Semula
Wina merasa senang di ajak ke sebuah hotel. Hotel di kawasan nusa dua, Wina
tidak mau bertanya entah apa nama hotelnya. Pak Wiijaya mendahului turun dari
mobil untuk memasuki lobby hotel dan menyarankan Wina menunggu sebentar di
dalam mobil. Perasaan Wina sudah deg-degan akan memperoleh pekerjaan.
Barangkali hotel ini nanti tempatnya memulai karier. Wina tersenyum-senyum
senang dan membayangkan nanti akan memperoleh gaji dari jerih payahnya sendiri.
Tiba-tiba pintu mobil terbuka. Pak Wijaya masuk kembali ke dalam dan menstater
mobilnya.
“Gimana
pak? Nggak jadi? “ Wina bertanya tak sabar.
“Kita
tunggu di kamar yang telah disediakan,” Suara lelaki itu terdengar kalem.
“Di
kamar?”
“Hmm”
“Wawancara
di sana?”
“Iya,”
jawab lelaki itu singkat sambil menghentikan mobil tepat di depan pintu masuk sebuah
cottages. Wina menatap pak Wijaya. Yang di tatap mengangguk mengisyaratkan
untuk mengikutinya. Isyarat anggukan yang tak mudah ditolak sebagai seorang
pejabat penting. Wina mengerti arti anggukkan itu. Wina mengikuti dengan rasa
hormat. Wina beranjak turun dari mobil. Terlihat lelaki itu menyapu pandangan
sekilas. Lalu berdehem dan menggamit tangan Wina memasuki kamar. Wina menurut
saja. Ada rasa janggal ketika diajak ke sebuah kamar hotel. Kenapa acara
wawancara mesti berlangsung di kamar hotel?
“Belum
pernah tahu kamar hotel?” lelaki itu seolah mengerti jalan pikiran Wina.
“Belum…..”
Wina menjawab dalam seribu tanda tanya keheranan.
Namun
rasa heran dienyahkan begitu saja. Lelaki ini ibarat sang public-figure. Iya,
karena Bapak Wijaya adalah seorang pejabat penting. Barangkali ini yang
dinamakan wawancara eksklusif seperti yang dikatakan tadi. Jadi kemanapun pergi pasti beberapa petinggi
di kota ini akan mengenalnya. Kemana-mana mesti tak lepas dari sorotan wartawan.
Terlebih lagi dengan mengajak seorang gadis muda seperti dirinya. Wina mengerti
dan berusaha memaklumi hal itu. Saking lugunya sebagai seorang gadis remaja
yang merangkak dewasa. Dengan polosnya dia mengikuti langkah kaki pak Wijaya.
Jemarinya tak sadar kalau sedari tadi digenggam tangan lelaki itu.
empat
Pak
Wijaya memegang pundaknya dan mengajak memasuki kamar. Ketika sampai di dalam
kamar pintu dikunci dengan kesan yang terlihat santai. Wina merasa sedikit aneh
dan rasa risi merayapi pikirannya. Dia hanya duduk di bagian ruang depan kamar
hotel. Ruangan depan ditata arstistik semacam ruang tamu terdiri diri meja dan
kursi duduk yang sangat bagus. Terasa nyaman duduk menghenyakkan pantat disana.
Ruang belakang terdiri dari ruang tidur dengan ukuran yang sangat luas sekali.
Lelaki itu langsung memasuki ruangan bagian dalam. Sekilas Wina melihat lelaki
itu merebahkan badan, seolah sudah biasa memasuki kamar ini. Atau memang hotel
ini kepunyaannya. Wina bengong.
“Tunggu
sebentar, Win. Orang yang akan mewawancarai kamu belum datang,” Terdengar suara
lelaki itu di bagian ruang dalam. Pancaran matanya demikian sungguh-sungguh.
Wina
percaya. Tapi kenapa pintu kamar dikunci? Ah, Wina tak mau banyak tanya dan
juga tidak mau banyak pikir. Toh sebentar lagi wawancara dimulai dan harapan
baru menghadang di depan mata. Harapan akan sebuah pekerjaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar