Siapapun melihat
wajah bu guru Ginanti pasti akan senang, karena wajahnya cantik dan senyumnya
penuh simpati. Sepertinya kalau melihat wajahnya dan sorot matanya yang
demikian teduh, bu guru Ginanti tidak suka marah. Gilang paling suka melihat
wajah bu guru yang cantik. Berbahagialah orang yang menjadi suami bu Guru
Ginanti. Lelaki itu pastilah sangat beruntung dalam hidupnya dari sekian banyak
laki-laki yang mendambakan untuk dapat memiliki wajah ayu dan secantik bu guru
Ginanti. Lelaki manapun pastilah betapa bangganya jadi pelabuhan hati bu guru
Ginanti. Pastilah banyak laki-laki yang menginginkan bu guru Ginanti. Dewi
Sinta Prabawati, pacarnya Gilang saja sebagai seorang gadis juga sangat senang
dan tertarik melihatnya, apa lagi laki-laki. Sesama perempuan saja mereka
demikian kagum. Dan itu bukan cerita kosong. Lihat saja Anik, Reni, Ayu bahkan
Ningsih dan entah teman teman yang lainpun tidak mampu menyembunyikan rasa
kagum. Rasa kagum yang tidak dibuat-buat bahkan terlontar pujian dari bibir
mereka. Atau di sela jam kosong selalu ngerumpi tentang Ibu guru Ginanti.
Seolah dengan mengagumi bu Ginanti, aura kecantikan ingin juga disebar pada
mereka semua. Dan pada akhirnya selain mereka semua meniru gerak-gerik bu guru
yang satu ini, merekapun berlomba-lomba untuk tampil cantik.
“Awas kalau tertarik padanya, Dewi
nggak mau lagi temenan ama kamu,” Dewi Sinta Prabawati mengingatkan pacarnya
yang diam-diam selalu melirik bu guru Ginanti.
Gilang senyum-senyum saja di hadapan
pacarnya. Nggak mungkinlah Gilang pacaran ama gurunya. Masak murid mau macarin
bu guru? Kalau pak guru macarin muridnya yang perempuan sih ada.
“Itu sih karena muridnya yang
nakal,” Dewi jadi memperdebatkan masalah pacaran guru dan murid.
“Iya, tapi pak gurunya nakal juga
khan? ” Gilang tak mau kalah.
“Muridnya juga kok”
“Gurunya!!!”
“Muridnya!”
“Gurunya! “
“Muridnyaaaaaaaaa…!!!” Dewi
berteriak keras.
“Eh, sudah! Sudah! Kok kita jadi
bertengkar sih?” Gilang akhirnya senyum senyum mengalah sambil memeluk Dewi. “
Iya muridnya dah!”
“Jelek, pringas-pringis gitu. Jelek!
Aku ndak suka laki-laki prangas-pringis. Jelek, tauu!!?? jelek! Jelek!!” Kontan
Dewi mencubit pacarnya.
Gilang meringis.
Kalau Bu guru Ginanti sudah berdiri
di depan kelas, semua teman-teman pasti terbengong-bengong bagai disihir hingga
terkadang sampai lupa kalau pelajarannya sudah selesai.
“Lho, sudah selesai bu?” Anton
berkomentar dengan nada kecewa. Yang lain pada
mengeluarkan suara-suara tak jelas. Ketika ditanya bu Ginanti, mereka
bengong tak bisa menjawab. Tangan bu Ginanti menunjuk ke arah Agus
“Khan udah ibu terangkan tadi,” Bu
Ginanti menegaskan lagi sambil mendekati Agus yang duduk di bangku belakang
paling pojok. Agus berkeringat. Hanya mengeluarkan suara ah-oh-ah-oh
“Hush, bu Gin nanya tuh,” Reni yang
duduk di samping mencuwil lengan Agus. Masih saja Agus seolah terjebak dalam
sihir yang aneh tak mampu menjawab. Matanya hanya menatap bu guru yang cantik
itu dengan mulut menganga lebar. Bau wangian parfum yang keluar dari tubuh bu
Ginanti semakin membuat Agus kian gelagapan.
“Hei, Gus, mulutmu jangan ngangak
gitu, dong!” Herman menendang kakinya di bawah meja.
“Hush…..mingkem!!!” yang lain ikutan
mengganggu.
Agus meringis. Seolah baru tersadar
dari mimpi, menatap Herman dan teman-temannya yang lain secara bergantian.
Seperti orang bego ia tengadah menatap Bu Ginanti dengan suara ah-eh-oh.
“Maaf ibu tanya apa tadi nggg….”
Teman-temannya yang lain spontan
ketawa ngakak. Bu Ginanti melengos berusaha menyembunyikan senyum manisnya dan
melangkah ke depan kelas sambil geleng-geleng kepala. Ruangan riuh sesaat
dengan tawa anak-anak. Ada yang cekikikan menahan geli, sebagian ada yang tidak
tahan hingga ngakak keras-keras.
“Bu, kenapa nggak tanya aku aja?”
seketika Gilang berteriak mengacungkan tangan, namun yiaaouuwww, matanya
mengernyit berusaha tidak mengaduh. Dewi di bangku sebelah mendelik lagi-lagi
menancapkan kuku di paha Gilang.
Bu Ginanti menoleh, mengarahkan
pandangan. Mata beradu mata, hati belum sampai menyentuh. Gilang klemes-klemes
seperti bayi kurang gizi. Kalau Dewi melihat persis: bayi yang telat diteteki
ibunya.
“He.. he.. he.. nggak bu. Nggak
jadi!” Gilang mendadak gagap. Linglung yang tidak dibuat-buat.
“Lho…??”
Lagi-lagi semua ketawa, bukan ngetawain
bu guru Ginanti, tapi tertawa melihat ulah Gilang. Semakin membuatnya
pringas-pringis kecut melirik Dewi di samping. Yang dilirik tambah melotot, ih!
Ibu guru Ginanti memang selalu penuh
dengan kejutan. Seminggu tidak bertemu, anak-anak sudah pada kangen. Bukan
kangen dengan pelajarannya, tapi wajah bu Ginanti itu lho! Semua di kelas
seperti merasa cepat bosan tanpa kehadiran bu Ginanti. Waktu terasa begitu
lamban berjalan. Jarum jam demikian perlahan detaknya. Seolah tidak bergerak
sama sekali. Beberapa anak-anak lebih suka duduk-duduk di luar daripada
mengikuti pelajaran di dalam kelas. Ada yang membolos nangkring di parkiran
motor. Sebagian ada nongkrong di kantin sekolah. Sedemikian hebat pengaruh guru
cantik itu.
“Hei..hei, bu Ginanti datang ….bu Ginanti
datang….hari ini udah mulai ngajar,” salah seorang anak berteriak memberi
kabar.
Dengan lenggak lenggok bu Ginanti
terlihat memasuki ruangan kelas Gilang.
Dan apa yang terjadi? Gilang mau
ketawa saja melihat kehadiran bu Ginanti kali ini. Penampilannya sangat
berbeda. Ada yang berubah. Ya, ada yang lain pada diri bu Ginanti. Rambutnya
itu lho. Rambutnya telah berubah jadi kriting. Wow, kian menambah cantik
wajahnya. Kian menawan saja penampilannya. Membuat terkagum-kagum. Bu Ginanti
memang cantik. Ck..ck..ck….Gilang-lah yang paling semangat mengikuti pelajaran
bu Ginanti. Tanpa sadar tangannya mencoret-coret sesuatu di atas kertas. Lalu
tertawa sendiri melihat hasil goresannya sendiri.
“Buat apa itu?” Dewi menoleh curiga.
Berusaha ingin merebut kertas yang ada di tangan Gilang. Gilang mengelak dengan
cara mengibas tangan pacarnya dan berusaha melipat kertas itu, meremas-remas
dan memasukkan di bawah kolong meja.
Memang besar pengaruh bu Ginanti.
Ruangan kelas yang semula beberapa bangku terlihat kosong, kini malah penuh,
sebagian ada yang duduk bertiga dalam satu bangku. Bahkan dari kelas lainpun
ikut-ikutan mengikuti pelajaran bu Ginanti. Mereka rela duduk berhimpitan dalam
waktu 2 jam hanya untuk dapat memandang wajah guru cantik itu. Kalau bisa mereka
ingin tidak hanya 2 jam pelajaran, bila perlu pelajaran guru lain ganti aja
dengan bu Ginanti.
“Iya ganti aja,” Gilang berseloroh.
Terbawa khayalannya sendiri.
“Hush, diam! Ngomong apa sih kamu?
Tuh dengar penjelasan bu guru,” Dewi mengingatkan.
“Ada yang bertanya?” Bu Ginanti
memandang seisi ruangan. Bu Ginanti rupanya tidak begitu perhatian kalau bangku
semua terisi. Nyaris tidak tahu kalau ada siswa kelas lain ikut bergabung di
ruangan ini.
“Bu, kalo bisa pelajaran lain ibu
aja yang ngisi, gimana?” Gilang acungkan tangan tinggi-tinggi.
“Iya bu, bener bu, ibu saja yang
ngajar,” yang lain nyeletuk.
“Iya bu, kalau bisa ibu saja,”
terdengar suara anak-anak.
“Iya,..iya….” yang lain ikut-ikutan
bersuara, Dan ruangan kembali riuh oleh suara-suara. Bu Ginanti keplok-keplok
tangan. Mirip ngajar anak-anak TK. Berarti kalau di ruang sidang senayan para
wakil rakyat rapat paripurna dengan acara ngotot-ngototan bahkan sampai adu
jotos segala di tonton jutaan rakyatnya, ya bermula seperti ini. Semua bermula
dari sekolah, bagaimana cara bu Ginanti
mengajar mereka untuk bisa santun ketika mereka nanti sudah duduk jadi anggota
dewan wakil rakyat yang terhormat. Keplok-keplok tangan bu Ginanti mampu
mendinginkan suasana. Semua bengong kembali seperti sediakala. Semua kena
sirep. Dan melongo-longo tersihir, lalu mengangguk-ngangguk, dan segalanya bisa
di atur. Demikian sempurna tanpa kurang suatu apapun. Segalanya pasti beres di
tangan bu Ginanti.
Hebat!
Benar-benar menakjubkan.
Memang segalanya bisa beres di
tangannya. Tapi untuk yang satu ini ternyata tidak. Kali ini di ruangan kepala
sekolah nampak bu Ginanti nangis meraung-raung. Kecantikannya lenyap oleh isak
tangis jeleknya. Guru-guru lainnya saling pandang satu sama lain. Sesekali
menatap Gilang bak pesakitan duduk tertunduk lesu di ruangan guru. Kepala
sekolah nampak memegang kertas bekas remasan tangan yang sedikit kucek seperti
ingin menahan senyum.
“Kenapa kamu lakukan ini Lang?” pak
Sahid kepala sekolah itu memandang Gilang. Gilang tertunduk lesu. Takut beradu
tatap dengan bu Ginanti yang masih terdengar isaknya.
“Saya tidak bermaksud apa-apa, pak
Guru. Apalagi mau bikin bu Ginanti sampai menangis.,” Gilang bersuara pelan
membela diri. Tatapannya polos. Sepolos tatapan bayi tanpa mengenal dosa. Bagaimana
bayi polos, ya seperti itulah tampang Gilang saat ini. Sedikitpun ia tidak
merasa bersalah. Hanya saja Gilang merasa aneh. Kenapa kertas yang sudah ia
remas-remas dan di buang di tong sampah bisa berada di tangan kepala sekolah.
Itu saja keheranan Gilang. Siapa memberikan kertas isengnya itu? Reni, Wawan
ataukah Anton sendiri? Ah, Dia jadi bingung. Atau jangan jangan? Ya, jangan
jangan pacarnya sendiri yang memberikan sebagai bentuk pelampiasan kekesalan
kepadanya. Iya, jangan jangan………
“Iya, tapi kenapa bu guru Ginanti
kamu gambar seperti ini. Coba lihat, aduhhh, kau ini!”
Pak Sahid
memperlihatkan kertas yang di gambar oleh Gilang.. Nampak gambar wajah seorang wanita berambut kriting yang di atas
bibir wanita itu dibuat goresan menyerupai kumis. Melihat gambar dirinya lagi
dipertontonkan di hadapan guru-guru lain, bu Ginanti kembali terisak bahkan
semakin keras menangis. Saking tak tahan lalu pergi meninggalkan ruangan.
Keesokan harinya dan hari-hari
selanjutnya bu Ginanti tidak terlihat lagi di sekolah itu.
Lereng Pengsong
2012