Selasa, 31 Januari 2012

NASIHAT KATA


Sajak : DG Kumarsana

 
Ibu itu menasihati anaknya:
“Nak, kalau tahun ini penghargaan pengabdiamu dari perusahaan tempatmu bekerja tidak keluar, ikhlaskanlah. Karena sekian banyak pekerja lebih banyak mengabdi kata-kata dengan lidahnya. Nak, kalau kamu ingin mengabdi dengan kata-kata pula sebagaimana kebanyakan orang-orang, ingatlah dan camkan pesan ibumu ini : mengabdilah dengan benar lewat kata-kata dalam nurani yang jelas. Karena engkau kulahirkan ke dunia ini bukan untuk menghitung peluh yang tidak sia-sia telah kau keluarkan buat anak-anakmu!”
Anak itu mengingatkan ibunya:
“Bunda, tahun ajaran baru ingat belikan aku sepatu baru, baju baru, celana baru, ikat pinggang baru dan buku baru. Jangan lupa bayarkan uang komite, uang asuransi sekolah yang tak jelas dan uang pembangunan. Bunda, kalau tidak punya uang, pinjam dulu. Karena aku malu tidak sekolah gara-gara tidak ada uang kendati aku sadar datang ke sekolah seperti mendatangi butik di awal PSB”
Ibu itu membujuk suaminya:
“pakne, kalau tidak ada jalan lain cari uang buat sekolah anak, kasbon dululah di perusahaanmu dan banyak-banyak berdoa agar rejeki secara berlipat-lipta segera jatuh dari langit. Karena berdoa jauh lebih baik ketimbang korupsi!”
Dan suaminya mengangguk serta memperbaiki lidahnya agar tidak salah omong, agar lebih hormat dan pintar mengambil hati atasan, agar lebih hormat dan pintar mengambil hati ibunya, agar lebih hormat dan pintar mengambil hati para leluhurnya, agar lebih hormat dan pintar mengambil hati Tuhannya : berharap keberuntungan lebih bersahabat lagi dengannya.
Istrinya senang melihat suaminya sudah mulai pintar memperbaiki lidah berujar yang benar bahwa untuk memperbaiki nasib pendidikan anaknya tergantung pada cara kerja yang benar  di setiap gerakan lidah suaminya yang memuntahkan kata-kata manis. Hanya tinggal mengajarkan suaminya bagaimana cara bermuka-muka yang benar dan santun manakala berhadapan dengan atasan. Menekankan suaminya untuk lebih sering bersilaturahmi pada atasan agar bisa mengeruk keuntungan pribadi.


PENYAIR AKHIRNYA


Sajak : DG.Kumarsana

 
Dengan ucapan terimakasih yang tak terhingga kepada sang TAKSU yang telah melahirkan sebagai seorang penyair beken
Ucapan terimakasih yang tak terhingga kepada sang TAKSU yang tiap malam aku sebut namanya sehingga telah melahirkanku sebagai cerpenis yang lumayan bagus tulisan saya walau masih banyak bopeng-bopengnya

Penyair tak menunggu turunnya hujan dari langit ketika ia harus meramalkan kata-kata menjadi sebuah kalimat indah dibaca
Penyair tak harus sebentar jongkok di WC untuk mampu menetapkan pilihan apakah kata-katanya siap untuk dibacakan di mimbar-mimbar
Penyair adalah ibadah pada kata-katanya sendiri yang tidak selalu dianggap miskin idealisme karena komitmennya yang tinggi untuk menetapkan kata sebagai sebuah perubahan moral masyarakat yang dianggap sakit
Penyair terkadang memancing sensasi yang genit menggoda di depan mata, walau terkadang sering penyair termakan oleh kata-katanya yang dirangkai
Karena begitulah penyair siap dimaki saking sukanya memaki kebobrokan bangsa ini dalam penjajahan kaum koruptor.
Penyair kendati suka uang dan tidak malu untuk kaya namun belum layak melahirkan generasi koruptor
Penyair suka memainkan kata-kata dengan bersilat lidah namun enggan membunuh sesama manusia, apa lagi sesama penyair
Penyair enggan untuk jual diri, apalagi menjual bangsa ini menjadi bangsa tanpa harga diri, namun penyair tidak suka kampanye untuk mencalonkan dirinya jadi presiden, adalah lebih baik ia menjadi seorang presiden penyair untuk kata-kata yang disyairkan

Penyair adalah rakyat miskin yang kaya kata-kata makanya sebagai seorang birokrat jangan coba-coba menjadi penyair kalau tergelincir dan tidak setia dalam prilaku kata-kata sendiri dalam prilaku terpilah
Dengan demikian seorang penyair harus siap miskin kendati kadang-kadang sering mengaku kaya raya, punya sawah luas, punya rumah mewah, punya istri banyak dan punya anak banyak sebagaimana yang disyairkan dalam karyanya yang kaya makna

Penyair adalah roh dahsyat yang melahirkan kata, bak Taksu ketika setiap makna syairnya meruntuhkan negeri awan gelap bobrok moral
Dan Penyair di akhir kedatangannya dijadikan pesakitan
runyam…….!!!



PESAN SEORANG IBU BUAT ANAKNYA


Sajak : DG. Kumarsana
 
Seorang ibu mengabari anaknya yang nun jauh di seberang pulau :


“ Nak, jangan lupa sembahyang, itu penting buat kehidupanmu yang sarat dengan cita-cita, jangan lupa disiplin dalam kebajikan-kebajikan yang pernah ibu ajarkan, jangan terlantarkan kasih sayang buat anak-anakmu kelak tempatmu bergantung bagi masa tua, jangan telantarkan rasa syukur ketika hidupmu susah kendati kau tak menghendaki nasib yang demikian jahil mengoyak-koyakan hidup yang sesungguhnya sangat indah ini”

Anaknya menelan ludah satu kali dalam sengak hati tak jelas………

“ Nak tatap ke depan dengan hati yang lebih cerah dan tolehlah ke bawah kalau ternyata masih banyak orang-orang yang demikian patuh tak bergeming dalam doa-doa yang lapar oleh kebutuhan sehari-hari tanpa kejelasan…..”

Anaknya menelan ludah yang tadi tak jadi tertelan dua kali dalam sengak hati lapat lapat

“Nak kalau engkau naksir cewek, carilah yang pas-pasan saja dengan harapan ngerti kemiskinan serta ngeri hidup mewah, apalagi dari hasil dana-dana tak jelas Tapi cari juga cewek yang jelas latar belakangnya dan yang penting jangan main belakang dengan cewek tanpa setahu ibu. Itu akan menjadi anggapan ibu ketidakjelasanmu sebagai seorang anak dari ibumu yang jelas-jelas membesarkanmu…”

Anaknya menelan ludah berkali-kali, sedikit terbatuk-batuk

“Nak kalaupun kamu dapat pacar yang kaya dan banyak duit jangan lupa tanya apakah hutangnya juga banyak? Seandainya itu keliru, ndak ada salahnya menanyakan pula apakah orang tuanya sosok pejabat basah, maksud ibu menjabat di arena bergumul proyek yang manik matanya gemerlap bergambar duit. Sebab terkadang hasil korupsi hanyalah menduga yang kadang-kadang tepat walau tak ada alasan untuk mengatakan demikian seandainya kita di tempat yang sama dengan kesempatan yang lebih memungkinkan…”

Anaknya menelan ludah sambil tidak lupa menjilat-jilat lidah mendengar kalimat pejabat dan korupsi.