Sabtu, 18 Februari 2012

KAMBING


Cerpen : DG. Kumarsana
 
Siapakah orang yang seumur hidupnya kuat bengong? Melamun? Atau mengkhayal? Kalau ada yang seumur-umur bahkan hingga dunia kiamat mampu bengong, maka orang itu adalah made Momot, namanya yang sesuai dengan karakter aslinya yakni suka bengong, mengkhayal dan melamun. Dan karena mungkin terlalu sering bergaul dengan Made Momot ketut Nengil pun kena getahnya jadi pemuda yang suka ikut-ikutan bengong seperti temannya itu.
            Hari-hari pada tahun pertama selepas dari rutinitas kegiatan lembaga yang ditekuni selama ini oleh Made Momot karena kejenuhannya membuat galau, sensitif dan terkadang dilanda penyakit emosional yang menyalak-nyalak. Terkadang di saat-saat sudah fakum sekali hidupnya Made merasa perputaran jarum jam yang tertempel di tembok kamarnya demikian lambat berdetak. Hari-hari selanjutnya yang terisi hanyalah jam-jam menghabiskan waktu bengong yang kian terlongo-longo.
            Ada sebuah rekaman peristiwa masa aktifitas sebelumnya yang terkadang sangat banyak menyita waktu. Itulah masa-masa bertobat, sebuah masa aktifitas kegiatan sebelumnya yang ditinggalkan Made Momot dalam kebusukan dan peran bohongnya menipu pemerintah dan bekerjasama dengan rekan-rekannya di pejabat dinas pendidikan. Kemudian Made momot menatap satu persatu foto-foto rekaman peristiwa semasa masih aktif di lembaga kursus dalam merampok dana-dana pemerintah. Dikatakan merampok karena bagaimana bermula dari keluguannya yang oleh rekan-rekannya di dinas dilatih untuk piawai membuat pelajaran mengarang. Teman-temannya baik dari kasubdin, ataupun beberapa yang terkait dalam penggelontoran dana-dana pusat melatihnya membuat prediksi dana yang akan turun. Diajarkan membuat manajemen fiktif. Terlihat sempurna kan pelajaran ilmu mengarang yang semakin dia tekuni bersama teman-temannya di kantor dinas? Sempurna kalau segala sesuatu berhasil. Nyatanya selama ini memang berhasil.
            Satu persatu rekaman kalaedoskop kegiatan itu ditatapnya nanar. Kalaedoskop refleksi kegiatan berupa foto-foto yang tertata rapi. Demikian rapinya, kentara sekali kalau Made Momot menunjukan seorang pengarsip yang demikian ulung. Buktinya satu persatu demikian rapi secara berurutan dia letakan di almari ruang kerjanya yang kini terasa hampa oleh aktifitas.
            Serasa berjuta-juta dosa bergayut di otaknya yang juga pada dasarnya memang benar-benar bebal. Lembar demi lembar yang membuka dosa demi dosa semasa aktifitasnya di masa-masa mengikuti berbagai peristiwa bersama rekan-rekan yang sama-sama mencari keuntungan, aktifitas ke luar daerah beramai-ramai dengan teman-teman sesama kaum perampok sampai foto-foto kegiatan semasa aktifitasnya di halaman kantor dinas dan ikut terjun ke jalan saat demontrasi menolak penyunatan dana-dana pemerintah oleh kalangan tertentu untuk anak didiknya.
            Made Momot melihat bagaimana masa saat semangat-semangatnya dulu. Dia merasa geli sendiri dan tanpa sadar terkekeh-kekeh ketawa Habis-habisan menertawakan apa yang pernah dilakukannya selama aktiftas sebelum fakum dari kegiatan. Terutama pada arsip kalaedoskop kegiatan edisi terakhir. Lihatlah!
            Satu persatu refleksi kegiatan itu seolah terangsang untuk dibuka. Istrinya turut serta membolak-balik halaman demi halaman, seolah-olah memberikan gambaran sebuah peringai bagaimana sesungguhnya Made bersama rekan-rekan. Tiba-tiba ada beberapa lembar album pada dokumentasi edisi terakhir yang menarik perhatian istrinya semasa dia masih jadi tenaga pengajar sukarela pada sebuah desa terpencil dengan angka kriminal yang perlu diperhitungkan di tingkat keamanan. Sebuah desa yang sangat indah dengan aksen naturalnya yang masih kental. Sebuah desa yang banyak memberikan inspirasi untuk langkah kehidupan hingga boleh dikatakan sukses besar. Terlihat Made Momot diantara anak-anak didiknya yang masih ingusan. Ada juga temannya Ketut Nengil ikut sebagai tenaga yang siap jalan diperintah kalau ada uang. Kalau ada uang ia jalan. Kalau dana lagi lambat turunnya, Ketut Nengil juga turut lamban menerima perintah.
            Namun dibalik semua itu patut untuk tepuk dada dan acung jempol buat desa yang melahirkan anak-anak yang tidak diperhitungkan menjadi generasi yang punya makna. Dan Made Momot menjadi bagian dari desa itu, akan sebuah makna keberhasilan sekaligus memunculkan kebanggaan menjadikan sebuah desa yang bergincu dalam kesuksesan. Dua belas tahun lamanya ada ditengah-tengah mereka. Selalu bermimpi dan terganggu  dengan kemandulan anak-anak kampung. Made Momot sering marah karena orang-orang kota selalu menuduhkan kebodohan yang mutlak pada desanya. Gadis-gadis lugu diajarkan keterampilan khusus. Gadis-gadis di desa terlalu banyak dipelintir keadaan. Terlalu terkucil dengan peradaban terhadap kepatuhan adat desa yang sarat dalam lingkaran dogma terapan. Benar-benar menjengkelkan. Made Momot memoles desanya. Tidak dengan lipstik berwujud uang, tidak dengan harta benda. Tidak juga dengan janji-janji muluk. Made Momot percantik gadis-gadisnya di desa yang melarat dalam kemiskinan. Nah ini dia potret kemiskinan desa. Langkah pertama yang harus dilakukannya adalah dengan mulai mengumpulkan mereka. Namun semua itu butuh dana.
            Made lirik pemerintah, dia lirik bidang-bidang yang mau peduli terhadap perkembangan desa. Maka sasarannya adalah dinas pendidik luar sekolah (PLS) yang berkantor di jalan by-pass selatan. Gedungnya PNFI itu baru jadi, rencananya mungkin mau mewah, tapi dananya konon masih terkatung-katung. Made Momot ajukan proposal dan benar dugaannya. Semuanya berkonotasi pada lembar mata uang.
            Made Momot tahu betul bagaimana sulitnya arti sebuah tanda tangan pada kepala dusunnya di tempat ia menetap, yang dijadikan bola pingpong dipermainkan dengan kepuasannya yang sengaja dibuat-buat. Bagaimana rumitnya memohon tanda tangan pada kepala desa yang pintar menganalisa bahwa pengajuan angka-angka dalam proposal adalah sebuah mata pencaharian. Begitu naifnya. Dan semuanya bergelimang dalam pemikiran negatip. Padahal kegiatan ini untuk beberapa anak-anak didik miskin, putus sekolah yang berlokasi di dusun Bleganjur yang membawahi kisaran 5 hingga 6 lokasi dalam radius 15 km dari tempat pelatihan.
            Belum lagi ketika dana dinyatakan turun, beberapa petugas dari KCD setempat bolak-balik menanyakan sesuatu, gayanya terkadang formalitas, terkadang berbelit-belit nanya ini itu seperti orang penting dan memiliki loyalitas tulus turut serta memberikan dorongan atas kemajuan desa ini. Terkadang juga bolak-balik meminta surat ini dan itu. Cara bekerja begini dan begitu. Made Momot nyengir kuda melihat tingkah para aparat pedesaan itu. Karena ujung-ujungnya harus mempersiapkan persenan dalam amplop tertutup dan sedikit basa basi ucapan terimakasih. Lembaran limapuluh ribuan pun dia terima. Memang kalau menyangkut soal uang, semua bisa menjadi lugas, rajin dan bertanggung jawab.
            Made Momot bingung, siapa yang mau mengabdi pada kemajuan desa terpencil, termiskin dan banyak pengangguran untuk menghadirkan pemikiran-pemikiran positip, maju dan bergairah prima menjadikan sebuah desa yang manis, anggun, bijaksana, cantik dan dihormati bukan sebagai sebuah desa yang penuh dengan angka-angka kebodohan. Ia bingung pada akhirnya ,untuk membuat anak-anak desa ini menjadi pintar, ulet, cekatan dan teladan. Tugas siapa sesungguhnya ini?
            “Anak-anak...!! Desa kita ternyata tidak terlihat petanya di bumi nusantara ini. Kalaupun memiliki peta, desa kita sangatlah kaya dengan kebodohan. Dan sang pejabat laknat yang berkhianat pada rakyatnya seolah-olah bangga menelusuri kebodohan kita dengan cara halus sebagai upaya dalam bentuk ’komoditi’ proyek pemberantasan buta huruf. Sehingga dana yang turun buat proyek keaksaraan fungsional buat kita tidak jarang di mark-up beberapa oknum ” Made Momot dan Ketut Nengil secara berapi-api dengan semangat jiwa 45 berbicara di hadapan anak-anak di desa.
            Dan seperti biasa mereka pada bengong tanpa bertanya. Pada dasarnya memang benar-benar tidak mengerti. Sebuah kekusaman dalam warna-warni keluguan yang tidak dibuat-buat. Made Momot-pun terusik dalam keluguannya. Makanya Made Momot dan istrinya yang dibantu juga rekannya dari lembaga pelatihan di titian kembir dan telagapolak turut serta secara beramai-ramai dalam solidaritas yang tinggi mengajar mereka, mendidik mereka untuk tahu dan pintar serta memanfaatkan kepintarannya untuk bekal hidup, untuk bekerja menafkahi keluarganya. Memberikan mereka pendidikan gratis tanpa memungut biaya. Setelah mereka mampu menerapkan keterampilannya, diarahkan untuk dapat bekerja. Mempertemukan mereka pada rekan-rekan seprofesi untuk dijadikan karyawan di bidang usahanya. Dan hampir semuanya sudah pada bekerja. Anak-anak yang semula lugu kini sudah dipermak menjadi anak-anak yang lebih berguna lagi.
            ”Bung, proposal pengajuan dana anda untuk program pelatihan telah cair ,” suatu ketika salah seorang pejabat kantor dinas pendidikan menelepon. Made Momot kenal betul suaranya. Namanya Amaq Saidi, tetapi karena sudah berstatus seorang Haji, kami memanggil “Kak Tuan”. Orang yang memiliki pengaruh luar biasa besar dalam penilaian sebuah proposal. Katakanlah melalui tanda tangannya menjadi barometer, sebuah proposal pengajuan dana layak atau tidak diteruskan ke pusat. Layak atau tidak mendapatkan dana.
            “Iya bos. Namun kegiatan saya jelas. Saya tidak melakukan program kerja fiktif.”
            ”Saya mengerti. Mungkin anda mengerti juga maksud pertanyaan saya..”
            ”Hmm lalu, gimana bos?”
            ”Saya hanya butuh dua ekor kambing untuk gathering rekan-rekan pejabat ”
            ”Gimana caranya bos? Dalam alokasi dana tidak ada mencantumkan nota pembelian kambing.” sepertinya Made Momot menjadi bego mendengar  permintaannya itu.
            ”Alaaah, itu semua bisa diatur.”
            ”Kambing, bos?”
            ”Iya, ngerti dikitlah.” kata suara di seberang disambung dengan suara ketawa. Made Momot ikut menimpali ketawanya.
            ”Lho kok ikut ketawa?”
            ”Kambing Bos?” Lagi Made bertanya.
            ”Iyaaaaaaaaa...!!!! ” suara teriak sangar di seberang. Made Momot terkejut, jantungnya hampir tidak menempati klep yang benar. Hampir Koit. Hampir jiun! Saking gugupnya ia tak sadar berkata:
            ”Bos Kambing?”
            ”Busyet!”
            ”Nggg....maaf..maaf, maksudnya beli kambing buat bos?”
            ”Iya kok kamu........”
            ” Iya bos. Maaf bos..eh iya ngg…agak aneh, hmm maksud saya rada-rada janggal gitu. Loh!”
            ”Apanya yang janggal? Ane minta dua ekor kambing. Janggal apanya, anehnya dimana? Hanya tinggal belikan saja, beres kan!?”
            ”Maksud saya begini bos, di desa kami jarang ada peternak kambing. Lagipula kambing minta ampun susahnya diperoleh di desa ini. Desa kami rata-rata mata pencahariaannya hanya sebagai tukang bangunan, sais cidomo, buruh pada sebuah kerajinan gerabah, dan buruh pada usaha produksi krupuk, selebihnya  sebagai TKW ke Malaysia. Jadi permintaan bos terlampau sulit untuk dapat saya penuhi. Apalagi pelatihan yang kami lakukan hanyalah kursus menjahit dan keterampilan kecantikan. Bagaimana kalau saya berikan kain yang banyak atau lipstik, parfum, bedak dan sejenisnya?”
            “Hei bung, ente belikan saja kambing, gampang khan? Kok pake plintat-plintut  kain dan bedak segala? ” suara di seberang sedikit memanas dengan nada agak tinggi. Kata-kata ‘kain’ rupanya dianggap sebagai sebuah ejekan, terlebih ada tambahan kata-kata lipstick, parfum maupun bedak.
            Made Momot kaget. Wah gawat ini. Kemarahan seorang pejabat  akan membuat programnya di desa jadi berantakan dan kalau proposal selanjutnya tidak bisa lolos ke pusat otomatis dia tidak bisa memberikan pelatihan pada anak-anak lagi. Itu artinya calon anak-anak didiknya di desa yang lagi antre ikut kursus pelatihan akan menjadi bodoh. Dan pengangguran akan bisa menjadi makin tinggi di desa Bleganjur ini. Made Momot putar otak bagaimana cara memenuhi permintaan pejabat ini tanpa harus mengorbankan anak-anak di desa yang masih banyak butuh bimbingan. Otak Made Momot memang benar-benar encer, kendati tidak sepadan dengan namanya.
            Made Momot tercenung dengan permintaannya itu. dua ekor kambing? Ntar dulu. Perasaan di proposal pengajuan dana untuk melatih anak-anak di desa dia ajukan program kursus menjahit dan kursus kecantikan, jadi bukan program beternak kambing. Jadi bagaimana pelaporannya nanti ? Masak harus Made Momot membuat laporan nota kambing? Ndak habis pikir dibuatnya oleh permintaannya itu. Dia pikir memang beda antara pejabat kota dengan pejabat desa. Maksudnya barangkali perbedaan pejabat di tingkat kabupaten dan tingkat provinsi. Kalau pejabat kabupaten permintaannya kambing itu berarti hmmm... ya.. ya otomatis pejabat provinsi akan meminta empat kali lipat dari nilai kambing? Wah, jangan-jangan nanti malah minta seekor sapi. Runyam ini! Sapi malah lebih mahal dari dua ekor kambing.
            “Baik bos, akan saya usahakan mencarikan kambing.”
            Tapi apapun yang akan terjadi nanti, Made Momot tetap mengusahakan dua ekor kambing di pasar hewan Selagalas. Made pikir pejabat yang satu ini memang bukan mata duitan. Tapi mata kambing barangkali. Dan setelah dua ekor kambing itu didapatkan dengan nilai dua setengah juta lebih, dia foto kambing itu sebagai bentuk tanggungjawab material pelaporan nanti.
            Dan sekarang setiap ada dana turun untuk anak-anak di desa, Made Momot dan dibantu rekannya Ketut Nengil diwajibkan dengan kesadaran penuh untuk mengusahakan dua ekor kambing dan pada setiap halaman penutup berkas laporan tidak lupa mencantumkan foto-foto kambing dengan label harga tertulis dibaliknya. Foto itu merupakan pertanggungjawaban yang nilainya setara dengan nota pembelian dengan bukti bukti sah tercantum di baliknya.
            Tidak heran jika album-album foto kegiatan kelembagaan kursus pelatihannya menjadi penuh dengan foto-foto kambing yang dengan tekun selama dua belas tahun pengabdian di desa ini memajukan anak-anak yang tidak mampu dan tidak mendapat pendidikan layak menjadi generasi desa yang berguna, minimal untuk menafkahi keluarganya.
             Semua itu berkat kambing tentunya!!!
            Bravo kambing! Embeeeeeeek.........
            Sekarang istrinya dan Ketut Nengil sudah tidak menampilkan wajah penuh tanda tanya lagi ,kenapa album foto pada dokumen terakhir penuh berisi foto-foto kambing yang jauh lebih kriminal tampilan wajahnya ketimbang wajah teman-teman seperjuangan yang nangkring disana. Karena inilah album foto kegiatan kursus pelatihan keterampilan yang sangat monumental penuh sejarah. Sebuah album foto-foto pendidikan luar sekolah yang tidak dimiliki rekan-rekan lainnya sesama pengurus lembaga pendidikan dan tentunya juga mengandung nilai historis Tidak dapat dipungkiri ,berkat kambing-kambing inilah desa Bleganjur menjadi maju.
            Made Momot terkekeh geli menatap foto-foto kambing yang berdampingan dengan para pejabat yang menggelontorkan dana turut nampang dengan gagahnya. Sulit dibedakan mana yang lebih gagah.
            Embeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeekkkkkk....!!!!!!

(dari kumcer’SENGGEGER)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar