Pandawa
lalu
meneruskan perjalanannya diikuti oleh Indrasena dan pengikut-pengikut lainnya
menuju ke bagian lain dari hutan itu. Dari sana beliau melanjutkan perjalanan
menuju ke hutan Dwaitawana. Di hutan ini terdapat sebuah danau yang airnya suci
bersih, penuh dengan bunga-bungaan dan burung-burung. Atas pertimbangan Arjuna,
Pandawa akan menghabiskan masa dua-belas tahun pembuangannya itu di dalam hutan
ini. Pandawa menghampiri sungai Saraswati. Di sana beliau banyak menemui
sanyasa
Pada suatu hari datanglah seorang Rishi yang bernama
Markandēya pada Pandawa. Prabhu Yudisthira bertanya pada Rishi itu, “Semua
penghuni hutan sedih hatinya menyaksikan nasib malang yang anaknda terima ini.
Tetapi kenapa Maha-Muni sendiri tidak, dan apakah sebabnya Maha-Muni tersenyum menyaksikan
keadaan anaknda?”
Rishi Markandēya menjawab, “Aku tidak tersenyum karena
menyaksikan anaknda, melainkan aku terkenang kepada Sri Rama yang mengalami hal
yang sama seperti anaknda, yaitu kehilangan hatinya untuk menyerah kepada
kebenaran. Aku juga bersedih! Karena itu janganlah takabur dan berkata, “Aku
berkuasa! Tidak ada orang selain Tuhan yang berkuasa. Kekuasaan hanya ada
pada-Nya! Berjanjilah kepada diri anaknda sendiri, bahwa anaknda akan taat
menjalani masa pembuangan anaknda, meskipun dengan penuh derita.”
Setelah menyampaikan pesan itu, Rishi Markandēya minta
diri dan berangkat menuju ke utara.
Seorang Brahmana Waka keturunan darah Dalwya menasihati
Prabhu Yudisthira, supaya ke-Brahmanaan yang dipelajarinya di samping
ke-Kshatryaan. Kalau keduanya itu dapat dipertemukan, maka Prabhu Yudisthira
akan menjadi orang besar di dunia. Karena seorang Kshatrya yang terpelajar akan
mengisi kekurangannya dan menambah pengetahuannya yang telah ada dengan
mendengarkan nasihat-nasihat Brahmana.
(penulis, I Gusti Ngurah Ketut
Sangka, Kerambitan 24 oktober 1964)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar