Selasa, 28 Mei 2013

SULIT DIPERCAYA, MUSTAHIL TAPI NYATA, WALAU BELUM PASTI



Hari ini adalah sebuah harapan. Esok adalah kenyataan. Walau belum pasti, namun kesabaran untuk menanti kepastian itu tentulah berbuah. Dan perjuangan adalah kerja panjang yang tak pernah henti, tak kenal batas. Kuharapkan seperti itu. Besok tinggal menunggu: antara luapan kegembiraan atau kekecewaan. Apapun yang terjadi memang mesti dihadapi dengan hati lapang, tulus, rasa sabar tanpa pemikiran-pemikiran buruk yang menghantui otak dan tentu pula akan memperburuk kerja otak yang pula berdampak pada kerja – kerja selanjutnya plus gairah yang menghambat kreatifitas.
            Yang pertama dan utama pastilah kusebut terimakasih tak terhingga pada ibuku. Sosok yang selalu menyemangati dan menyelami bagaimana, apa dan mengapa aku memilih untuk jalur mengambil keputusan ikut serta dalam test penerimaan Brigadir Polisi. Padahal dalam kondisi sebenarnya sesuai dengan cerita orang bahwa untuk ikut test ini paling tidak harus siap uang seratus lima pulus juta rupiah. Itu pasaran untuk dapat lolos. Rumours yang melanda institusi yang akhir-akhir ini pula tengah disorot masyarakat luas. Itu sebuah cerita yang kudengar. Terlepas benar ataupun tidak. Terlebih lagi kalau memang terjadi demikian entah terbukti ataupun tidak, itu bukan menjadi bagian dari pemikiranku untuk terlalu mendalam mengkhawatirkan kebobrokan satu-dua oknum aparat. Sudah merupakan rahasia umum. Dan kalau memang benar terjadi demikian pun, bukan sebuah kecemasan yang tak beralasan mampu menghalau hal-hal tersebut untuk dapat dihentikan. Kecemasanku yang pasti adalah, apakah aku mampu lolos tanpa berbekal uang jutaan rupiah untuk menjadikan aku sosok brigadir. Ragu namun harus melangkah. Itu tekadku. Ada dukungan moril dari ibu.
            Yang ke dua dan masih utama pastilah pula kusebut terimakasih yang tak terhingga pada ayahku. Sosok keras yang nyata-nyata mengetahui aku telah mendaftar dan memegang nomor peserta dengan tatapan penuh rasa ketak-mengertian. Yang nyata-nyata pula mengetahui manakala aku lolos seleksi awal di bidang kesehatan berkata tegas: “ Ayah tak punya uang untuk menyogok. Itu butuh seratus sekian juta rupiah untuk mampu lolos. Kalaupun ayah punya uang, tidak ada bakat untuk ‘menyogok’, sebuah kerja nista dan meremehkan harga diri kita karena keterbatasan kemampuan. Bukan budaya dalam keluarga kita menistakan diri atas dasar kekurangan daya tampung nalar harus mengkompens dengan mata uang. Itu hina! Beberapa orang yang ayah ketahui menyogok terkesan tidak bermartabat di mata ayah. Kalaupun ayah memiliki uang sebanyak itu, akan lebih terhormat dipergunakan untuk menambah ilmu buat bekal hidup atau berbisnis. Karena itu…….” Sekian banyak kalimat yang keluar dari ayah tidak mematahkan tekadku. Tekadku bulat. Aku tetap melangkah. Walau yang terlontar pada akhirnya dari mulut seorang ayah : “ ya berjalan saja. Lanjutkan berdasarkan kemampuan kamu. Ayah mendukung. Dan ayah akan bangga kalau kamu berhasil goal dengan nilai murni.”
Sekali lagi tekad sudah bulat. Semangat sudah membatu dengan bumi. Syaraf nalar serupa api yang menyulut emosi terkendali dalam satu harapan. Satu hal yang menjadi harapan untuk dapat terwujud. Apapun tantangan yang menghadang di depan mata.
            Yang ketiga dan selain utama plus maha penting adalah ungkapan terimakasih yang tiada tara pada ke dua nenekku. Satu nenek dari ibu kandung ayah dan satu nenek dari ibu kandung ibuku. Hampir setiap hari mengontak via ponsel kalau boleh dikatakan interlokal jarak jauh melewati batas laut. Demikian besar makna doa nenek-nenekku itu. Bahkan kutahu dari cerita ibu, hampir setiap hari bahkan sehari tiga waktu senantiasa mendoakan perjuanganku, tekad untuk berhasil buat cucunya. Serasa airmata yang berlinang ini tiada arti menampakkan budi rasa bahagia atas kehendak apa yang menjadi doa beliau berbalas akan kehendak yang kuinginkan. Namun aku  butuh doa nenek. Aku berharap doa nenek sebagaimana doa ibu yang menandakan aku ada di dunia ini. Suksma nenek. Suksma nenek. Astungkara, ujarku- mungkin setengah terbata, setengah pula dalam sisa kegalauan. Dan tekad itu betapa kian kuat mengikat pergerakan seluruh jari-jari mengurat dalam tubuh untuk bergerak mengikuti doa dua orang nenek di jauhnya pulau berbatas suara namun tak terbatas dalam doa. Maha yang tak tersentuh pikiranku. Sekali lagi nenek, matur suksma dan rentangkan jalanku untuk menuju cita-cita.
            Yang ke empat dan sungguh utama adalah ungkapan terimakasih pada paman-pamanku, saudara dari ayahku, saudara-saudara dari ibuku. Baik itu saudara kandung maupun sepupu. Tak pernah henti menyemangatiku bahkan paman terdekat yang berulang-ulang waktu selalu mendampingiku dari test jasmani, selama test renang hingga test penghabisan. Tak pernah bosan ia menemaniku.
Demikian kuat kesabaran untuk dapat menyentuh harapan, kendati secuil dari realita. Senantiasa kesabaran akan tetap mengajarkan aku mendekat pada titik keberhasilan, kendati sulit untuk dapat dipercaya. Mustahil tapi nyata hingga sampai akhir test berlangsung. Hingga menunggu besok walau masih belum pasti. Dan dada ibu berdebar. Dada ayah berdebar barangkali tidak sekuat debar dada para nenek-nenek dan semua anggota keluargaku yang lain. Tergantung kekuatan jantung untuk tetap ingat memompa. Berdebar dan bedebar dan berdebar terus berdebar menunggu hari esok. Ya, esok di Narmada Convention Hall.
Berdebar dan terus berdebar dalam penantian.
Nihan tang kengeta, iking sarwabhawa teka ring maryaloka sang ksamawan makamu ika, ksamawan ngaranira, sang kelan upacama, ika ring paraloka tuwi, hanunira tika apayapan mangke inastuti, pinuja kinatwangan, sira dening rat, ring paraloka, uccapada katemu denira ( sarasamuccaya-92)
Catatan : ksama sebagai sebuah kesabaran. Ksamawan disebutkan orang yang sabar dan tenang hatinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar