Senin, 27 Februari 2012

NOLAPAKHYANA PARWA (52)


Tatkala Arjuna pergi untuk bertemu dengan Hyang Indra, para Pandawa (yang lain) melanjutkan perjalanannya di dalam hutan Kamyaka. Pada suatu hari, karena Arjuna belum tiba kembali, para Pandawa itu menjadi sedih. Sedih karena berpisah dengan Arjuna dan sedih, karena kehilangan kerajaan.
            Bhima mendesak kepada Prabhu Yudhistira seraya berkata, “Arjuna sudah hilang, kepadanya bergantung hidup kita. Apabila Arjuna mati, kita semua dengan putra-putra kita, keluarga Panchala, Satyakti, Sri Khrisna, niscaya akan mati pula. Adakah kesedihan yang lebih berat daripada kehilangan Arjuna? Dengan keyakinan penuh bahwa senjata itu akan diperoleh, tentunya timbul dalam hati kita seakan-akan musuh kita telah kita kalahkan dalam pertempuran, dan seakan-akan dunia telah kita miliki. Karena Arjuna pulalah aku tidak membunuh putra-putra Dhristharasthra beserta Sakuni di tengah-tengah pertemuan dahulu. Berkat karunia tenaga yang kuat, juga dibantu oleh Sri Krishna, kita menahan kemarahan kita, sebab kendala satu-satunya pangkal kemarahan hati kita itu. Pada hakekatnya, dengan bantuan Sri Krishna kita dapat membunuh musuh kita yang dipimpin oleh Karna, dan kemudian kita dapat memerintah dunia ini. Jadi dunia dapat kita kuasai semata-mata atas kekuatan tangan kita sendiri.
            Di satu pihak kita makin lama makin menderita (ingat kehilangan Arjuna karena kepatuhan kanda, sedang di lain pihak Duryodhana makin lama makin kuat dan berkuasa(karena dibantu oleh Raja-Raja). Hidup di dalam hutan adalah tidak diperuntukkan bagi kewajiban Keshatriya. Kanda memiliki akhlak Keshatriya yang luhur. Tetapi itu tidak kanda amalkan. Jadi berartilah, bahwa kanda keluar dari bidang kewajiban kanda. Tinggalkan hutan ini! Perintahkanlah kepada Arjuna dan Sri Krishna untuk membunuh putra-putra Dhristharasthra, meskipun masa ke dua-belas tahun pembuangan ini belum kita lewati. Meskipun putra-putra Dhritharasthra dibantu oleh banyak Raja-Raja, maka aku sendiri dengan kekuatan sendiri akan membunuh musuh-musuh kita itu. Dan setelah (nanti) semua aku tewaskan, kanda boleh kembali ke dalam hutan (sebab kanda patuh kepada perjanjian). Dengan berbuat demikian, kanda tidak punya dosa (tidak ada yang menyalahkan kanda). Setelah dosa itu kita tebus dengan upacara, kita dapat naik ke surga. Kesudahan seperti itu baru kita peroleh, apabila Raja kita jaya dan bijaksana.
            Terbukti benar, bahwa tipu harus dihancurkan oleh tipu juga. Sekarang jugalah tiba saatnya untuk membunuh Duryodhana. Aku tidak tahu tempat dimana aku tidak dikenal orang, mengingat bahwa mata-mata dari Duryodhana tersebar luas di seluruh pelosok dunia. Andaikata kita tidak diketahui orang pada masa tahun yang ke tiga-belas nanti, Duryodhana akan kembali mengundang kanda main dadu lagi. Apabila kanda telah menghadapi batu dadu, kanda kehilangan indera. Kanda tidak pandai main dadu. Kesudahannya adalah bahwa kita sudah menjalani lagi masa hidup sebagai orang buangan di dalam hutan, karena keahlian atau kecerdikan main dadu tidak ada pada diri kanda. Paham dan mentaati akan bunyi Weda, seharusnya kanda tidak menjadikan hidup kita suatu penderitaan. Jikalau aku memperoleh perkenan kanda, aku pergi ke Hastina, bagaikan api yang jatuh pada rumput yang kering. Akan daku hancur binasakan Duryodhana itu, akan daku gunakan tenagaku habis-habisan. Hanya perintah kanda saja masih aku tunggu dan perintah itu belum pula kanda berikan. Maka berilah aku perkenan kanda itu.”
            Prabhu Yudhistira berkata, “O orang kuat, aku tidak ragu-ragu, bahwa engkau mau, dan dibantu oleh Arjuna, bahwa pada berakhirnya masa tahun ke tiga-belas (dari masa pembuangan kita itu) membunuh Duryodhana. Meskipun engkau mengatakan, “wahai yang dipertuan, masa pembuangan kita telah cukup kita jalani’ (tetapi sesungguhnya belum lampau) aku tidak dapat berkata yang dusta, karena ‘ketidak-benaran’ itu tidak ada padaku. Namun aku percaya bahwa nanti apa bila masa pembuangan kita telah lampau, engkaupun mau membunuh si durjana Duryodhana dengan kawan-kawan sekutunya tanpa unsur penipuan (=membunuh dengan tidak ada tipu muslihat).
            Tatkala Prabhu Yudhistira berkata demikian (itu) kepada Bhima, tiba-tiba datanglah seorang Rishi agung yang termashur Wrihadaswa namanya.
            Setelah memberi hormat dan menghidangkan Madhuparka (=madu,mentega,susu,gula, di dalam piala) kepada Rishi itu, Prabhu Yudhistira berkata dengan sedih,”Karena kalah main dadu (=berhubung keahlian, kecerdikan tidak ada) anaknda kehilangan kemakmuran, kerajaan dalam permainan itu. Anaknda tidak cerdik dalam permainan dadu, anaknda tidak mengenal penipuan. Orang berdosa, orang tidak jujur, mengalahkan anaknda dalam permainan itu. Pandangan anaknda pada waktu itu telah demikian tersesatnya, sehingga jiwa anaknda sendiri masih lebih murah anaknda anggap daripada istri dan anaknda sendiri. Dalam permainan ke dua kali (juga kalah), mereka mengirim anaknda ke tempat pembuangan yang menyedihkan ini, di tengah hutan rimba ini, berpakaian kulit menjangan. Kini anaknda hidup sengsara, sakit hati. Hati anaknda selalu digoda oleh ucapan-ucapan penghinaan mereka ketika peraduan berlangsung, dan kata-kata itu selalu mengumandang dalam ingatan anaknda. Anaknda tidak dapat tidur. Karena duka cita ditinggalkan oleh Arjuna yang arif bijaksana, anaknda hampir menghembuskan nafas yang penghabisan. Oh, kapankah anaknda dapat melihat kembali si Arjuna, si mulut manis, si hati panjang, si penuh kegiatan itu, kembali kepada anaknda dan membawa segenap senjata-senjata yang utama? Adakah raja di dunia ini, yang nasibnya lebih baik dari pada anaknda sendiri? Pernahkan Maha-muni menemui atau mendengar orang lain yang keadaannya seperti anaknda, sebelumnya? Dalam hemat anaknda, tidak seorang pun di dunia ini yang lebih celaka (nasibnya) dari pada anaknda.”
            Rishi Wrihadarwa berkata,” Perkataan anaknda yang menyatakan-tidak ada orang yang lebih celaka dari pada anaknda-sesungguhnya tidak benar. Tidak patut anaknda terlalu sedih, karena anaknda masih tetap ditemani oleh saudara-saudara anaknda para pahlawan, istri anaknda yang setia, dan dikerumuni oleh Brahmana-Brahmana. Keadaan anaknda bagaikan Bhatara Brahma di Kahyangan yang dihadap oleh para Dewata. Tetapi tahukah anaknda, bahwa ada seorang raja, yang karena kalah main dadu juga, lalu hidup sengsara, mengembara dalam hutan belantara hanya seorang diri saja? Dan selama ia tinggal di dalam hutan itu iapun tidak mempunyai hamba sahaya, tidak punya kendaraan, dan tidak mempunyai saudara dan sahabat.
            Dengarkanlah baik-baik, akan kuceritakan kepada anaknda riwayat raja yang kami maksudkan itu!
(penulis, I Gusti Ngurah Ketut Sangka, Kerambitan 24 oktober 1964)

CAMAR RESAH III


Lalu ada rindu bergulir di mata
Bermula iseng
Berkemas
Membenahi cuaca
Di tubuh sunyi

MENYEKA MALAM

sajak DG Kumarsana

Kalau jarak malam enggan berhimpitan
  mungkin aku tak jadi bermimpi
    mungkin aku tak jadi bersuara
      mungkin juga enggan melabuhkan janji

    Kepada siapa :
      bayangmu simpang gelap
        mungkin aku lupa kamu
          mungkin aku mencuri hari
            menduga datangnya mimpimu

DI DANAU BATUR KINTAMANI




Di danau ada angan melaju
teriak nyanyap lantun satu irama
cakrawala masih sepi berhiaskan dan
simpan cahaya rahasia
masih ada yang tertinggal di laju biru
masih ada , kukira
dan bangkit kenangan
satu hati takluk dalam bayang asmara
entah tidak berjawab atau lambat dalam taktik
jalan jalan penuh bayang sementara
barangkali saja putus di tengah teriak nyanyap
lalu jatuh di kilau malam air danau

Gusti ayu tersedak di sepi sampan
imbau derak sampan mimpi
(entah juga tentang bulan,
              Bisa jadi bahasa malam lewat
 pupuh alunan hati, atau….? aku berbisik tidak tahu)

Ayu tak dengar semua itu, sebab cincin ental
 bergelung di jari pengikat

turunlah wahai menciduk air perdaya irama pupuh
 dan semai dalam peraduan

Ayu, aku nenantimu
         di danau ini
  saat ada rasa angin melaju biru
Di danau ada angan melaju
teriak nyanyap lantun satu irama
cakrawala masih sepi berhiaskan dan
simpan cahaya rahasia
masih ada yang tertinggal di laju biru
masih ada , kukira
dan bangkit kenangan
satu hati takluk dalam bayang asmara
entah tidak berjawab atau lambat dalam taktik
jalan jalan penuh bayang sementara
barangkali saja putus di tengah teriak nyanyap
lalu jatuh di kilau malam air danau

Gusti ayu tersedak di sepi sampan
imbau derak sampan mimpi
(entah juga tentang bulan,
              Bisa jadi bahasa malam lewat
 pupuh alunan hati, atau….? aku berbisik tidak tahu)

Ayu tak dengar semua itu, sebab cincin ental
 bergelung di jari pengikat

turunlah wahai menciduk air perdaya irama pupuh
 dan semai dalam peraduan

Ayu, aku nenantimu
         di danau ini
  saat ada rasa angin melaju biru