Cerpen : DG.
Kumarsana
Masih sangat begitu keras angin menerpa wajahku. Terasa dinginnya begitu
masuk menyelusup hingga ke tulang sumsum, sudut bagi zat perasa yang paling
peka untuk merasakan dalamnya sang rasa. Entah sampai dimana aku telah berjalan
menyusuri kedalamannya. Tidak pernah aku tahu, bahkan tidak sampai menengok
seberapa besar tenaga yang telah kuhabiskan hanya untuk lepas melampiaskan
segala keinginan-keinginan yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Dia hanya
suntuk dengan kediamannya, sekali-sekali aku perhatikan tangannya yang masih
menyimpan goresan, kenakalan masa muda yang pernah dialami sewaktu melakukan
perjalanan yang sama, bergetar oleh daya tarik matanya yang sewaktu-waktu
demikian ganas menginginkan suguhan menarik.
“Dimana kau habiskan waktumu?”
Ia hanya menatap dalam diam.
Aku tahu apa yang tengah bersembunyi
dalam mata yang senantiasa redup. Suatu saat pula akan melibas segala
keinginan-keinginan yang pernah ia simpan sebelumnya sebagai sebuah perjalanan
yang akan meninggalkan sejarah dalam hidupnya.
“Apakah aku selalu memberikan waktu
buatmu untuk sekadar bertanya?”
Dia menggeleng. Tak pernah
memberikan senyum yang berarti.
“Itu milikku. Milik satu-satunya
dari semua yang pernah aku miliki!” Ia seolah menegaskan dalam tatap matanya
yang dalam. Setegas daya tarik yang tengah ia suguhkan. Mempertegas lamunan
akan sebuah milik yang berarti dalam keraguan berbatas. Antara memberi dengan
berharap atau menerima dalam keterpaksaan. Tertarik oleh mata bathin yang senantiasa
pula demikian kenyal memperebutkan napsu tak sampai. Sesuatu yang tak jelas
tergambar dalam ikatan
“Sudah sampai dimana?” Aku enggan
menjawab, karena mungkin aku terlalu berani untuk mengetahui jawabnya. Matanya
mengisyaratkan untuk diam, itu terlalu mudah untuk dimengerti oleh bahasaku.
Namun masih saja angin itu menerpa keinginan-keinginan tak wajar, tanpa harus
menyebutkan salah satu keinginan untuk bersetubuh dengan alam, menyetubuhi apa
yang pernah aku jalani sebelumnya, menyetubuhi apa yang menjadi
keinginan-keinginanku kemudian, sampai lupa akan rencana yang pernah tersusun
rapi.
Atau tepatnya, aku sudah mulai lupa
dengan rencana-rencana semula. Sudah terlalu jauh aku berjalan, sedemikian
panjang jarak yang nampak untuk ditempuh, entah sampai dimana dan dengan cara
apa harus menghitung, karena aku tak mampu untuk menghitungnya lagi, tak mampu
memperhitungkan kejadian di balik semua itu terhadap gelagat-gelagat yang akan
terjadi dengan beranggapan itu sesuatu yang tidak perlu untuk dirisaukan serta
tidak perlu untuk dipikirkan resiko-resikonya. Apa itu resiko? Bagaimana untuk
mempertanggung jawabkannya.
“Sudah sampai dimana?” masih juga
dia bertanya dalam kebekuan yang tolol. Aku masih merasakan kebodohan itu dan
tidak untuk bersuara. Tidak memiliki alasan untuk menjawab segala keinginannya
yang tak pernah sampai. Tidak tahu entah sudah sampai di mana pula melangkahkan
kaki. Aku rasakan tidak pernah sampai, seolah-olah melangkah pada arah yang
berlawanan.
“Entahlah, aku sering lupa. Terlalu
sering melakukan perjalanan yang sama. Diantara kesamaan-kesamaan tersebut ada
hal-hal yang sering aku lupakan. Namun aku tak pernah sampai. Sejauh-jauhnya
aku tempuh. Sejauh-jauhnya. Rasanya aku sering melamunkan apa yang menjadi
hasil dari perjalanan itu, namun tak pernah diberikan ikut menjadi bagiannya
sampai lupa diri dan sering putus asa. Apakah aku harus melakukan perjalanan
dengan memaki? Namun aku sadari begitu banyak kegagalan dalam perjalanan itu..
Sampai aku tak sempat untuk menghitung. Sampai aku letih sendiri.
Barangkali dengan cara begini ada
sedikit beban buatnya, karena kalau ini merupakan anggapan yang mendekati
cara-cara tingkah laku untuk melakukan sekadar akhlak yang tidak
ditutup-tutupi, matanya akan memberi binar mengembang dan mulutnya akan
senantiasa mengumandangkan dengungan kesenangan bahwa ada yang menyempatkan
diri untuk mengemukakan masalah-masalah yang sedang aku alami, yang paling
pribadi sekali sifatnya. Dan dia akan menjadi lumer dengan bentuk-bentuk tak
jelas dengan kemampuan melewati peradaban yang dibentuk keadaan-keadaan. Dan
aku menjadi bagian terkecil dari persyaratan yang disuguhkan, menjadi molekul,
menjadi atom, menjadi dahan terkecil dari batas-batas ranting paling ujung
melewati ruas rasa urat syaraf, menjadi debu, menjadi batu serta menjadi
kedahsyatan yang hampir tidak terlihat oleh mata kasar, mata nan telanjang
tanpa dibekali sesuatu yang bernama kekuatan bathin.
“Sudah sampai dimana?”
Aku menggeleng. Napasku mengeras
sekaligus memberat.
“Kamu menyukai perjalanan ini?”
Lagi-lagi aku hanya diam. Napasku
masih terasa terhimpit dalam ratusan kilo beban yang maha berat. Demikian
mengeras dan masih memberat.
Masih sangat begitu keras angin
menerpa wajahmu, engkau rasakan dinginnya, begitu masuk menyelusup dari pori-pori
kulit, menyelusup bersamaan dengan selimut yang terlempar, menyelusup menjaga
angin yang masuk pada setiap pori-pori jendela tak terbuka.” Kita hanya
berdua.” Itu katamu. Masih sangat begitu keras kemauanmu bersama angin yang
lalu di tubuhmu. Aku menjaga angin itu tetap menembang napasmu yang selalu
seolah mengisyaratkan sebuah umpan yang sangat manis. Aku merengkuh bumi. Tak
kusadari pori-pori tubuhmu mengembang dan kau katakan ini semua adalah
kekuasaan alam yang tak mampu untuk dilawan. Masih saja dingin ini menyelusup
diam-diam melumuri setiap sumsum yang tersisa. Sekian jam, sekian menit dalam
detik-detik penantian. Siapa yang menawarkan dosa ini berlanjut? Kita yang
melumuri dosa. Bukan! Ini suara angin bersama desah napasmu.
“Begitu bodohnya aku.”
Matanya mengisyaratkan rasa geli
dari ungkapanku yang tidak sesungguhnya perlu untuk dilontarkan.
“Memang bodoh!”
Jarum jam menggelepar di menit yang
sama. Dalam hati yang berkarat. Mata kailmu menangkap tiga ekor ikan yang
barangkali tengah diumpankan pada sang ibunya mata air. Begitu kuatnya
kesabaranmu. Begitu kuatnya persahabatanmu. Itu membuat aku sering linglung.
Karena aku tak tahu bagaimana cara untuk meminta. Dan engkau semakin sabar.
Padahal kesabaran menjadi sesuatu yang penting dalam pergaulan untuk membentuk
kesamaan arti bersahabat. Padahal kesabaran yang engkau ajarkan menyulitkan aku
bersahabat dengan waktu. Entah kebodohan ini terasa mengukur waktu. Aku terlalu
mendikte. Kian mendikte. Dan memang aku harus menentukan sendiri batas kesabaran
ini. Tidak diatur oleh waktu. Dan engkau akan semakin tahu bahwa aku tak lebih
hanyalah sebuah ajaran-ajaran kesabaran yang demikian dangkal dan sangat mahal
untuk diartikan sebagai sebuah kebodohan yang sia-sia. Barangkali waktu yang
membutuhkan kami dalam menekuni sebuah pelajaran baru tentang anatomi, sesuatu
yang melekuk pada molekul suasana. Dan memang itu yang tengah kita tampilkan
dalam keleluasaan menikmati asmara.
“Apakah engkau masih bertanya juga
dan akan tetap bertanya. Terus bertanya, sampai di mana aku telah berjalan?”
Kemudian engkau mengangguk. Kemudian
engkau lempar mata kailmu. Kemudian engkau buang keseluruhan diriku. Kemudian
engkau terbang ke angkasa mengajari lekuk-lekuk bintang di langit. Kemudian
kita sama-sama tengadah menatap langit, mengibarkan tangan di angkasa raya
sampai kita sadar telah menjadi bayi yang masih menetek serta memagut-magut
waktu. Kemudian, kemudian dan kemudian. Terlalu banyak kemudahan yang aku
harapkan. Apakah aku masih membutuhkan seseorang? Atau senantiasa kau ajarkan
semua kenikmatan semu dalam kesabaran untuk menyelinap ke dalam masalah-masalah
hidupku, sampai kubiarkan engkau menyelinap, merangkak, meraung, mendengus,
merintih, menggigit habis kekenyalan masa laluku? Akhirnya kau katakan tubuhku
beku, hatiku kaku dan hidupku ragu dan kata-kata yang keluar hanyalah sebuah
onggok dalam pita suara yang kelu.
Oh, menyedihkan. Lamunan ini terlalu
mudah diisyaratkan kepedihan!
Sahabat, didinginnya kabut yang
memayungi perjalanan ini, kita tengah menjadi satu kabut dalam selimut mata
hati. Membiarkan mata kaki kita mendaki pada arah yang sama. Menanamkan
matahari di tubuh yang membenam panas.
Lereng Pengsong
2011