Tatkala Arjuna pergi untuk bertemu dengan
Hyang Indra, para Pandawa (yang lain) melanjutkan perjalanannya di dalam hutan
Kamyaka. Pada suatu hari, karena Arjuna belum tiba kembali, para Pandawa itu
menjadi sedih. Sedih karena berpisah dengan Arjuna dan sedih, karena kehilangan
kerajaan.
Bhima mendesak kepada Prabhu
Yudhistira seraya berkata, “Arjuna sudah hilang, kepadanya bergantung hidup
kita. Apabila Arjuna mati, kita semua dengan putra-putra kita, keluarga
Panchala, Satyakti, Sri Khrisna, niscaya akan mati pula. Adakah kesedihan yang
lebih berat daripada kehilangan Arjuna? Dengan keyakinan penuh bahwa senjata
itu akan diperoleh, tentunya timbul dalam hati kita seakan-akan musuh kita
telah kita kalahkan dalam pertempuran, dan seakan-akan dunia telah kita miliki.
Karena Arjuna pulalah aku tidak membunuh putra-putra Dhristharasthra beserta
Sakuni di tengah-tengah pertemuan dahulu. Berkat karunia tenaga yang kuat, juga
dibantu oleh Sri Krishna, kita menahan kemarahan kita, sebab kendala
satu-satunya pangkal kemarahan hati kita itu. Pada hakekatnya, dengan bantuan
Sri Krishna kita dapat membunuh musuh kita yang dipimpin oleh Karna, dan
kemudian kita dapat memerintah dunia ini. Jadi dunia dapat kita kuasai
semata-mata atas kekuatan tangan kita sendiri.
Di satu pihak kita makin lama makin
menderita (ingat kehilangan Arjuna karena kepatuhan kanda, sedang di lain pihak
Duryodhana makin lama makin kuat dan berkuasa(karena dibantu oleh Raja-Raja). Hidup
di dalam hutan adalah tidak diperuntukkan bagi kewajiban Keshatriya. Kanda memiliki
akhlak Keshatriya yang luhur. Tetapi itu tidak kanda amalkan. Jadi berartilah,
bahwa kanda keluar dari bidang kewajiban kanda. Tinggalkan hutan ini! Perintahkanlah
kepada Arjuna dan Sri Krishna untuk membunuh putra-putra Dhristharasthra,
meskipun masa ke dua-belas tahun pembuangan ini belum kita lewati. Meskipun putra-putra
Dhritharasthra dibantu oleh banyak Raja-Raja, maka aku sendiri dengan kekuatan
sendiri akan membunuh musuh-musuh kita itu. Dan setelah (nanti) semua aku
tewaskan, kanda boleh kembali ke dalam hutan (sebab kanda patuh kepada
perjanjian). Dengan berbuat demikian, kanda tidak punya dosa (tidak ada yang menyalahkan
kanda). Setelah dosa itu kita tebus dengan upacara, kita dapat naik ke surga. Kesudahan
seperti itu baru kita peroleh, apabila Raja kita jaya dan bijaksana.
Terbukti benar, bahwa tipu harus
dihancurkan oleh tipu juga. Sekarang jugalah tiba saatnya untuk membunuh
Duryodhana. Aku tidak tahu tempat dimana aku tidak dikenal orang, mengingat
bahwa mata-mata dari Duryodhana tersebar luas di seluruh pelosok dunia. Andaikata
kita tidak diketahui orang pada masa tahun yang ke tiga-belas nanti, Duryodhana
akan kembali mengundang kanda main dadu lagi. Apabila kanda telah menghadapi
batu dadu, kanda kehilangan indera. Kanda tidak pandai main dadu. Kesudahannya adalah
bahwa kita sudah menjalani lagi masa hidup sebagai orang buangan di dalam
hutan, karena keahlian atau kecerdikan main dadu tidak ada pada diri kanda. Paham
dan mentaati akan bunyi Weda, seharusnya kanda tidak menjadikan hidup kita
suatu penderitaan. Jikalau aku memperoleh perkenan kanda, aku pergi ke Hastina,
bagaikan api yang jatuh pada rumput yang kering. Akan daku hancur binasakan
Duryodhana itu, akan daku gunakan tenagaku habis-habisan. Hanya perintah kanda
saja masih aku tunggu dan perintah itu belum pula kanda berikan. Maka berilah
aku perkenan kanda itu.”
Prabhu Yudhistira berkata, “O orang
kuat, aku tidak ragu-ragu, bahwa engkau mau, dan dibantu oleh Arjuna, bahwa
pada berakhirnya masa tahun ke tiga-belas (dari masa pembuangan kita itu)
membunuh Duryodhana. Meskipun engkau mengatakan, “wahai yang dipertuan, masa
pembuangan kita telah cukup kita jalani’ (tetapi sesungguhnya belum lampau) aku
tidak dapat berkata yang dusta, karena ‘ketidak-benaran’ itu tidak ada padaku. Namun
aku percaya bahwa nanti apa bila masa pembuangan kita telah lampau, engkaupun mau
membunuh si durjana Duryodhana dengan kawan-kawan sekutunya tanpa unsur penipuan
(=membunuh dengan tidak ada tipu muslihat).
Tatkala Prabhu Yudhistira berkata
demikian (itu) kepada Bhima, tiba-tiba datanglah seorang Rishi agung yang
termashur Wrihadaswa namanya.
Setelah memberi hormat dan
menghidangkan Madhuparka (=madu,mentega,susu,gula, di dalam piala) kepada Rishi
itu, Prabhu Yudhistira berkata dengan sedih,”Karena kalah main dadu (=berhubung
keahlian, kecerdikan tidak ada) anaknda kehilangan kemakmuran, kerajaan dalam
permainan itu. Anaknda tidak cerdik dalam permainan dadu, anaknda tidak
mengenal penipuan. Orang berdosa, orang tidak jujur, mengalahkan anaknda dalam
permainan itu. Pandangan anaknda pada waktu itu telah demikian tersesatnya,
sehingga jiwa anaknda sendiri masih lebih murah anaknda anggap daripada istri
dan anaknda sendiri. Dalam permainan ke dua kali (juga kalah), mereka mengirim
anaknda ke tempat pembuangan yang menyedihkan ini, di tengah hutan rimba ini,
berpakaian kulit menjangan. Kini anaknda hidup sengsara, sakit hati. Hati anaknda
selalu digoda oleh ucapan-ucapan penghinaan mereka ketika peraduan berlangsung,
dan kata-kata itu selalu mengumandang dalam ingatan anaknda. Anaknda tidak
dapat tidur. Karena duka cita ditinggalkan oleh Arjuna yang arif bijaksana,
anaknda hampir menghembuskan nafas yang penghabisan. Oh, kapankah anaknda dapat
melihat kembali si Arjuna, si mulut manis, si hati panjang, si penuh kegiatan
itu, kembali kepada anaknda dan membawa segenap senjata-senjata yang utama? Adakah
raja di dunia ini, yang nasibnya lebih baik dari pada anaknda sendiri? Pernahkan
Maha-muni menemui atau mendengar orang lain yang keadaannya seperti anaknda,
sebelumnya? Dalam hemat anaknda, tidak seorang pun di dunia ini yang lebih
celaka (nasibnya) dari pada anaknda.”
Rishi Wrihadarwa berkata,” Perkataan
anaknda yang menyatakan-tidak ada orang yang lebih celaka dari pada
anaknda-sesungguhnya tidak benar. Tidak patut anaknda terlalu sedih, karena
anaknda masih tetap ditemani oleh saudara-saudara anaknda para pahlawan, istri
anaknda yang setia, dan dikerumuni oleh Brahmana-Brahmana. Keadaan anaknda
bagaikan Bhatara Brahma di Kahyangan yang dihadap oleh para Dewata. Tetapi tahukah
anaknda, bahwa ada seorang raja, yang karena kalah main dadu juga, lalu hidup
sengsara, mengembara dalam hutan belantara hanya seorang diri saja? Dan selama
ia tinggal di dalam hutan itu iapun tidak mempunyai hamba sahaya, tidak punya
kendaraan, dan tidak mempunyai saudara dan sahabat.
Dengarkanlah baik-baik, akan
kuceritakan kepada anaknda riwayat raja yang kami maksudkan itu!
(penulis, I Gusti Ngurah Ketut
Sangka, Kerambitan 24 oktober 1964)