Di
kota ini tidak ada gunung, maka mendakilah dengan keinginanmu yang pernah kau
simpan di atas gema gema suara sanubari, Hingga pendakian membalut matamu lengket
pada pelupuk berair. Seperti meminjam tangisan puncak gunung Agung, kawasan berkawan
kesunyian, apakah disini belantara kesangsian. Masih aku tidak tahu
kesempurnaan alam yang membentuk cuaca berpindah pindah atau napas yang tengah
beradu berpasang pasang dan kita mengujinya dalam berbagai kesenangan.
Tidak
ada yang sempurna warna langit, cuaca yang warnakan curah hujan.
`biasa biasa saja terlihat di atas
jembatan tukad Badung
Pertengahan
jalannya waktu, angka memekik pada kisaran rana yang kian menagih. Pelaminan
jelas. Dan buka daunnya.
Semakin
jelas kesunyian ini.
Angin
serasa demikian enggan berdesir.
Kelelahan
selalu saja mengalir sebagai sebuah cerita lama. Batu batu yang terinjak tanpa
perikemanusiaan yang tajam dan peri peri melayang dibalik awan menyambutmu
dengan berbagai tanya, apa makna kesangsianmu. Kupahat di atas deritamu, sebuah
nama yang pernah kusimpan di atas langit. Tidak ada kembang. Tidak ada batu
nisan yang masih bersaudara dengan berbagai alamat, diantara suara-suara yang
membisik halus di balik batang pohon dengan daunnya tak bersayap.
Dan
sebuah cerita baru lagi entah cerita yang lama dipadukan menjadi lenggang
terdengar di telinga yang basah, sekali lagi : tak ada yang tertinggal, satu
riwayatpun, bisikmu. Semua sudah lekang dalam kerelaan hasrat yang pernah
hilang tersapu angin, namun cobalah tanya sekali lagi, bukan sebagai sebuah
cerita lama: akan kemana tujuan menyampaikan keinginan kita.
Di
kota ini tidak ada gunung. Tidak perlu pendakian itu dan deru napas masih bisa
kita simpan. Ya, simpan saja di atas daun yang demikian rapi bersimbah air air
tanpa oksigen menjadi sebab layunya serat serat tak berguna.
Tidak
sebagai kota tak beralamat buat mengadu nasib
Di
kota ini tidak ada gunung, maka tataplah air mengalir dengan zat zat tidak
semurni memberi ekstasi pada serat tenggorokan tak bertanda, lidah kelu
mencampur aroma garam berasa silica gelatin zat silicon: namun jangan telan sepanjang lambungmu dalam
bara bertukak. Jangan, nak! Sebab sawah sawah pun telah berpindah tempat dengan
alur sungai yang telah tak mengenal muaranya. Maka, berkemaslah dengan berbagai
godaan.
Di
kota ini cinta begitu mudah dijinakkan begitu pula musnah semau-maunya, nak! Jangan
kaget melihat airmata kekecewaan bisa terbuat dari timah yang mengalir panas
menusuk rusuk bilangan sudut kota yang sering dikatakan orang orang tersingkir
sebagai kota kehabisan nurani.
Dan
mungkin airmatamu kelak.
Sidakarya
Suwung, 03 april 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar