setiap tamu yang datang membawakan cerita
Tidak pagi tidak siang tidak malam
Tidak hujan tidak terik di waktu kemarau yang pernah hilang
Selalu datang membawakan kembang sekeranjang untuk di tanam di halaman depan

Pohon depan rumahku daun daun yang tak pernah menguning
Saling bertegur sapa merencanakan perjalanan esok hari
Sembari mendengar suara nenek seakan melambai seperti dedaunan yang selalu hijau
Depan rumahku teduh berkata, “jangan terlalu jauh merantau”
Kudengar suara nenek mendinginkan angan yang lama terpendam
Hanya sebentar saja nek
Jangan, ujarnya pula
Siapa yang akan merawat pohon pohon rumah
Akan kubawa pohon itu serta ke tanah seberang
Dan tepat pada putaran purnama ketujuh benih itu mengembang sebagai dedaunan mati

Pohon depan rumahku daun daun yang mulai meninggalkan kehidupan
Menguning dan tak terawat
Seperti batu nisan membenam kematian tak memberi sapa
Dan nenek sudah tidak terbatuk batuk menggigit daun sirih
Tak terlihat di balik jendela
Tanpa kaca

Pohon depan rumahku daun daun yang mulai membakar riwayat
Tak serupa lambaian kedamaian menyambutku di kejauhan
Ribuan jarak yang panjang mengukur usia yang kian mudah dimakan waktu

Pohon depan rumahku daun daun tanpa kaca
Pintu tanpa terali
Derit daunnya tak pernah menyapa
Kapan engkau pulang
Nenek melepas uban yang bertemali di atas usiamu

Pohon depan rumahku daun daun yang memanggil melambai
Jendela tanpa kaca
Pintu tak bertulang
Daunnya mengaca
Tak memberi salam

Pojok Panjer 1984

Minggu, 09 Desember 2012

IBU GURU GINANTI



Siapapun melihat wajah bu guru Ginanti pasti akan senang, karena wajahnya cantik dan senyumnya penuh simpati. Sepertinya kalau melihat wajahnya dan sorot matanya yang demikian teduh, bu guru Ginanti tidak suka marah. Gilang paling suka melihat wajah bu guru yang cantik. Berbahagialah orang yang menjadi suami bu Guru Ginanti. Lelaki itu pastilah sangat beruntung dalam hidupnya dari sekian banyak laki-laki yang mendambakan untuk dapat memiliki wajah ayu dan secantik bu guru Ginanti. Lelaki manapun pastilah betapa bangganya jadi pelabuhan hati bu guru Ginanti. Pastilah banyak laki-laki yang menginginkan bu guru Ginanti. Dewi Sinta Prabawati, pacarnya Gilang saja sebagai seorang gadis juga sangat senang dan tertarik melihatnya, apa lagi laki-laki. Sesama perempuan saja mereka demikian kagum. Dan itu bukan cerita kosong. Lihat saja Anik, Reni, Ayu bahkan Ningsih dan entah teman teman yang lainpun tidak mampu menyembunyikan rasa kagum. Rasa kagum yang tidak dibuat-buat bahkan terlontar pujian dari bibir mereka. Atau di sela jam kosong selalu ngerumpi tentang Ibu guru Ginanti. Seolah dengan mengagumi bu Ginanti, aura kecantikan ingin juga disebar pada mereka semua. Dan pada akhirnya selain mereka semua meniru gerak-gerik bu guru yang satu ini, merekapun berlomba-lomba untuk tampil cantik.
            “Awas kalau tertarik padanya, Dewi nggak mau lagi temenan ama kamu,” Dewi Sinta Prabawati mengingatkan pacarnya yang diam-diam selalu melirik bu guru Ginanti.
            Gilang senyum-senyum saja di hadapan pacarnya. Nggak mungkinlah Gilang pacaran ama gurunya. Masak murid mau macarin bu guru? Kalau pak guru macarin muridnya yang perempuan sih ada.
            “Itu sih karena muridnya yang nakal,” Dewi jadi memperdebatkan masalah pacaran guru dan murid.
            “Iya, tapi pak gurunya nakal juga khan? ” Gilang tak mau kalah.
            “Muridnya juga kok”
            “Gurunya!!!”
            “Muridnya!”
            “Gurunya! “
            “Muridnyaaaaaaaaa…!!!” Dewi berteriak keras.
            “Eh, sudah! Sudah! Kok kita jadi bertengkar sih?” Gilang akhirnya senyum senyum mengalah sambil memeluk Dewi. “ Iya muridnya dah!”
            “Jelek, pringas-pringis gitu. Jelek! Aku ndak suka laki-laki prangas-pringis. Jelek, tauu!!?? jelek! Jelek!!” Kontan Dewi mencubit pacarnya.
            Gilang meringis.
            Kalau Bu guru Ginanti sudah berdiri di depan kelas, semua teman-teman pasti terbengong-bengong bagai disihir hingga terkadang sampai lupa kalau pelajarannya sudah selesai.
            “Lho, sudah selesai bu?” Anton berkomentar dengan nada kecewa. Yang lain pada  mengeluarkan suara-suara tak jelas. Ketika ditanya bu Ginanti, mereka bengong tak bisa menjawab. Tangan bu Ginanti menunjuk ke arah Agus
            “Khan udah ibu terangkan tadi,” Bu Ginanti menegaskan lagi sambil mendekati Agus yang duduk di bangku belakang paling pojok. Agus berkeringat. Hanya mengeluarkan suara ah-oh-ah-oh
            “Hush, bu Gin nanya tuh,” Reni yang duduk di samping mencuwil lengan Agus. Masih saja Agus seolah terjebak dalam sihir yang aneh tak mampu menjawab. Matanya hanya menatap bu guru yang cantik itu dengan mulut menganga lebar. Bau wangian parfum yang keluar dari tubuh bu Ginanti semakin membuat Agus kian gelagapan.
            “Hei, Gus, mulutmu jangan ngangak gitu, dong!” Herman menendang kakinya di bawah meja.
            “Hush…..mingkem!!!” yang lain ikutan mengganggu.
            Agus meringis. Seolah baru tersadar dari mimpi, menatap Herman dan teman-temannya yang lain secara bergantian. Seperti orang bego ia tengadah menatap Bu Ginanti dengan suara ah-eh-oh.
            “Maaf ibu tanya apa tadi nggg….”
            Teman-temannya yang lain spontan ketawa ngakak. Bu Ginanti melengos berusaha menyembunyikan senyum manisnya dan melangkah ke depan kelas sambil geleng-geleng kepala. Ruangan riuh sesaat dengan tawa anak-anak. Ada yang cekikikan menahan geli, sebagian ada yang tidak tahan hingga ngakak keras-keras.
            “Bu, kenapa nggak tanya aku aja?” seketika Gilang berteriak mengacungkan tangan, namun yiaaouuwww, matanya mengernyit berusaha tidak mengaduh. Dewi di bangku sebelah mendelik lagi-lagi menancapkan kuku di paha Gilang.
            Bu Ginanti menoleh, mengarahkan pandangan. Mata beradu mata, hati belum sampai menyentuh. Gilang klemes-klemes seperti bayi kurang gizi. Kalau Dewi melihat persis: bayi yang telat diteteki ibunya.
            “He.. he.. he.. nggak bu. Nggak jadi!” Gilang mendadak gagap. Linglung yang tidak dibuat-buat.
            “Lho…??”
            Lagi-lagi semua ketawa, bukan ngetawain bu guru Ginanti, tapi tertawa melihat ulah Gilang. Semakin membuatnya pringas-pringis kecut melirik Dewi di samping. Yang dilirik tambah melotot, ih!
            Ibu guru Ginanti memang selalu penuh dengan kejutan. Seminggu tidak bertemu, anak-anak sudah pada kangen. Bukan kangen dengan pelajarannya, tapi wajah bu Ginanti itu lho! Semua di kelas seperti merasa cepat bosan tanpa kehadiran bu Ginanti. Waktu terasa begitu lamban berjalan. Jarum jam demikian perlahan detaknya. Seolah tidak bergerak sama sekali. Beberapa anak-anak lebih suka duduk-duduk di luar daripada mengikuti pelajaran di dalam kelas. Ada yang membolos nangkring di parkiran motor. Sebagian ada nongkrong di kantin sekolah. Sedemikian hebat pengaruh guru cantik itu.
            “Hei..hei, bu Ginanti datang ….bu Ginanti datang….hari ini udah mulai ngajar,” salah seorang anak berteriak memberi kabar.
            Dengan lenggak lenggok bu Ginanti terlihat memasuki ruangan kelas Gilang.
            Dan apa yang terjadi? Gilang mau ketawa saja melihat kehadiran bu Ginanti kali ini. Penampilannya sangat berbeda. Ada yang berubah. Ya, ada yang lain pada diri bu Ginanti. Rambutnya itu lho. Rambutnya telah berubah jadi kriting. Wow, kian menambah cantik wajahnya. Kian menawan saja penampilannya. Membuat terkagum-kagum. Bu Ginanti memang cantik. Ck..ck..ck….Gilang-lah yang paling semangat mengikuti pelajaran bu Ginanti. Tanpa sadar tangannya mencoret-coret sesuatu di atas kertas. Lalu tertawa sendiri melihat hasil goresannya sendiri.
            “Buat apa itu?” Dewi menoleh curiga. Berusaha ingin merebut kertas yang ada di tangan Gilang. Gilang mengelak dengan cara mengibas tangan pacarnya dan berusaha melipat kertas itu, meremas-remas dan memasukkan di bawah kolong meja.
            Memang besar pengaruh bu Ginanti. Ruangan kelas yang semula beberapa bangku terlihat kosong, kini malah penuh, sebagian ada yang duduk bertiga dalam satu bangku. Bahkan dari kelas lainpun ikut-ikutan mengikuti pelajaran bu Ginanti. Mereka rela duduk berhimpitan dalam waktu 2 jam hanya untuk dapat memandang wajah guru cantik itu. Kalau bisa mereka ingin tidak hanya 2 jam pelajaran, bila perlu pelajaran guru lain ganti aja dengan bu Ginanti.
            “Iya ganti aja,” Gilang berseloroh. Terbawa khayalannya sendiri.
            “Hush, diam! Ngomong apa sih kamu? Tuh dengar penjelasan bu guru,” Dewi mengingatkan.
            “Ada yang bertanya?” Bu Ginanti memandang seisi ruangan. Bu Ginanti rupanya tidak begitu perhatian kalau bangku semua terisi. Nyaris tidak tahu kalau ada siswa kelas lain ikut bergabung di ruangan ini.
            “Bu, kalo bisa pelajaran lain ibu aja yang ngisi, gimana?” Gilang acungkan tangan tinggi-tinggi.
            “Iya bu, bener bu, ibu saja yang ngajar,” yang lain nyeletuk.
            “Iya bu, kalau bisa ibu saja,” terdengar suara anak-anak.
            “Iya,..iya….” yang lain ikut-ikutan bersuara, Dan ruangan kembali riuh oleh suara-suara. Bu Ginanti keplok-keplok tangan. Mirip ngajar anak-anak TK. Berarti kalau di ruang sidang senayan para wakil rakyat rapat paripurna dengan acara ngotot-ngototan bahkan sampai adu jotos segala di tonton jutaan rakyatnya, ya bermula seperti ini. Semua bermula dari sekolah, bagaimana cara  bu Ginanti mengajar mereka untuk bisa santun ketika mereka nanti sudah duduk jadi anggota dewan wakil rakyat yang terhormat. Keplok-keplok tangan bu Ginanti mampu mendinginkan suasana. Semua bengong kembali seperti sediakala. Semua kena sirep. Dan melongo-longo tersihir, lalu mengangguk-ngangguk, dan segalanya bisa di atur. Demikian sempurna tanpa kurang suatu apapun. Segalanya pasti beres di tangan bu Ginanti.
            Hebat!
            Benar-benar menakjubkan.
            Memang segalanya bisa beres di tangannya. Tapi untuk yang satu ini ternyata tidak. Kali ini di ruangan kepala sekolah nampak bu Ginanti nangis meraung-raung. Kecantikannya lenyap oleh isak tangis jeleknya. Guru-guru lainnya saling pandang satu sama lain. Sesekali menatap Gilang bak pesakitan duduk tertunduk lesu di ruangan guru. Kepala sekolah nampak memegang kertas bekas remasan tangan yang sedikit kucek seperti ingin menahan senyum.
            “Kenapa kamu lakukan ini Lang?” pak Sahid kepala sekolah itu memandang Gilang. Gilang tertunduk lesu. Takut beradu tatap dengan bu Ginanti yang masih terdengar isaknya.
            “Saya tidak bermaksud apa-apa, pak Guru. Apalagi mau bikin bu Ginanti sampai menangis.,” Gilang bersuara pelan membela diri. Tatapannya polos. Sepolos tatapan bayi tanpa mengenal dosa. Bagaimana bayi polos, ya seperti itulah tampang Gilang saat ini. Sedikitpun ia tidak merasa bersalah. Hanya saja Gilang merasa aneh. Kenapa kertas yang sudah ia remas-remas dan di buang di tong sampah bisa berada di tangan kepala sekolah. Itu saja keheranan Gilang. Siapa memberikan kertas isengnya itu? Reni, Wawan ataukah Anton sendiri? Ah, Dia jadi bingung. Atau jangan jangan? Ya, jangan jangan pacarnya sendiri yang memberikan sebagai bentuk pelampiasan kekesalan kepadanya. Iya, jangan jangan………
            “Iya, tapi kenapa bu guru Ginanti kamu gambar seperti ini. Coba lihat, aduhhh, kau ini!”
Pak Sahid memperlihatkan kertas yang di gambar oleh Gilang.. Nampak gambar wajah  seorang wanita berambut kriting yang di atas bibir wanita itu dibuat goresan menyerupai kumis. Melihat gambar dirinya lagi dipertontonkan di hadapan guru-guru lain, bu Ginanti kembali terisak bahkan semakin keras menangis. Saking tak tahan lalu pergi meninggalkan ruangan.
            Keesokan harinya dan hari-hari selanjutnya bu Ginanti tidak terlihat lagi di sekolah itu.

Lereng Pengsong 2012