Senin, 27 Februari 2012

AKU BUKAN PELACUR (14)


Ada perasaan ragu menyelimuti hatinya. Haruskah melangkah kesana? Apa sebenanya keinginan laki-laki terhormat ini? Wina menatap lelaki itu dari kejauhan. Dilihat mata itu  membiaskan rasa percaya diri, tenang dan demikian berwibawa sebagaimana sehari-harinya yang dia ketahui di kegiatan kepemudaan. Wina berdiri mengangkat pantatnya. Perlahan ia melangkah menuju ruangan bagian dalam mendekat ke arah pak Wijaya rebahan. Demikian polos sikap Wina. Ada rasa kaku pada sikapnya, tapi dilihat lelaki itu menganggukan kepala. Wina menatap penuh tak mengerti. Lagi dia lihat mata lelaki itu seperti mengisyaratkan untuk mendekat. Wina tersenyum tipis. Perlahan pantatnya dihenyakan di tepi tempat tidur hotel. Tempat tidur yang bagus. Kalau rebahan disana tubuh ini seperti tenggelam. Itu terlihat pada tubuh lelaki itu yang lagi rebah-rebahan hingga badannya tenggelam di kasur.
Wina berkhayal merasakan sebuah tempat tidur yang demikian empuk. Iya kalau begini bagusnya tempat tidur di kamarnya, hmmm nyaman rasa mimpi-mimpinya. Terasa malas untuk bangun. Akan lebih senang bermalas-malas di tempat tidur semewah ini, tentunya. Pikirannya melayang jauh, ingin merebahkan badannya disana. Hmm, sepertinya benar-benar sangat nyaman. Namun belum sampai disana keinginannya, sepasang tangan lelaki yang sudah terlihat kerut merutnya telah memeluk dari belakang, dan……..
“Aih…” Wina menjerit kaget. Berusaha mengibaskan tangan lelaki itu. “Mau ngapain sih, pak?”
“Jangan bersikap kampungan, Win,” suara lelaki itu tak terlalu jauh dari gendang telinganya. Tangannya memeluk tubuhnya. Mula-mula kencang, lalu perlahan melembut begitu merasakan Wina sudah tidak berontak lagi. Tubuh Wina dengan tanpa suatu paksaan yang berarti tahu-tahu sudah rebah bersebelahan dengan lelaki itu. Wow, tidak dia rasakan empuknya kasur itu seperti keinginannya tadi. Namun sepertinya tubuh Wina tidak menolak rasa empuk yang keluar dari tempat tidur itu. Entah terbuat dari apa? Di rumahnya tempat tidur seperti ini hanyalah sebuah mimpi untuk dapat menikmati. Kali ini Wina benar-benar merasakan kemanjaan tubuhnya. Matanya terbelalak. Rasa kaget belum reda.
Dadanya masih berdegup kencang merasakan tangan pak Wijaya yang menjalar di tubuhnya. Suara lirih merayu-rayu di telinganya. Setengah berbisik, setengah mencium. Wina merasa malu. Ah, apa yang akan dilakukan laki-laki ini?
“Pak……” Wina masih berusaha menghindar ketika muka Pak Wijaya mendekati wajahnya. Dadanya kencang berdetak. Berkejaran dalam detak jarum jam yang menancap di dinding ruangan. Perasaannya semakin galau tak karuan.
“Bapak sebetulnya sudah lama menginginkanmu,” demikian bisiknya dan Wina hanya mendengar dengusan yang aneh di telinganya.
 “Katanya mau wawancara?” Wina berusaha mengingatkan. Apakah Laki-laki ini bohong padanya, mengajak ke hotel dengan alasan bertemu dengan seseorang yang katanya akan mewawancarai dirinya untuk sebuah pekerjaan. Ketika Wina menoleh, mata itu demikian dekatnya. Baru dia melihat secara dekat wajah lelaki yang pantas dipanggilnya ayah. Guratan kulit wajah menua menyembunyikan waktu. Usia yang tidak mampu untuk disembunyikan. Wajah yang benar-benar sudah tua bangka.
“Iya, nanti wawancaranya sayang. Mari kita nikmati dulu, temani bapak dulu disini. Bapak capek sekali Wina. Ayolah sayang, kita sebagai laki-laki dan wanita di kamar ini. Tidak ada yang tahu. Bapak menginginkanmu sayang,” berulang kali telinganya mendengar bisikan- bisikan dengan rayuan maut yang membuat pertahanan Wina jadi runtuh.
Wina merinding. Tubuhnya menggeliat, berupaya memberikan penolakan dari sentuhan-sentuhan yang terasa aneh menjalar dalam perasaan yang galau. Perasaan nelangsa. Perasaan bimbang dalam keterkejutan yang tak pernah habis.
“Nggg…tapi pak…” Wina berusaha bertanya diantara dengusan napas laki-laki itu. Dengusan aneh bagi Wina. Laki-laki ini menginginkan sesuatu. Sesuatu yang janggal dia rasakan karena laki-laki itu lebih pantas dipanggilnya bapak. Lelaki itu lebih pantas menjadi bapaknya. Janggal sekali kalau seorang lelaki seusia bapaknya berlaku begini terhadap dirinya yang pantas sebagai anaknya. Sangat janggal. Pak Wijaya memang aneh. Sungguh-sungguh aneh di mata Wina.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar