Sabtu, 18 Februari 2012

AKU BUKAN PELACUR (12)

Semula Wina merasa senang di ajak ke sebuah hotel. Hotel di kawasan nusa dua, Wina tidak mau bertanya entah apa nama hotelnya. Pak Wiijaya mendahului turun dari mobil untuk memasuki lobby hotel dan menyarankan Wina menunggu sebentar di dalam mobil. Perasaan Wina sudah deg-degan akan memperoleh pekerjaan. Barangkali hotel ini nanti tempatnya memulai karier. Wina tersenyum-senyum senang dan membayangkan nanti akan memperoleh gaji dari jerih payahnya sendiri. Tiba-tiba pintu mobil terbuka. Pak Wijaya masuk kembali ke dalam dan menstater mobilnya.
“Gimana pak? Nggak jadi? “ Wina bertanya tak sabar.
“Kita tunggu di kamar yang telah disediakan,” Suara lelaki itu terdengar kalem.
“Di kamar?”
“Hmm”
“Wawancara di sana?”
“Iya,” jawab lelaki itu singkat sambil menghentikan mobil tepat di depan pintu masuk sebuah cottages. Wina menatap pak Wijaya. Yang di tatap mengangguk mengisyaratkan untuk mengikutinya. Isyarat anggukan yang tak mudah ditolak sebagai seorang pejabat penting. Wina mengerti arti anggukkan itu. Wina mengikuti dengan rasa hormat. Wina beranjak turun dari mobil. Terlihat lelaki itu menyapu pandangan sekilas. Lalu berdehem dan menggamit tangan Wina memasuki kamar. Wina menurut saja. Ada rasa janggal ketika diajak ke sebuah kamar hotel. Kenapa acara wawancara mesti berlangsung di kamar hotel?
“Belum pernah tahu kamar hotel?” lelaki itu seolah mengerti jalan pikiran Wina.
“Belum…..” Wina menjawab dalam seribu tanda tanya keheranan.
Namun rasa heran dienyahkan begitu saja. Lelaki ini ibarat sang public-figure. Iya, karena Bapak Wijaya adalah seorang pejabat penting. Barangkali ini yang dinamakan wawancara eksklusif seperti yang dikatakan tadi.  Jadi kemanapun pergi pasti beberapa petinggi di kota ini akan mengenalnya. Kemana-mana mesti tak lepas dari sorotan wartawan. Terlebih lagi dengan mengajak seorang gadis muda seperti dirinya. Wina mengerti dan berusaha memaklumi hal itu. Saking lugunya sebagai seorang gadis remaja yang merangkak dewasa. Dengan polosnya dia mengikuti langkah kaki pak Wijaya. Jemarinya tak sadar kalau sedari tadi digenggam tangan lelaki itu.

empat

Pak Wijaya memegang pundaknya dan mengajak memasuki kamar. Ketika sampai di dalam kamar pintu dikunci dengan kesan yang terlihat santai. Wina merasa sedikit aneh dan rasa risi merayapi pikirannya. Dia hanya duduk di bagian ruang depan kamar hotel. Ruangan depan ditata arstistik semacam ruang tamu terdiri diri meja dan kursi duduk yang sangat bagus. Terasa nyaman duduk menghenyakkan pantat disana. Ruang belakang terdiri dari ruang tidur dengan ukuran yang sangat luas sekali. Lelaki itu langsung memasuki ruangan bagian dalam. Sekilas Wina melihat lelaki itu merebahkan badan, seolah sudah biasa memasuki kamar ini. Atau memang hotel ini kepunyaannya. Wina bengong.
“Tunggu sebentar, Win. Orang yang akan mewawancarai kamu belum datang,” Terdengar suara lelaki itu di bagian ruang dalam. Pancaran matanya demikian sungguh-sungguh.
Wina percaya. Tapi kenapa pintu kamar dikunci? Ah, Wina tak mau banyak tanya dan juga tidak mau banyak pikir. Toh sebentar lagi wawancara dimulai dan harapan baru menghadang di depan mata. Harapan akan sebuah pekerjaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar