Kalau aku
diberikan hak untuk menentukan pilihan maka aku lebih baik tidak memilih untuk
kecewa, maka aku tidak akan memilih untuk sedih, maka aku tidak akan memilih
untuk sakit, aku tidak akan memilih untuk benci, maka aku tidak akan memilih
untuk susah dan akupun tidak akan memilih untuk menangis. Terkadang menangis
itu memang perlu, di saat-saat mana untuk meluapkan bentuk kesedihan ataupun
rasa gembira tak terkira.
Kalau dalam hidup tidak perlu ada
cinta akupun tidak akan pernah belajar mengenal cinta, karena kata kekasihku
waktu itu; demikian dekat jarak antara cinta dan benci, hanya terhalang seutas
benang tipis yang sewaktu-waktu akan mudah putus, rengat dan menyakitkan. Dan
kalau aku ada karena benih-benih cinta, kalau aku terlahir hanya karena
benih-benih asmara
kasih sayang maka aku tidak akan dihadapkan pada kekecewaan, maka aku akan
mengutuk habis-habis cinta kasih sayang sebagai sebuah kebohongan besar dan aku
pasti akan menyesalkan kelahiran ini. Dan
pasti aku akan memaki orangtuaku kenapa mereka menanam benih benih cinta untuk
melahirkanku. Benih yang tak beda jauh dengan kebohongan-kebohongan tentang
cinta kasih. Dan akan betapa cengengnya kalau aku harus menderita karenanya.
Itu tidak perlu terjadi.
“Cukup sekali saja aku menangis dan tidak akan ada tangisan lagi,” katanya
tegar.
Aku
tercenung, betapa tidak sempurnanya hidup ini. Aku harus siap menghadapi pilihan ini.”Aku hanya takut terlalu lama hidup
bersamamu. Hidup ini terlalu banyak bohongnya,” seperti suara lirih yang menyuarakan
kekecewaan.
“Dulu
akupun berpikir demikian, betapa terikatnya sampai-sampai aku bertanya pada
diriku sendiri pada suatu malam yang terlalu banyak menyisakan airmata, kenapa
aku begitu sangat mencintaimu dan di saat kesakitan-kesakitan ini kau berikan
padaku. Aku menangis dan bertanya; dimana hatiku kamu simpan, pada bagian
sebelah mana?di lekukkan sebelah mana? Kalau memang ada kamu simpan, tolong
kembalikan hatiku dan di malam-malam kesendirian dalam kesedihan itu aku
memohon padaNya, Tuhan tolong kembalikan hatiku yang telah diambil, jangan
berikan aku cinta, itu terlalu menyakitkan dalam keterikatanku dengannya,”
Aku tercenung mendengar kejujuran kata-katanya.
”Dan
aku telah berhasil. doaku terkabul..............”
Berulang-ulang
putaran lagu I Can’t Stop Loving You
di kuping yang terdengar justru hanya suara sumbang lagu jeritan nada-nada
cinta yang menyayat kalbu tentang perjalanan seorang wanita menanti kekasihnya
dari medan perang yang telah lama terjerumus dalam ikatan cinta. Sebuah
penantian dalam kelelahan perjanjian yang terikat oleh cincin pertunangan.
Larut aku dibuat dalam nada-nada lagu itu. Seolah-olah mengisyaratkan sebuah
pertentangan hati. Kamu tidak akan pernah sanggup untuk mengerti, kamu tidak
akan pernah untuk berpaling sekejappun. Aku terperangah malu, seakan sebuah
kebohongan yang terbaca, seakan sebuah rahasia yang berusaha untuk
disembunyikan pada setiap lekuk-lekuk rangkaian kata per-kata catatan harian
yang panjang dengan deretan kalimat-kalimat yang dibuat sedemikian indahnya
namun dibalik semua itu ternyata hanyalah sebuah kamuflase bagi siapa saja yang
sempat membaca catatan harianku. Eh, ini catatan pribadi, tak seorangpun boleh
membaca. Kenapa kamu iseng membaca, padahal kamu suka ingin mengetahui isi
hatiku yang aku tuang dalam catatanku? Kupikir jarang ada orang yang mau
menyodorkan rahasia hatinya untuk diceritakan ataupun seperti sebuah perbuatan
yang sangat bodoh untuk memperlihatkan catatan harian yang terlalu pribadi
sekali sifatnya.
”Maksudnya
doa itu sudah mampu melepaskan ikatan cinta diantara kita?” aku mengejar.
Dia
mengangguk.
Tidak
kudengar lagi alunan lagu itu di telinga sepertinya pendengaranku sudah mulai
tertutup menikmati letak sendi-sendi pada sebuah keindahan irama lagu. Tidak
kudengar lagi apa yang menjadi kekecewaannya dan mulai saat itu aku mulai
belajar untuk memahami sikapnya yang selalu diam, tidak tersentuh pancingan
untuk menimpali dialog. Aku tahu betul wataknya kalau dia sudah bersikap
demikian. Aku merasa egois oleh sikap-sikap keangkuhannya, entah ini
dibuat-buat, hanya untuk mengurangi beban yang ada di dalam dada. Tidak pernah
kulihat dia berubah seperti ini. Apakah ini artinya dia tengah menanamkan
benih-benih baru di rahimnya untuk mengawali sebuah perdebatan baru? Benih yang
namanya sebuah kebencian tidak mendasar? Ataukah benih kasih sayang yang
diam-diam dipendam dalam seribu dendam yang senantiasa tidak berkesudahan?
Akhirnya berharap sebagai sebuah lahirnya karma yang baru?
”Hush!
Anak kecil ndak usah mendengarkan pembicaraan orang dewasa,” dia melambaikan
tangan ke arah pintu yang sedikit terbuka. Sosok bayangan kecil terlihat
menjauh dalam langkah kaki yang lapat-lapat terdengar melemah. Langkah
kanak-kanak yang demikian ringan tertangkap telinga. Keponakanku yang nomor dua
memang selalu demikian. Tidak pernah tenang mendengar suara bisikan-bisikan
bersahutan yang muncul dari orang dewasa dengan aksen sedikit kadang kadang
tegas tak mau dibantah. Dia mewarisi sifat ibunya yang selalu ingin tahu urusan
orang ataupun urusan pamannya, apalagi sesuatu pertengkaran yang pernah
demikian hebat terjadi pada adik iparku. Aku mendehem halus, semakin membuat
pintu itu tidak tersentuh bayangan. Aku tahu keempat orang ponakanku lagi asyik
membuat kesibukan yang tak begitu
berarti di ruang tengah.
”Apa
warna yang bagus untuk batang pohonnya?” Keponakanku yang paling kecil
nyelonong masuk kamar sambil menyodorkan buku gambarnya.
”Pakai
warna coklat agak tua, sayang.” Aku menjawab sambil memperhatikan gambar yang
sedang dia tunjukkan ke arah ibunya. Sebuah gambar pemandangan berlatar
belakang gunung dengan hamparan sawah dan danau.
“Yang mana warna coklat?”
Kalau sudah demikian biasanya adikku
akan menggendong menuju ruang tengah dan membimbing disertai dongeng-dongeng
menarik. Tetangga rumah sebelah kami seorang janda dengan aksen khas bataknya. Sudah terlalu lama merantau. Dan
biasanya adikku manakala mendongeng di hadapan empat anak-anak selalu disertai
aksen khas bataknya sehingga membuat mereka pada ketawa terpingkal-pingkal.
Anak-anak menyukai gaya bercerita ibunya.
”Lagi
ma...lagi mendongeng,” anak-anak mulai
mengerubungi ibunya. Ketahuan sudah kecolongan dengan gaya menarik dari
pertengkaran itu untuk dibuat istirahat sejenak dengan memancing anak yang
paling kecil untuk menggiring ibunya keluar kamar. Mereka membentuk sebuah
lingkaran dengan masing-masing menelungkupkan badan dan serempak dengan kedua
tangan berpangku pada sisi dagu sebelah kanan dan kiri.
Sejenak tiada perdebatan.
Terlihat yang paling manja selalu
yang terkecil dengan menarik-narik tangan ibunya sembari menyodorkan buku
gambar.
“Hush, adik. Kita dengar mama
mendongeng dulu ya. Tuh ma, tentang sang kancil dan buaya....”
“Nggak. Nenek lampir aja ma!” yang lain menyerukan dengan mengangkat nakal
kakinya ke atas badan kakaknya yang tengah menelungkup.
Demikian
terus terdengar gelak canda anak-anak. Rumah yang riuh suara-suara
membahagiakan. Ada yang menyanyi-nyanyi kecil. Ada yang merengek-rengek
diselingi suara bentakan kecil salah satu kakaknya yang merasa dewasa.
Rumah yang sederhana.
”Entah benih ini milik siapa?
Kenapa begitu kerasan berada dalam rahimku? Ataukah dia tengah meminjam rahimku
untuk sementara waktu agar dapat berdalih ketika pada saatnya harus lahir
nanti?” katanya beberapa hari kemudian. Wajahnya penuh ketakmengertian yang
dalam. Penuh ketakberdayaan yang terasa semakin mempertebal bentuk kulitnya.
”Engkau mengadung benih yang
salah,” kataku spontan.
”Mungkin.” jawabnya ringan
tanpa beban.
”Benih yang bernama sebuah
kebencian...”
”Dan benih kecelakaan!” lebih
ringan ia menjawab, lebih-lebih tanpa beban.
”khilaf yang mengada-ada”
”Tapi bukan karena terpaksa!”
ia sedikit sewot setengah melotot
”Iya, berwujud darah dendam
yang membara. Suatu ketika kalau lahir, ia akan menjadi gumpalan-gumpalan darah
yang tak wajar. Gumpalan-gumpalan yang mengandung beban dosa orangtuanya”
”Harus bagaimana lagi?”
”Engkau tak patut mengandung
bibit karma yang tak jelas dalam rahimmu.”
”Tapi segalanya sudah terjadi”
Ia mengangguk-angguk. Diam
sesaat. Seperti melihat ratusan korawa lahir dari ketakberdayaan drestarata.
”Aku tidak pernah ada
keinginan untuk menghakimi takdir. Aku tak pernah menyesali segala sesuatu yang
pernah terjadi antara kita. Namun setiap dosa yang kita yakini dan jelas-jelas
kita lakukan bersama sepertinya kita tidak ingin ada karma turut andil dalam
setiap kekhilafan yang kita lakukan.”
Aku terhenyak. Aku merasa
benar-benar telah berada dalam lingkaran dosa. Aku merasa seperti ada yang
diam-diam mengharapkan semua itu terjadi. Perbuatanku atas dorongan kemaksiatan
setan telah mengubah jalan hidupku. Diam-diam seperti ada yang menguping dengar
pembicaraan itu. Aku gemetar. Badanku penuh bulir-bulir yang bergulir berebutan
diantara rongga pembuluh kulit terluar. Mengelupas menjadi darah. Darah yang
menyudutkan pikiranku. Aku merasa ketakutan-ketakutan ini semakin nyata.
Ketakutan-ketakutan ini terasa tak wajar. Ketakutan yang membentuk logika
terbungkus kecemasan-kecemasan akan tuntutan karma nyata.
”Engkaulah yang paling
bertanggung jawab terhadap semua kejadian yang telah menimpa diriku. Kalau
dalam sidang di pengadilan nanti ada pengusutan lebih lanjut, maka engkaulah
yang paling merasa punya beban, kendati engkau nanti bisa menutupi dosa-dosa
yang telah terjadi tanpa dia mengetahui apa sesungguhnya yang telah terjadi.
Kendati engkau bohongi dia secara terus menerus, kendati engkau bohongi semua
keluargamu, semua saudara-saudaramu,semua tetangga dan para teman-teman
dekatmu. Kamu bisa berbohong terhadap hakim, terhadap jaksa yang menuntutmu
nanti. Tapi engkau tidak mampu membohongi nuranimu sendiri. Kamu tak akan
pernah mampu membohongi Tuhanmu sendiri, pada siapa sejak kecil engkau telah
diperkenalkan moralitas, dogma-dogma beragama yang benar.” katanya.
Aku gemetar.
”Seandainya dia
tahu...........”
Aku semakin gemetar
Narmada,Maret 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar