Cerpen : DG.
Kumarsana
Siapakah orang
yang seumur hidupnya kuat bengong? Melamun? Atau mengkhayal? Kalau ada yang seumur-umur
bahkan hingga dunia kiamat mampu bengong, maka orang itu adalah made Momot,
namanya yang sesuai dengan karakter aslinya yakni suka bengong, mengkhayal dan
melamun. Dan karena mungkin terlalu sering bergaul dengan Made Momot ketut
Nengil pun kena getahnya jadi pemuda yang suka ikut-ikutan bengong seperti
temannya itu.
Hari-hari pada tahun pertama selepas dari rutinitas kegiatan lembaga yang
ditekuni selama ini oleh Made Momot karena kejenuhannya membuat galau, sensitif
dan terkadang dilanda penyakit emosional yang menyalak-nyalak. Terkadang di
saat-saat sudah fakum sekali hidupnya Made merasa perputaran jarum jam yang tertempel
di tembok kamarnya demikian lambat berdetak. Hari-hari selanjutnya yang terisi
hanyalah jam-jam menghabiskan waktu bengong yang kian terlongo-longo.
Ada
sebuah rekaman peristiwa masa aktifitas sebelumnya yang terkadang sangat banyak
menyita waktu. Itulah masa-masa bertobat, sebuah masa aktifitas kegiatan
sebelumnya yang ditinggalkan Made Momot dalam kebusukan dan peran bohongnya
menipu pemerintah dan bekerjasama dengan rekan-rekannya di pejabat dinas
pendidikan. Kemudian Made momot menatap satu persatu foto-foto rekaman
peristiwa semasa masih aktif di lembaga kursus dalam merampok dana-dana
pemerintah. Dikatakan merampok karena bagaimana bermula dari keluguannya yang
oleh rekan-rekannya di dinas dilatih untuk piawai membuat pelajaran mengarang.
Teman-temannya baik dari kasubdin, ataupun beberapa yang terkait dalam
penggelontoran dana-dana pusat melatihnya membuat prediksi dana yang akan
turun. Diajarkan membuat manajemen fiktif. Terlihat sempurna kan pelajaran ilmu
mengarang yang semakin dia tekuni bersama teman-temannya di kantor dinas?
Sempurna kalau segala sesuatu berhasil. Nyatanya selama ini memang berhasil.
Satu
persatu rekaman kalaedoskop kegiatan itu ditatapnya nanar. Kalaedoskop refleksi
kegiatan berupa foto-foto yang tertata rapi. Demikian rapinya, kentara sekali
kalau Made Momot menunjukan seorang pengarsip yang demikian ulung. Buktinya
satu persatu demikian rapi secara berurutan dia letakan di almari ruang
kerjanya yang kini terasa hampa oleh aktifitas.
Serasa
berjuta-juta dosa bergayut di otaknya yang juga pada dasarnya memang
benar-benar bebal. Lembar demi lembar yang membuka dosa demi dosa semasa
aktifitasnya di masa-masa mengikuti berbagai peristiwa bersama rekan-rekan yang
sama-sama mencari keuntungan, aktifitas ke luar daerah beramai-ramai dengan
teman-teman sesama kaum perampok sampai foto-foto kegiatan semasa aktifitasnya
di halaman kantor dinas dan ikut terjun ke jalan saat demontrasi menolak penyunatan
dana-dana pemerintah oleh kalangan tertentu untuk anak didiknya.
Made
Momot melihat bagaimana masa saat semangat-semangatnya dulu. Dia merasa geli
sendiri dan tanpa sadar terkekeh-kekeh ketawa Habis-habisan menertawakan apa
yang pernah dilakukannya selama aktiftas sebelum fakum dari kegiatan. Terutama
pada arsip kalaedoskop kegiatan edisi terakhir. Lihatlah!
Satu
persatu refleksi kegiatan itu seolah terangsang untuk dibuka. Istrinya turut
serta membolak-balik halaman demi halaman, seolah-olah memberikan gambaran
sebuah peringai bagaimana sesungguhnya Made bersama rekan-rekan. Tiba-tiba ada
beberapa lembar album pada dokumentasi edisi terakhir yang menarik perhatian istrinya
semasa dia masih jadi tenaga pengajar sukarela pada sebuah desa terpencil
dengan angka kriminal yang perlu diperhitungkan di tingkat keamanan. Sebuah
desa yang sangat indah dengan aksen naturalnya yang masih kental. Sebuah desa
yang banyak memberikan inspirasi untuk langkah kehidupan hingga boleh dikatakan
sukses besar. Terlihat Made Momot diantara anak-anak didiknya yang masih
ingusan. Ada juga temannya Ketut Nengil ikut sebagai tenaga yang siap jalan
diperintah kalau ada uang. Kalau ada uang ia jalan. Kalau dana lagi lambat
turunnya, Ketut Nengil juga turut lamban menerima perintah.
Namun dibalik semua itu patut untuk
tepuk dada dan acung jempol buat desa yang melahirkan anak-anak yang tidak
diperhitungkan menjadi generasi yang punya makna. Dan Made Momot menjadi bagian
dari desa itu, akan sebuah makna keberhasilan sekaligus memunculkan kebanggaan
menjadikan sebuah desa yang bergincu dalam kesuksesan. Dua belas tahun lamanya
ada ditengah-tengah mereka. Selalu bermimpi dan terganggu dengan kemandulan anak-anak kampung. Made
Momot sering marah karena
orang-orang kota selalu menuduhkan kebodohan yang mutlak pada desanya. Gadis-gadis
lugu diajarkan keterampilan khusus. Gadis-gadis di desa terlalu banyak
dipelintir keadaan. Terlalu terkucil dengan peradaban terhadap kepatuhan adat
desa yang sarat dalam lingkaran dogma terapan. Benar-benar menjengkelkan. Made
Momot memoles desanya. Tidak dengan lipstik berwujud uang, tidak dengan harta
benda. Tidak juga dengan janji-janji muluk. Made Momot percantik gadis-gadisnya
di desa yang melarat dalam kemiskinan. Nah ini dia potret kemiskinan desa.
Langkah pertama yang harus dilakukannya adalah dengan mulai mengumpulkan
mereka. Namun semua itu butuh dana.
Made
lirik pemerintah, dia lirik bidang-bidang yang mau peduli terhadap perkembangan
desa. Maka sasarannya adalah dinas pendidik luar sekolah (PLS) yang berkantor
di jalan by-pass selatan. Gedungnya PNFI itu baru jadi, rencananya mungkin mau
mewah, tapi dananya konon masih terkatung-katung. Made Momot ajukan proposal
dan benar dugaannya. Semuanya berkonotasi pada lembar mata uang.
Made
Momot tahu betul bagaimana sulitnya arti sebuah tanda tangan pada kepala dusunnya
di tempat ia menetap, yang dijadikan bola pingpong dipermainkan dengan
kepuasannya yang sengaja dibuat-buat. Bagaimana rumitnya memohon tanda tangan
pada kepala desa yang pintar menganalisa bahwa pengajuan angka-angka dalam
proposal adalah sebuah mata pencaharian. Begitu naifnya. Dan semuanya
bergelimang dalam pemikiran negatip. Padahal kegiatan ini untuk beberapa
anak-anak didik miskin, putus sekolah yang berlokasi di dusun Bleganjur yang
membawahi kisaran 5 hingga 6 lokasi dalam radius 15 km dari tempat pelatihan.
Belum
lagi ketika dana dinyatakan turun, beberapa petugas dari KCD setempat
bolak-balik menanyakan sesuatu, gayanya terkadang formalitas, terkadang
berbelit-belit nanya ini itu seperti orang penting dan memiliki loyalitas tulus
turut serta memberikan dorongan atas kemajuan desa ini. Terkadang juga
bolak-balik meminta surat ini dan itu. Cara bekerja begini dan begitu. Made
Momot nyengir kuda melihat tingkah para aparat pedesaan itu. Karena
ujung-ujungnya harus mempersiapkan persenan dalam amplop tertutup dan sedikit
basa basi ucapan terimakasih. Lembaran limapuluh ribuan pun dia terima. Memang
kalau menyangkut soal uang, semua bisa menjadi lugas, rajin dan bertanggung
jawab.
Made
Momot bingung, siapa yang mau mengabdi pada kemajuan desa terpencil, termiskin dan
banyak pengangguran untuk menghadirkan pemikiran-pemikiran positip, maju dan
bergairah prima menjadikan sebuah desa yang manis, anggun, bijaksana, cantik
dan dihormati bukan sebagai sebuah desa yang penuh dengan angka-angka
kebodohan. Ia bingung pada akhirnya ,untuk membuat anak-anak desa ini menjadi pintar,
ulet, cekatan dan teladan. Tugas siapa sesungguhnya ini?
“Anak-anak...!!
Desa kita ternyata tidak terlihat petanya di bumi nusantara ini. Kalaupun
memiliki peta, desa kita sangatlah kaya dengan kebodohan. Dan sang pejabat
laknat yang berkhianat pada rakyatnya seolah-olah bangga menelusuri kebodohan
kita dengan cara halus sebagai upaya dalam bentuk ’komoditi’ proyek
pemberantasan buta huruf. Sehingga dana yang turun buat proyek keaksaraan
fungsional buat kita tidak jarang di mark-up beberapa oknum ” Made Momot dan
Ketut Nengil secara berapi-api dengan semangat jiwa 45 berbicara di hadapan
anak-anak di desa.
Dan
seperti biasa mereka pada bengong tanpa bertanya. Pada dasarnya memang
benar-benar tidak mengerti. Sebuah kekusaman dalam warna-warni keluguan yang
tidak dibuat-buat. Made Momot-pun terusik dalam keluguannya. Makanya Made Momot
dan istrinya yang dibantu juga rekannya dari lembaga pelatihan di titian kembir
dan telagapolak turut serta secara beramai-ramai dalam solidaritas yang tinggi
mengajar mereka, mendidik mereka untuk tahu dan pintar serta memanfaatkan
kepintarannya untuk bekal hidup, untuk bekerja menafkahi keluarganya. Memberikan
mereka pendidikan gratis tanpa memungut biaya. Setelah mereka mampu menerapkan
keterampilannya, diarahkan untuk dapat bekerja. Mempertemukan mereka pada
rekan-rekan seprofesi untuk dijadikan karyawan di bidang usahanya. Dan hampir
semuanya sudah pada bekerja. Anak-anak yang semula lugu kini sudah dipermak
menjadi anak-anak yang lebih berguna lagi.
”Bung,
proposal pengajuan dana anda untuk program pelatihan telah cair ,” suatu ketika
salah seorang pejabat kantor dinas pendidikan menelepon. Made Momot kenal betul
suaranya. Namanya Amaq Saidi, tetapi karena sudah berstatus seorang Haji, kami
memanggil “Kak Tuan”. Orang yang memiliki pengaruh luar biasa besar dalam
penilaian sebuah proposal. Katakanlah melalui tanda tangannya menjadi
barometer, sebuah proposal pengajuan dana layak atau tidak diteruskan ke pusat.
Layak atau tidak mendapatkan dana.
“Iya bos. Namun kegiatan saya jelas. Saya tidak melakukan program kerja
fiktif.”
”Saya
mengerti. Mungkin anda mengerti juga maksud pertanyaan saya..”
”Hmm
lalu, gimana bos?”
”Saya
hanya butuh dua ekor kambing untuk gathering rekan-rekan pejabat ”
”Gimana caranya bos? Dalam alokasi dana tidak ada mencantumkan nota
pembelian kambing.” sepertinya Made Momot menjadi bego mendengar permintaannya itu.
”Alaaah,
itu semua bisa diatur.”
”Kambing,
bos?”
”Iya,
ngerti dikitlah.” kata suara di seberang disambung dengan suara ketawa. Made
Momot ikut menimpali ketawanya.
”Lho
kok ikut ketawa?”
”Kambing
Bos?” Lagi Made bertanya.
”Iyaaaaaaaaa...!!!!
” suara teriak sangar di seberang. Made Momot terkejut, jantungnya hampir tidak
menempati klep yang benar. Hampir Koit. Hampir jiun! Saking gugupnya ia tak
sadar berkata:
”Bos
Kambing?”
”Busyet!”
”Nggg....maaf..maaf,
maksudnya beli kambing buat bos?”
”Iya
kok kamu........”
”
Iya bos. Maaf bos..eh iya ngg…agak aneh, hmm maksud saya rada-rada janggal gitu.
Loh!”
”Apanya yang janggal? Ane minta dua ekor kambing. Janggal apanya, anehnya
dimana? Hanya tinggal belikan saja, beres kan!?”
”Maksud
saya begini bos, di desa kami jarang ada peternak kambing. Lagipula kambing
minta ampun susahnya diperoleh di desa ini. Desa kami rata-rata mata pencahariaannya
hanya sebagai tukang bangunan, sais cidomo, buruh pada sebuah kerajinan
gerabah, dan buruh pada usaha produksi krupuk, selebihnya sebagai TKW ke Malaysia. Jadi permintaan bos terlampau sulit untuk dapat saya
penuhi. Apalagi pelatihan yang kami lakukan hanyalah kursus menjahit dan
keterampilan kecantikan. Bagaimana kalau saya berikan kain yang banyak atau
lipstik, parfum, bedak dan sejenisnya?”
“Hei
bung, ente belikan saja kambing, gampang khan? Kok pake plintat-plintut kain dan bedak segala? ” suara di seberang
sedikit memanas dengan nada agak tinggi. Kata-kata ‘kain’ rupanya dianggap
sebagai sebuah ejekan, terlebih ada tambahan kata-kata lipstick, parfum maupun
bedak.
Made Momot kaget. Wah gawat ini.
Kemarahan seorang pejabat akan membuat
programnya di desa jadi berantakan dan kalau proposal selanjutnya tidak bisa
lolos ke pusat otomatis dia tidak bisa memberikan pelatihan pada anak-anak
lagi. Itu artinya calon anak-anak didiknya di desa yang lagi antre ikut kursus
pelatihan akan menjadi bodoh. Dan pengangguran akan bisa menjadi makin tinggi
di desa Bleganjur ini. Made Momot putar otak bagaimana cara memenuhi permintaan
pejabat ini tanpa harus mengorbankan anak-anak di desa yang masih banyak butuh
bimbingan. Otak Made Momot memang benar-benar encer, kendati tidak sepadan
dengan namanya.
Made Momot tercenung dengan permintaannya itu. dua ekor
kambing? Ntar dulu. Perasaan di proposal pengajuan dana untuk melatih anak-anak
di desa dia ajukan program kursus menjahit dan kursus kecantikan, jadi bukan
program beternak kambing. Jadi bagaimana pelaporannya nanti ? Masak harus Made
Momot membuat laporan nota kambing? Ndak habis pikir dibuatnya oleh
permintaannya itu. Dia pikir memang beda antara pejabat kota dengan pejabat
desa. Maksudnya barangkali perbedaan pejabat di tingkat kabupaten dan tingkat
provinsi. Kalau pejabat kabupaten permintaannya kambing itu berarti hmmm... ya..
ya otomatis pejabat provinsi akan meminta empat kali lipat dari nilai kambing?
Wah, jangan-jangan nanti malah minta seekor sapi. Runyam ini! Sapi malah lebih
mahal dari dua ekor kambing.
“Baik bos, akan saya usahakan mencarikan kambing.”
Tapi
apapun yang akan terjadi nanti, Made Momot tetap mengusahakan dua ekor kambing
di pasar hewan Selagalas. Made pikir pejabat yang satu ini memang bukan mata
duitan. Tapi mata kambing barangkali. Dan setelah dua ekor kambing itu didapatkan
dengan nilai dua setengah juta lebih, dia foto kambing itu sebagai bentuk tanggungjawab
material pelaporan nanti.
Dan
sekarang setiap ada dana turun untuk anak-anak di desa, Made Momot dan dibantu
rekannya Ketut Nengil diwajibkan dengan kesadaran penuh untuk mengusahakan dua
ekor kambing dan pada setiap halaman penutup berkas laporan tidak lupa
mencantumkan foto-foto kambing dengan label harga tertulis dibaliknya. Foto itu
merupakan pertanggungjawaban yang nilainya setara dengan nota pembelian dengan
bukti bukti sah tercantum di baliknya.
Tidak
heran jika album-album foto kegiatan kelembagaan kursus pelatihannya menjadi
penuh dengan foto-foto kambing yang dengan tekun selama dua belas tahun
pengabdian di desa ini memajukan anak-anak yang tidak mampu dan tidak mendapat
pendidikan layak menjadi generasi desa yang berguna, minimal untuk menafkahi
keluarganya.
Semua itu berkat kambing tentunya!!!
Bravo
kambing! Embeeeeeeek.........
Sekarang
istrinya dan Ketut Nengil sudah tidak menampilkan wajah penuh tanda tanya lagi ,kenapa
album foto pada dokumen terakhir penuh berisi foto-foto kambing yang jauh lebih
kriminal tampilan wajahnya ketimbang wajah teman-teman seperjuangan yang
nangkring disana. Karena inilah album foto kegiatan kursus pelatihan
keterampilan yang sangat monumental penuh sejarah. Sebuah album foto-foto
pendidikan luar sekolah yang tidak dimiliki rekan-rekan lainnya sesama pengurus
lembaga pendidikan dan tentunya juga mengandung nilai historis Tidak dapat
dipungkiri ,berkat kambing-kambing inilah desa Bleganjur menjadi maju.
Made
Momot terkekeh geli menatap foto-foto kambing yang berdampingan dengan para
pejabat yang menggelontorkan dana turut nampang dengan gagahnya. Sulit
dibedakan mana yang lebih gagah.
Embeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeekkkkkk....!!!!!!
(dari kumcer’SENGGEGER)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar