Dilihat
pak Wijaya rebahan di tempat tidur setelah melepas sepatunya. Wina merasa risih
melihat tingkah laku bapak itu, tapi demi iming-iming sebuah pekerjaan,
dihalaunya perasaan itu. Lama Wina menunggu, orang yang ditunggu-tunggu belum
juga muncul. Wina mulai jenuh. Perasaan aneh mulai menghantuinya.
“Kok
lama sekali orangnya datang sih, pak? “ Wina bertanya dan sudah mulai bosan
duduk saja sedari tadi di sofa kamar depan. Ketika matanya mengarah ke hamparan
tempat tidur yang sangat mewah itu, dilihat pak Wijaya tengah menatap dirinya
dengan tajam. Tatapannya terkesan aneh. Tatapan yang janggal sebagai seorang
lelaki. Sepasang mata laki-laki. Terasa aneh bagi Wina.
“Bapak pasti bohong ya? Naaaa ketahuan kan
bapak ini bohongin Wina? Iya kan pak?“ Wina bertanya dengan suara
kekanak-kanakan, sifat lugu seorang anak gadis remaja masih terlihat dari rona
matanya yang bening. Karena waktu tetap beranjak hampir satu jam lebih,
seseorang yang dimaksud akan mewawancarainya belum muncul juga. Wina merasakan
ada firasat yang aneh. Wina mulai merasa canggung berlama-lama dalam kamar.
Kecanggungan yang aneh. Canggung yang mendebarkan hati.
“Ayolah
sini santai sebentar, Win, “ Lelaki itu tidak menanggapai pertanyaan Wina.
Tangannya menggapai mengharapkan dirinya untuk mendekat. Wina semakin yakin
kalau ini hanya sebuah tipuan belaka. Ia merasa pasti ini hanyalah jebakan. Namun
ia tidak tahu jebakan macam apa yang akan dilakukan lelaki yang sepantasnya
dipanggil ayah. Wina sadar akan ekspresi aneh lelaki itu.
“Bapak
bohong kan? Ndak ada yang akan datang mewawancarai Wina disini,” Wina kembali
bertanya dengan nada polos, walau mulai merasakan ada sesuatu yang ganjil dari
sikap laki-laki itu.
Ia
merasa ini seperti merupakan sebuah jebakan halus. Namun pada kenyataannya
memang demikian. Jebakan ini hanyalah sebuah rangkaian dari rasa peduli yang
ditunjukan lelaki itu selama ini. Seorang lelaki yang normal melihat daun muda
yang merasa demikian mudah digiring memasuki kamar hotel. Wijaya bisa saja
menganggap Wina seorang gadis yang mudah diajak namun sesungguhnya Wijaya akan
menyesal kalau mengetahui gadis ini benar-benar lugu.
“Sinilah
Win, bapak sudah dari dulu menyukaimu. Bapak menginginkanmu, “ didengar
suara pak Wijaya tidak sebagaimana
biasanya setiap perjumpaan dalam kegiatan keorganisasian. Ini suara yang aneh.
Suara yang ganjil. Suara laki-laki yang menginginkan sesuatu.
“Mau
ngapain sih pak….?” Wina bertanya polos, wajahnya tersipu-sipu mendengar suara
pak Wijaya.
“Santai-santai
dululah disini. Bapak capek sekali mau rebahan dulu. Ayo kemari Win…” Pak
Wijaya memanggil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar