Sebuah cerita
barangkali akan bisa menjadi berbeda kalau Karna ternyata bukan dari golongan
yang berkasta, golongan ningrat, priyayi atau golongan ksatria. Dan untuk dapat
memperoleh ilmu yang diturunkan sang
mahaguru Drona, suhu dari para pandawa lima
itu dengan cara tak wajar dia akan mengaku-ngaku sebagai seorang anak dari
golongan brahmana. Memang setelah menguasai ilmu, perbedaan itu akan menjadi
sirna dengan sendirinya. Siapakah yang menciptakan perbedaan ini? Apakah perbedaan
ini terjadi dengan bergantinya kekuasaan, silih berganti perputaran waktu
antara siang dan malam ataukah ada aturan-aturan tertentu dalam negara yang
memang harus memilah-milah mana yang berhak untuk belajar mana yang tidak
berhak. Adakah sebuah perbedaan datangnya dari langit? Tidak! Sekarang ini yang
membedakan proses belajar dan sang pengajar adalah status sosial. Perbedaan pelajar antara si miskin dan si
kaya yang mencolok jauh. Sebuah ilmu yang dicapai memang tidak mengenal
kaya dan miskin, namun setelah proses belajar usai ilmu akan menjadi sebuah
gelar sang penyandang sebagai perlambang pengukuhan eksistensinya di
masyarakat.
Karna dalam kekinian adalah sosok yang miskin namun tinggi idealisme. Bukan
kesalahan sebuah kelahiran dari anak seorang sais, karena bagaimanapun anak
seorang mahaguru sekalipun belum tentu bisa berkompromi dengan idealisme yang
setinggi langit, karena pada kenyataannya anak seorang sopir angkot, anak
seorang sais cidomo dan anak seorang tukang ojek yang jauh lebih rendah status
sosialnya ketimbang anak seorang dokter, anak seorang dosen ataupun anak
pejabat sekalipun masih bisa tampil dalam pentas bisnis sebuah usaha (istilahnya
rekanan bisnis dan modal usaha lebih dipermudah) ataupun pada sebuah pentas
drama politik. Namun tidak tertutup sebuah pameo yang beredar di masyarakat
dengan kata-kata yang menyesakan dada si miskin bahwa: jadilah anak pejabat,
karena berburu ilmu tidak sepenting memburu kepemilikan saham perusahaan. Ada
yang diuntungkan, soal nasib tangan dan hukum karma sebuah bisnis. Bisnis yang
dibangun dari ketenaran jabatan sebagai sebuah keturunan anak seorang pejabat
negara yang memanipulasi data membangun sebuah kerajaan bisnis. Lambat laun
memang itu yang terjadi dan pada kenyataan itulah sebuah aji mumpung. Mumpung
berkuasa. Dan Karna kekinian pada akhirnya bukan berakhir di medan kurusetra,
namun sebuah keberuntungan garis tangan yang mengantarkan perang pada medan
bursa pasar saham, sebagai pemilik modal, market leader sebuah perusahaan
besar, dengan kekuasaan mengatur orang-orang dan menjadwal kapan mesti PHK dan
kapan harga-harga barang dinaikkan. Serta merta yang membuat mahaguru Drona
tersungut-sungut bahwa ilmu bukan hanya buat orang-orang tertentu yang lebih
mengasihi keberadaan ksatria pandawa lima. Bahwa ilmu bagi si kaya dan si
miskin memiliki perlakuan yang sama. Bagi si kaya tinggal melanjutkan jenjang
ketenaran, bagi si miskin untuk memanfaatkan fasilitas program negara,
pemanfaatan beasiswa dana pendidikan, selebihnya dibutuhkan kreatifitas dalam
bentuk personal approach kepada sang penguasa atau yang lebih paham soal
guliran-guliran yang menyangkut anggaran
pendidikan yang kadangkala bisa dibuat
menjadi semacam angka-angka siluman.
Dan
begitu beruntungnya Karna yang oleh Duryudana telah memberikan pilahan dunia
kebesaran dalam tampuk kekuasaan, sebuah petak negeri Angga yang oleh kelihaian
Duryudana dalam memilih orang tanpa harus berhadapan dengan Arjuna, walau Drona
telah mengikis habis angan-angannya akan sebuah keberhasilan. Bhargawa yang
nelangsa. Pada kelahiran berikutnya nanti Karna akan memandang tanah kurusetra
sebagai sebuah monumen bersejarah, ketahanan dan ketabahan pergulatan sebuah
keberanian. Keberanian mengungkap sejarah yang sesungguhnya kalau kelahiran
sang Karna sesungguhnya adalah sebuah penganiayaan moral dari seorang putri
berdarah bangsawan tinggi.
Dan
demikian semangatnya sang Karna selaku penasihat Prabhu Duryodhana tak beda
Arya Widura selaku penasihat dari raja Dhristharasthra adalah merupakan balas
budi jasa pahlawan terbuang macam sang Karna yang tidak menyia-nyiakan kewajibannya.
Dalam penggalan carita Krishna-Dwipayana Wyasa (wana parwa) pada helai ke 6
aran yaka parwa, sang Karna berucap begini: wahai para pengikut Prabhu
Duryodhana, Raja kita! Kita semuanya adalah abdi raja Duryodhana. Karena itu
kita akan perbuat apa pun yang menggembirakan hati beliau. Hamba kira tidaklah
cukup membuat sakit hati para Pandawa hanya dengan memberi ucapan selamat jalan
saja kepada mereka, melainkan marilah kita sekarang kerahkan kekuatan kita,
hitunglah kereta perang kita, serbulah dan bunuhlah Pandawa di hutan. Walaupun
jumlah mereka tidak banyak, meskipun mereka sengsara, namun selama Pandawa
masih hidup, selama itu pula tidak hilang musuh kita, dan selama itu pula
kedudukan kita tidak aman. Demikianlah pendapat hamba,” Para hadirin
meng-iya-kan maksud Karna itu.
Seperti itulah abdi Karna memberikan
keyakinan akan kepeduliannya kepada siapa ia memberikan hidupnya kelak ketika
terjadi pertumpahan darah di tanah Kuru.
(DG.Kumarsana)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar