Setelah Pandawa pergi
dari ibu kota Hastina untuk menjalankan masa pembuangannya di dalam hutan
sesuai dengan perjanjian yang telah dibuat, Prabhu Dritharstha bertanya kepada
Arya Widura, “apakah yang patut kita perbuat supaya rakyat tetap setia kepada
kita?”
Arya Widura berdatang sembah seraya berkata,”
kebijaksanaan yang patut diambil menurut hemat hamba ialah memanggil Pandawa
pulang kembali, dan mengembalikan segala hak miliknya yang dahulu telah tuanku
serahkan kepadanya. Suruhlah Sakuni meminta maaf kepadanya, suruhlah Dussasana
meminta maaf kepada Dewi Draupadi, buatlah perdamaian antara putra Tuanku
dengan Pandawa, sebelum Bhima-Arjuna memperoleh kesempatan untuk membalas
dendam dan memusnahkan keturunan Tuanku. Dengan berbuat demikian, Tuanku akan
menghindarkan kemusnahan keturunan darah Kuru dan Tuanku akan berbuat sesuatu
yang utama!”
Mendengar nasihat Arya Widura itu, Prabhu Dhritharasthra
menjadi murka dan berkata, “ kata-katamu itu tidak menguntungkan kami,
melainkan menguntungkan Pandawa semata-mata. Aku tidak menyetujui
pertimbanganmu itu. Dengan membela Pandawa, berartilah engkau bukan sahabatku.
Bagaimanakah aku menyisihkan putra-putraku sendiri, demi kejayaan Pandawa?
Putraku adalah tiada berdosa dan Duryodhana lahir dari dalam badanku sendiri.
Bijaksanakah orang yang menasihati itu kepadaku, agar aku merugikan diriku
sendiri untuk kebaikan orang lain? Perkataanmu tidak jujur! Engkau boleh
tinggal disini atau enyah dari sini dan pergi mengikuti kehendak hatimu, hai,
Widura, bagaikan perempuan jalang yang meninggalkan suaminya!” Prabhu Dhristharasthra
lalu bangkit dan masuk ke dalam tempat peraduannya setelah kata-kata itu
diucapkannya.
Arya Widura pun lalu bangkit dari tempat duduknya dan
pergi meninggalkan Hastinapura. Beliau pergi menuju tempat Pandawa di hutan
Kamyaka sambil berkata, “ keturunan Kuru ini akan musnah.”
(penulis, I Gusti Ngurah Ketut
Sangka, Kerambitan 24 oktober 1964)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar