Minggu, 24 Juni 2012

K I T A


Cerpen : DG. Kumarsana
 
Masih sangat begitu keras angin menerpa wajahku. Terasa dinginnya begitu masuk menyelusup hingga ke tulang sumsum, sudut bagi zat perasa yang paling peka untuk merasakan dalamnya sang rasa. Entah sampai dimana aku telah berjalan menyusuri kedalamannya. Tidak pernah aku tahu, bahkan tidak sampai menengok seberapa besar tenaga yang telah kuhabiskan hanya untuk lepas melampiaskan segala keinginan-keinginan yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Dia hanya suntuk dengan kediamannya, sekali-sekali aku perhatikan tangannya yang masih menyimpan goresan, kenakalan masa muda yang pernah dialami sewaktu melakukan perjalanan yang sama, bergetar oleh daya tarik matanya yang sewaktu-waktu demikian ganas menginginkan suguhan menarik.
            “Dimana kau habiskan waktumu?”
            Ia hanya menatap dalam diam.
            Aku tahu apa yang tengah bersembunyi dalam mata yang senantiasa redup. Suatu saat pula akan melibas segala keinginan-keinginan yang pernah ia simpan sebelumnya sebagai sebuah perjalanan yang akan meninggalkan sejarah dalam hidupnya.
            “Apakah aku selalu memberikan waktu buatmu untuk sekadar bertanya?”
            Dia menggeleng. Tak pernah memberikan senyum yang berarti.
            “Itu milikku. Milik satu-satunya dari semua yang pernah aku miliki!” Ia seolah menegaskan dalam tatap matanya yang dalam. Setegas daya tarik yang tengah ia suguhkan. Mempertegas lamunan akan sebuah milik yang berarti dalam keraguan berbatas. Antara memberi dengan berharap atau menerima dalam keterpaksaan. Tertarik oleh mata bathin yang senantiasa pula demikian kenyal memperebutkan napsu tak sampai. Sesuatu yang tak jelas tergambar dalam ikatan
            “Sudah sampai dimana?” Aku enggan menjawab, karena mungkin aku terlalu berani untuk mengetahui jawabnya. Matanya mengisyaratkan untuk diam, itu terlalu mudah untuk dimengerti oleh bahasaku. Namun masih saja angin itu menerpa keinginan-keinginan tak wajar, tanpa harus menyebutkan salah satu keinginan untuk bersetubuh dengan alam, menyetubuhi apa yang pernah aku jalani sebelumnya, menyetubuhi apa yang menjadi keinginan-keinginanku kemudian, sampai lupa akan rencana yang pernah tersusun rapi.
            Atau tepatnya, aku sudah mulai lupa dengan rencana-rencana semula. Sudah terlalu jauh aku berjalan, sedemikian panjang jarak yang nampak untuk ditempuh, entah sampai dimana dan dengan cara apa harus menghitung, karena aku tak mampu untuk menghitungnya lagi, tak mampu memperhitungkan kejadian di balik semua itu terhadap gelagat-gelagat yang akan terjadi dengan beranggapan itu sesuatu yang tidak perlu untuk dirisaukan serta tidak perlu untuk dipikirkan resiko-resikonya. Apa itu resiko? Bagaimana untuk mempertanggung jawabkannya.
            “Sudah sampai dimana?” masih juga dia bertanya dalam kebekuan yang tolol. Aku masih merasakan kebodohan itu dan tidak untuk bersuara. Tidak memiliki alasan untuk menjawab segala keinginannya yang tak pernah sampai. Tidak tahu entah sudah sampai di mana pula melangkahkan kaki. Aku rasakan tidak pernah sampai, seolah-olah melangkah pada arah yang berlawanan.
            “Entahlah, aku sering lupa. Terlalu sering melakukan perjalanan yang sama. Diantara kesamaan-kesamaan tersebut ada hal-hal yang sering aku lupakan. Namun aku tak pernah sampai. Sejauh-jauhnya aku tempuh. Sejauh-jauhnya. Rasanya aku sering melamunkan apa yang menjadi hasil dari perjalanan itu, namun tak pernah diberikan ikut menjadi bagiannya sampai lupa diri dan sering putus asa. Apakah aku harus melakukan perjalanan dengan memaki? Namun aku sadari begitu banyak kegagalan dalam perjalanan itu.. Sampai aku tak sempat untuk menghitung. Sampai aku letih sendiri.
            Barangkali dengan cara begini ada sedikit beban buatnya, karena kalau ini merupakan anggapan yang mendekati cara-cara tingkah laku untuk melakukan sekadar akhlak yang tidak ditutup-tutupi, matanya akan memberi binar mengembang dan mulutnya akan senantiasa mengumandangkan dengungan kesenangan bahwa ada yang menyempatkan diri untuk mengemukakan masalah-masalah yang sedang aku alami, yang paling pribadi sekali sifatnya. Dan dia akan menjadi lumer dengan bentuk-bentuk tak jelas dengan kemampuan melewati peradaban yang dibentuk keadaan-keadaan. Dan aku menjadi bagian terkecil dari persyaratan yang disuguhkan, menjadi molekul, menjadi atom, menjadi dahan terkecil dari batas-batas ranting paling ujung melewati ruas rasa urat syaraf, menjadi debu, menjadi batu serta menjadi kedahsyatan yang hampir tidak terlihat oleh mata kasar, mata nan telanjang tanpa dibekali sesuatu yang bernama kekuatan bathin.
            “Sudah sampai dimana?”
            Aku menggeleng. Napasku mengeras sekaligus memberat.
            “Kamu menyukai perjalanan ini?”
            Lagi-lagi aku hanya diam. Napasku masih terasa terhimpit dalam ratusan kilo beban yang maha berat. Demikian mengeras dan masih memberat.
            Masih sangat begitu keras angin menerpa wajahmu, engkau rasakan dinginnya, begitu masuk menyelusup dari pori-pori kulit, menyelusup bersamaan dengan selimut yang terlempar, menyelusup menjaga angin yang masuk pada setiap pori-pori jendela tak terbuka.” Kita hanya berdua.” Itu katamu. Masih sangat begitu keras kemauanmu bersama angin yang lalu di tubuhmu. Aku menjaga angin itu tetap menembang napasmu yang selalu seolah mengisyaratkan sebuah umpan yang sangat manis. Aku merengkuh bumi. Tak kusadari pori-pori tubuhmu mengembang dan kau katakan ini semua adalah kekuasaan alam yang tak mampu untuk dilawan. Masih saja dingin ini menyelusup diam-diam melumuri setiap sumsum yang tersisa. Sekian jam, sekian menit dalam detik-detik penantian. Siapa yang menawarkan dosa ini berlanjut? Kita yang melumuri dosa. Bukan! Ini suara angin bersama desah napasmu.
            “Begitu bodohnya aku.”
            Matanya mengisyaratkan rasa geli dari ungkapanku yang tidak sesungguhnya perlu untuk dilontarkan.
            “Memang bodoh!”
            Jarum jam menggelepar di menit yang sama. Dalam hati yang berkarat. Mata kailmu menangkap tiga ekor ikan yang barangkali tengah diumpankan pada sang ibunya mata air. Begitu kuatnya kesabaranmu. Begitu kuatnya persahabatanmu. Itu membuat aku sering linglung. Karena aku tak tahu bagaimana cara untuk meminta. Dan engkau semakin sabar. Padahal kesabaran menjadi sesuatu yang penting dalam pergaulan untuk membentuk kesamaan arti bersahabat. Padahal kesabaran yang engkau ajarkan menyulitkan aku bersahabat dengan waktu. Entah kebodohan ini terasa mengukur waktu. Aku terlalu mendikte. Kian mendikte. Dan memang aku harus menentukan sendiri batas kesabaran ini. Tidak diatur oleh waktu. Dan engkau akan semakin tahu bahwa aku tak lebih hanyalah sebuah ajaran-ajaran kesabaran yang demikian dangkal dan sangat mahal untuk diartikan sebagai sebuah kebodohan yang sia-sia. Barangkali waktu yang membutuhkan kami dalam menekuni sebuah pelajaran baru tentang anatomi, sesuatu yang melekuk pada molekul suasana. Dan memang itu yang tengah kita tampilkan dalam keleluasaan menikmati asmara.
            “Apakah engkau masih bertanya juga dan akan tetap bertanya. Terus bertanya, sampai di mana aku telah berjalan?”
            Kemudian engkau mengangguk. Kemudian engkau lempar mata kailmu. Kemudian engkau buang keseluruhan diriku. Kemudian engkau terbang ke angkasa mengajari lekuk-lekuk bintang di langit. Kemudian kita sama-sama tengadah menatap langit, mengibarkan tangan di angkasa raya sampai kita sadar telah menjadi bayi yang masih menetek serta memagut-magut waktu. Kemudian, kemudian dan kemudian. Terlalu banyak kemudahan yang aku harapkan. Apakah aku masih membutuhkan seseorang? Atau senantiasa kau ajarkan semua kenikmatan semu dalam kesabaran untuk menyelinap ke dalam masalah-masalah hidupku, sampai kubiarkan engkau menyelinap, merangkak, meraung, mendengus, merintih, menggigit habis kekenyalan masa laluku? Akhirnya kau katakan tubuhku beku, hatiku kaku dan hidupku ragu dan kata-kata yang keluar hanyalah sebuah onggok dalam pita suara yang kelu.
            Oh, menyedihkan. Lamunan ini terlalu mudah diisyaratkan kepedihan!
            Sahabat, didinginnya kabut yang memayungi perjalanan ini, kita tengah menjadi satu kabut dalam selimut mata hati. Membiarkan mata kaki kita mendaki pada arah yang sama. Menanamkan matahari di tubuh yang membenam panas.



Lereng Pengsong 2011