Selasa, 27 November 2012

INGET MĔMĔ



Mē, eda ngorahang tiang buduh
pragat nginem lan memunyah
ngutahin peteng ulian gedeg di jumahan, apabuin ulian pelarian frustasi
nganti telah tanpasisa ngulihan ulegan basangē
kadirasa  dugasē mamunyah makita nawahin agelekan dogēn
nganti slegēk-slegēk kolonganē nandan awak

Mē, eda ja ngorang tiang buduh
dugas inget taēn memaling pipis di dompet batan galeng gulingē
krana tiang perlu tuah masē ulian demen jail
inget sing, mē!
dugas tiang enu cerik sing buung-buung nyakitin keneh mēmē
                        : sing nyak masekolah lamun sing beliang montor vario
nanging sing taēn dingeh mēmē wadih ngingetin tiang
nganteg jani

MENATAP GUNUNG AGUNG DI ATAS KETINGGIAN JEMBATAN TUKAD BADUNG AIRNYA MENGALIR TENANG TAK TERHAMBAT



Di kota ini tidak ada gunung, maka mendakilah dengan keinginanmu yang pernah kau simpan di atas gema gema suara sanubari, Hingga pendakian membalut matamu lengket pada pelupuk berair. Seperti meminjam tangisan puncak gunung Agung, kawasan berkawan kesunyian, apakah disini belantara kesangsian. Masih aku tidak tahu kesempurnaan alam yang membentuk cuaca berpindah pindah atau napas yang tengah beradu berpasang pasang dan kita mengujinya dalam berbagai kesenangan.
Tidak ada yang sempurna warna langit, cuaca yang warnakan curah hujan.
            `biasa biasa saja terlihat di atas jembatan tukad Badung
Pertengahan jalannya waktu, angka memekik pada kisaran rana yang kian menagih. Pelaminan jelas. Dan buka daunnya.
Semakin jelas kesunyian ini.
Angin serasa demikian enggan berdesir.
Kelelahan selalu saja mengalir sebagai sebuah cerita lama. Batu batu yang terinjak tanpa perikemanusiaan yang tajam dan peri peri melayang dibalik awan menyambutmu dengan berbagai tanya, apa makna kesangsianmu. Kupahat di atas deritamu, sebuah nama yang pernah kusimpan di atas langit. Tidak ada kembang. Tidak ada batu nisan yang masih bersaudara dengan berbagai alamat, diantara suara-suara yang membisik halus di balik batang pohon dengan daunnya tak bersayap.
Dan sebuah cerita baru lagi entah cerita yang lama dipadukan menjadi lenggang terdengar di telinga yang basah, sekali lagi : tak ada yang tertinggal, satu riwayatpun, bisikmu. Semua sudah lekang dalam kerelaan hasrat yang pernah hilang tersapu angin, namun cobalah tanya sekali lagi, bukan sebagai sebuah cerita lama: akan kemana tujuan menyampaikan keinginan kita.
Di kota ini tidak ada gunung. Tidak perlu pendakian itu dan deru napas masih bisa kita simpan. Ya, simpan saja di atas daun yang demikian rapi bersimbah air air tanpa oksigen menjadi sebab layunya serat serat tak berguna.
Tidak sebagai kota tak beralamat buat mengadu nasib
Di kota ini tidak ada gunung, maka tataplah air mengalir dengan zat zat tidak semurni memberi ekstasi pada serat tenggorokan tak bertanda, lidah kelu mencampur aroma garam berasa silica gelatin zat silicon:  namun jangan telan sepanjang lambungmu dalam bara bertukak. Jangan, nak! Sebab sawah sawah pun telah berpindah tempat dengan alur sungai yang telah tak mengenal muaranya. Maka, berkemaslah dengan berbagai godaan.
Di kota ini cinta begitu mudah dijinakkan begitu pula musnah semau-maunya, nak! Jangan kaget melihat airmata kekecewaan bisa terbuat dari timah yang mengalir panas menusuk rusuk bilangan sudut kota yang sering dikatakan orang orang tersingkir sebagai kota kehabisan nurani.
Dan mungkin airmatamu kelak.

Sidakarya Suwung, 03 april 2012


Kamis, 22 November 2012

SECAWAN DARAH DAN PESTA KEMATIAN



Dari gelombang signal yang tak terbaca jelas
frekwensi memaksa manusia berubah menjadi serigala yang lapar
memangsa sesama, membantai, membunuh, membakar
tak ada doa, tak perlu kata kata lagi
tak ada dosa, tak perlu ketakutan lagi
Setumpuk kalimat yang tertulis dalam puisi hanya bermakna lewat sebilah pedang
Dan lupakan kebenaran sesaat, pinjamkan mantra lalu kita titip di warung-warung sembari menenggak arak  dan berteriak lantang:
            Manusia tak lebih seharga nyawa yang dititipkan pemilikNya serta mampu kita beli di sepanjang kedai-kedai malam, cahaya sentir yang menyuramkan kebenaran
            Kebenaran yang jadi angin
            Dibenarkan anginnya sendiri
            Bermakna manakala penebusan dosa diikhlaskan
            sesaat
Dan wahai logika! : kita simpan sementara di saku celana lalu gantung sepanjang jalan tempat meramaikan pesta barbarisme
aspal jalanan basah hujan darah
makna kematian bagimu telah menggurat kemenangan
yang pantas dilupakan

Dewa-dewa turun dari langit menaburkan bunga bunga karma di seluruh bumi
belahan hamparan pada permukaan berbau busuk
anyir darah tercium di akherat
serupa anggur pada penciuman bumi

lereng pengsong okt 2012

Rabu, 21 November 2012

TENTANG USIA TUA KELAK



Dan akan tetap gemetar perlahan mengoyak guntingan koran
Hari hari tak sia menutup warna rambut
Kliping yang bertebaran di atas lantai
Tentang artikel artikel kesehatan
Waktu tak mungkin dipungkiri
Pintu tak mungkin dibuka kembali namun warna cahaya mentari selalu sama
Tak pernah terkubur dalam pusaran setiap ingatan yang lupa tercatat
Sembari mengunyah tembakau yang kau rasa bak hula-hula
Mendendanglah
Waktu waktu selama ini yang memburu tak memiliki hak untuk mengulang kembali
Kenangan tertinggal pada almanak
Lembaran usang yang tak mampu merawat jaringan syaraf
Berkarat waktu


lereng pengsong nop 2012

SEBATANG KRETEK MENGULUM LIURMU



malam melenggang dengan penuh upaya
matamu teduh bibir hitam mengulum senyum
masih tinggal sebatang
membasah gincu memoles seakan turut terbang bersama asap
yang menyembur tubuhmu
hilang dalam bayang
tinggal sebatang membuat malam kian galau
mengusap bibirmu
malam kian terasa basah
diantara liur mengering