Hari ini adalah sebuah
harapan. Esok adalah kenyataan. Walau belum pasti, namun kesabaran untuk
menanti kepastian itu tentulah berbuah. Dan perjuangan adalah kerja panjang
yang tak pernah henti, tak kenal batas. Kuharapkan seperti itu. Besok tinggal
menunggu: antara luapan kegembiraan atau kekecewaan. Apapun yang terjadi memang
mesti dihadapi dengan hati lapang, tulus, rasa sabar tanpa pemikiran-pemikiran
buruk yang menghantui otak dan tentu pula akan memperburuk kerja otak yang pula
berdampak pada kerja – kerja selanjutnya plus gairah yang menghambat
kreatifitas.
Yang pertama dan utama pastilah kusebut terimakasih tak
terhingga pada ibuku. Sosok yang selalu menyemangati dan menyelami bagaimana,
apa dan mengapa aku memilih untuk jalur mengambil keputusan ikut serta dalam test
penerimaan Brigadir Polisi. Padahal dalam kondisi sebenarnya sesuai dengan
cerita orang bahwa untuk ikut test ini paling tidak harus siap uang seratus
lima pulus juta rupiah. Itu pasaran untuk dapat lolos. Rumours yang melanda
institusi yang akhir-akhir ini pula tengah disorot masyarakat luas. Itu sebuah
cerita yang kudengar. Terlepas benar ataupun tidak. Terlebih lagi kalau memang
terjadi demikian entah terbukti ataupun tidak, itu bukan menjadi bagian dari
pemikiranku untuk terlalu mendalam mengkhawatirkan kebobrokan satu-dua oknum
aparat. Sudah merupakan rahasia umum. Dan kalau memang benar terjadi demikian
pun, bukan sebuah kecemasan yang tak beralasan mampu menghalau hal-hal tersebut
untuk dapat dihentikan. Kecemasanku yang pasti adalah, apakah aku mampu lolos
tanpa berbekal uang jutaan rupiah untuk menjadikan aku sosok brigadir. Ragu
namun harus melangkah. Itu tekadku. Ada dukungan moril dari ibu.
Yang ke dua dan masih utama pastilah pula kusebut
terimakasih yang tak terhingga pada ayahku. Sosok keras yang nyata-nyata
mengetahui aku telah mendaftar dan memegang nomor peserta dengan tatapan penuh rasa
ketak-mengertian. Yang nyata-nyata pula mengetahui manakala aku lolos seleksi
awal di bidang kesehatan berkata tegas: “ Ayah tak punya uang untuk menyogok.
Itu butuh seratus sekian juta rupiah untuk mampu lolos. Kalaupun ayah punya
uang, tidak ada bakat untuk ‘menyogok’, sebuah kerja nista dan meremehkan harga
diri kita karena keterbatasan kemampuan. Bukan budaya dalam keluarga kita
menistakan diri atas dasar kekurangan daya tampung nalar harus mengkompens
dengan mata uang. Itu hina! Beberapa orang yang ayah ketahui menyogok terkesan
tidak bermartabat di mata ayah. Kalaupun ayah memiliki uang sebanyak itu, akan
lebih terhormat dipergunakan untuk menambah ilmu buat bekal hidup atau
berbisnis. Karena itu…….” Sekian banyak kalimat yang keluar dari ayah tidak
mematahkan tekadku. Tekadku bulat. Aku tetap melangkah. Walau yang terlontar
pada akhirnya dari mulut seorang ayah : “ ya berjalan saja. Lanjutkan
berdasarkan kemampuan kamu. Ayah mendukung. Dan ayah akan bangga kalau kamu
berhasil goal dengan nilai murni.”
Sekali lagi tekad sudah
bulat. Semangat sudah membatu dengan bumi. Syaraf nalar serupa api yang
menyulut emosi terkendali dalam satu harapan. Satu hal yang menjadi harapan
untuk dapat terwujud. Apapun tantangan yang menghadang di depan mata.
Yang ketiga dan selain utama plus maha penting adalah
ungkapan terimakasih yang tiada tara pada ke dua nenekku. Satu nenek dari ibu
kandung ayah dan satu nenek dari ibu kandung ibuku. Hampir setiap hari
mengontak via ponsel kalau boleh dikatakan interlokal jarak jauh melewati batas
laut. Demikian besar makna doa nenek-nenekku itu. Bahkan kutahu dari cerita
ibu, hampir setiap hari bahkan sehari tiga waktu senantiasa mendoakan
perjuanganku, tekad untuk berhasil buat cucunya. Serasa airmata yang berlinang
ini tiada arti menampakkan budi rasa bahagia atas kehendak apa yang menjadi doa
beliau berbalas akan kehendak yang kuinginkan. Namun aku butuh doa nenek. Aku berharap doa nenek
sebagaimana doa ibu yang menandakan aku ada di dunia ini. Suksma nenek. Suksma
nenek. Astungkara, ujarku- mungkin setengah terbata, setengah pula dalam sisa kegalauan.
Dan tekad itu betapa kian kuat mengikat pergerakan seluruh jari-jari mengurat
dalam tubuh untuk bergerak mengikuti doa dua orang nenek di jauhnya pulau
berbatas suara namun tak terbatas dalam doa. Maha yang tak tersentuh pikiranku.
Sekali lagi nenek, matur suksma dan rentangkan jalanku untuk menuju cita-cita.
Yang ke empat dan sungguh utama adalah ungkapan
terimakasih pada paman-pamanku, saudara dari ayahku, saudara-saudara dari
ibuku. Baik itu saudara kandung maupun sepupu. Tak pernah henti menyemangatiku
bahkan paman terdekat yang berulang-ulang waktu selalu mendampingiku dari test
jasmani, selama test renang hingga test penghabisan. Tak pernah bosan ia
menemaniku.
Demikian kuat kesabaran
untuk dapat menyentuh harapan, kendati secuil dari realita. Senantiasa
kesabaran akan tetap mengajarkan aku mendekat pada titik keberhasilan, kendati
sulit untuk dapat dipercaya. Mustahil tapi nyata hingga sampai akhir test
berlangsung. Hingga menunggu besok walau masih belum pasti. Dan dada ibu
berdebar. Dada ayah berdebar barangkali tidak sekuat debar dada para
nenek-nenek dan semua anggota keluargaku yang lain. Tergantung kekuatan jantung
untuk tetap ingat memompa. Berdebar dan bedebar dan berdebar terus berdebar
menunggu hari esok. Ya, esok di Narmada Convention Hall.
Berdebar dan terus
berdebar dalam penantian.
Nihan
tang kengeta, iking sarwabhawa teka ring maryaloka sang ksamawan makamu ika,
ksamawan ngaranira, sang kelan upacama, ika ring paraloka tuwi, hanunira tika
apayapan mangke inastuti, pinuja kinatwangan, sira dening rat, ring paraloka,
uccapada katemu denira ( sarasamuccaya-92)
Catatan
: ksama sebagai sebuah kesabaran. Ksamawan disebutkan orang yang sabar dan
tenang hatinya.