Prabhu
Yudisthira,
Raja yang mempunyai jiwa luhur, tetap patuh kepada kebenaran. Sesaat kemudian
dengan tenang beliau menyahut, “ Tidak ada kesangsian lagi, hai dinda, bahwa
semua itu adalah kebenaran. Kanda tidak menghina dinda seperti kata-kata
siksaanmu yang dinda umpatkan kepada kanda itu yang bagaikan anak panah yang
sangat tajam menembus hatiku. Hanya oleh kebodohanmu sendirilah kemalangan dan
kesusahan ini datang padamu. Kanda memasang batu dadu dengan maksud yang
terburu-buru untuk mendapat kerajaan Duryodhana dengan kedaulatannya. Sebab itu
jugalah Sakuni, putra Suwala, si tukang judi yang cerdik licik itu melawan
kanda untuk kepentingan (atas nama) Duryodhana. Sakuni penghuni dari daerah
yang berbukit-bukit melebihi kecerdikanku. Dalam permainan dadu di muka
pertemuan dan tahu akan diri kanda tidak memiliki suatu kecerdikan apapun dalam
peraduan itu, Sakuni mengalahkan daku dengan kecerdikannya.
Itulah sebabnya, hai Bhima, kita mengalami nasib semalang
ini, memegang batu dadu sesuai dengan kehendak Sakuni, maka seharusnyalah kanda
dapat meneliti pikiran/indriaku. Kemarahan sesungguhnya menghilangkan kesabaran
orang. Wahai, Bhima, pikiran tidak dapat dikuasai lagi, apabila pikiran itu
dipengaruhi oleh dengki, suka melagak, pujian serta sombong dan angkuh.
Kanda tidak menghina engkau dengan kata-kata seperti yang
dinda ucapkan. Kanda hanya dengan cermat mempertimbangkan serta menentukan
terlebih dahulu, apa yang bakal terjadi atas diri kita menjadi budak sahayanya,
maka wahai Bhima, Draupadi sendirilah yang menyelamatkan kita.
Tatkala ajakan bermain untuk kedua kalinya kita terima,
maka dinda (Bhima) dan Arjuna telah mengetahui, apa yang telah dikatakan
putra-putra Dhristharasthra kepada kanda di muka persidangan, yaitu untuk
menentukan tentang taruhan dalam permainan itu. Perkataannya adalah,”Hai pangeran
Ajatasatru (jika kalah) kanda akan tinggal bersama-sama saudara kanda atas
kesaksian banyak orang,untuk masa dua-belas tahun lamanya di dalam hutan
menurut pilihan kanda dan menjalani masa tahun yang ke tiga-belas dengan
menyamar. Jikalau selama masa ketentuan yang tersebut terakhir ini, mata-mata
kami mendengar berita tentang diri kanda dan berhasil menemukan kanda, maka
kanda harus kembali lagi tinggal dalam hutan selama waktu yang sama, dan juga
sesudah itu menjalani masa tahun ketigabelas dengan menyamar.
Jikalau hal ini sudah jelas bagi kanda, maka
pergunakanlah diri kanda sebagai jaminan. Oleh karena maksud kami sendiri baik,
maka kami berjanji dengan jujur di dalam persidangan Kuru ini, bahwa bila kanda
dapat menjalani masa waktu itu, membinasakan mata-mata kami dan selamat tidak
ditemukan oleh mereka, lalu, hai Pandawa, kerajaan dari lima sungai (Punyab? )
ini kembali lagi menjadi kepunyaan kanda!
Demikian pula sebaliknya, jika kami dapat kanda kalahkan,
akan kami tinggalkan semua kekayaan kami dan bersama-sama semua saudara kami
akan menjalani masa waktu yang sama di dalam hutan sesuai dengan syarat-syarat
yang ditentukan itu.
Demikian itulah tantangan Pangeran Duryodhana, lalu kanda
berikan jawaban di tengah-tengah keluarga Kuru, “Baiklah, kami terima!”
Permainan yang mendatangkan aib itu lalu dimulai, kita
kalah dan kita dibuang (diselong). Dan bila demikian hal yang telah terjadi,
bagaimanakah kita dapat memungkiri janji dan persetujuan (kita) yang telah kita
buat di hadapan orang-orang yang mulia? Siapakah berani memungkirinya, dengan
tujuan hanya untuk mendapat kerajaan di dunia semata-mata? Kanda rasa, bahwa
kematian masih lebih ringan dibandingkan kita melanggar kedaulatan orang lain.
Pada waktu permainan itu dinda (Bhima) mau membakar ke
dua belah tanganku. Maksud dinda itu dicegah oleh Arjuna, lalu dinda Cuma
memijat tangan dinda sendiri saja. Sekiranya dinda berbuat sebagaimana yang
dinda inginkan itu, mungkinkah kita mengalami kemalangan ini? Dan kenapa,hai
Bhima, tidak dinda ucapkan kata-kata seperti yang dinda umpatkan tadi kepada
diri kanda, sebelum kita menerima perjanjian dan persetujuan semacam itu?
Diliputi oleh rasa tanggung-jawab pada jaminan kita,
lebih-lebih bahwa peristiwa itu sendiri telah lampau, apakah gunanya dinda
menghasut-hasut dengan kata pedas tadi kepada kanda?
Wahai Bhima, kesedihanku terutama adalah, bahwa kita
tidak dapat berbuat apa-apa lagi untuk menghindarkan Draupadi dari penganiayaan
ini dengan cara yang demikian. Hatiku terbakar, seakan-akan aku telah minum
racun yang membinasakan. Janji telah kuberikan, dan satu-satunya kewajiban kita
yang menanti adalah menepati janji itu.
Nantikanlah, hai Bhima, kembalinya hari depan yang baik
bagi kita seperti halnya tukang penebar benih menanti bibitnya tumbuh menjadi
padi. Kebenaran adalah satu-satunya yang paling utama dalam kehidupan manusia.
Kekayaan, putra-putra, kemahsyuran, kemakmuran, semua ini belum mencapai nilai
seperenam-belas dari pada kebenaran itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar