Rabu, 15 Februari 2012

EKSISTENSI KARNA


Sebuah cerita barangkali akan bisa menjadi berbeda kalau Karna ternyata bukan dari golongan yang berkasta, golongan ningrat, priyayi atau golongan ksatria. Dan untuk dapat memperoleh  ilmu yang diturunkan sang mahaguru Drona, suhu dari para pandawa lima itu dengan cara tak wajar dia akan mengaku-ngaku sebagai seorang anak dari golongan brahmana. Memang setelah menguasai ilmu, perbedaan itu akan menjadi sirna dengan sendirinya. Siapakah yang menciptakan perbedaan ini? Apakah perbedaan ini terjadi dengan bergantinya kekuasaan, silih berganti perputaran waktu antara siang dan malam ataukah ada aturan-aturan tertentu dalam negara yang memang harus memilah-milah mana yang berhak untuk belajar mana yang tidak berhak. Adakah sebuah perbedaan datangnya dari langit? Tidak! Sekarang ini yang membedakan proses belajar dan sang pengajar adalah status sosial. Perbedaan pelajar antara si miskin dan si kaya yang mencolok jauh. Sebuah ilmu yang dicapai memang tidak mengenal kaya dan miskin, namun setelah proses belajar usai ilmu akan menjadi sebuah gelar sang penyandang sebagai perlambang pengukuhan eksistensinya di masyarakat.
            Karna dalam kekinian adalah sosok yang miskin namun tinggi idealisme. Bukan kesalahan sebuah kelahiran dari anak seorang sais, karena bagaimanapun anak seorang mahaguru sekalipun belum tentu bisa berkompromi dengan idealisme yang setinggi langit, karena pada kenyataannya anak seorang sopir angkot, anak seorang sais cidomo dan anak seorang tukang ojek yang jauh lebih rendah status sosialnya ketimbang anak seorang dokter, anak seorang dosen ataupun anak pejabat sekalipun masih bisa tampil dalam pentas bisnis sebuah usaha (istilahnya rekanan bisnis dan modal usaha lebih dipermudah) ataupun pada sebuah pentas drama politik. Namun tidak tertutup sebuah pameo yang beredar di masyarakat dengan kata-kata yang menyesakan dada si miskin bahwa: jadilah anak pejabat, karena berburu ilmu tidak sepenting memburu kepemilikan saham perusahaan. Ada yang diuntungkan, soal nasib tangan dan hukum karma sebuah bisnis. Bisnis yang dibangun dari ketenaran jabatan sebagai sebuah keturunan anak seorang pejabat negara yang memanipulasi data membangun sebuah kerajaan bisnis. Lambat laun memang itu yang terjadi dan pada kenyataan itulah sebuah aji mumpung. Mumpung berkuasa. Dan Karna kekinian pada akhirnya bukan berakhir di medan kurusetra, namun sebuah keberuntungan garis tangan yang mengantarkan perang pada medan bursa pasar saham, sebagai pemilik modal, market leader sebuah perusahaan besar, dengan kekuasaan mengatur orang-orang dan menjadwal kapan mesti PHK dan kapan harga-harga barang dinaikkan. Serta merta yang membuat mahaguru Drona tersungut-sungut bahwa ilmu bukan hanya buat orang-orang tertentu yang lebih mengasihi keberadaan ksatria pandawa lima. Bahwa ilmu bagi si kaya dan si miskin memiliki perlakuan yang sama. Bagi si kaya tinggal melanjutkan jenjang ketenaran, bagi si miskin untuk memanfaatkan fasilitas program negara, pemanfaatan beasiswa dana pendidikan, selebihnya dibutuhkan kreatifitas dalam bentuk personal approach kepada sang penguasa atau yang lebih paham soal guliran-guliran  yang menyangkut anggaran pendidikan yang kadangkala bisa  dibuat menjadi  semacam angka-angka siluman.
            Dan begitu beruntungnya Karna yang oleh Duryudana telah memberikan pilahan dunia kebesaran dalam tampuk kekuasaan, sebuah petak negeri Angga yang oleh kelihaian Duryudana dalam memilih orang tanpa harus berhadapan dengan Arjuna, walau Drona telah mengikis habis angan-angannya akan sebuah keberhasilan. Bhargawa yang nelangsa. Pada kelahiran berikutnya nanti Karna akan memandang tanah kurusetra sebagai sebuah monumen bersejarah, ketahanan dan ketabahan pergulatan sebuah keberanian. Keberanian mengungkap sejarah yang sesungguhnya kalau kelahiran sang Karna sesungguhnya adalah sebuah penganiayaan moral dari seorang putri berdarah bangsawan tinggi.
            Dan demikian semangatnya sang Karna selaku penasihat Prabhu Duryodhana tak beda Arya Widura selaku penasihat dari raja Dhristharasthra adalah merupakan balas budi jasa pahlawan terbuang macam sang Karna yang tidak menyia-nyiakan kewajibannya. Dalam penggalan carita Krishna-Dwipayana Wyasa (wana parwa) pada helai ke 6 aran yaka parwa, sang Karna berucap begini: wahai para pengikut Prabhu Duryodhana, Raja kita! Kita semuanya adalah abdi raja Duryodhana. Karena itu kita akan perbuat apa pun yang menggembirakan hati beliau. Hamba kira tidaklah cukup membuat sakit hati para Pandawa hanya dengan memberi ucapan selamat jalan saja kepada mereka, melainkan marilah kita sekarang kerahkan kekuatan kita, hitunglah kereta perang kita, serbulah dan bunuhlah Pandawa di hutan. Walaupun jumlah mereka tidak banyak, meskipun mereka sengsara, namun selama Pandawa masih hidup, selama itu pula tidak hilang musuh kita, dan selama itu pula kedudukan kita tidak aman. Demikianlah pendapat hamba,” Para hadirin meng-iya-kan maksud Karna itu.
            Seperti itulah abdi Karna memberikan keyakinan akan kepeduliannya kepada siapa ia memberikan hidupnya kelak ketika terjadi pertumpahan darah di tanah Kuru.
 (DG.Kumarsana)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar