Minggu, 19 Februari 2012

AKU BUKAN PELACUR (13)


Dilihat pak Wijaya rebahan di tempat tidur setelah melepas sepatunya. Wina merasa risih melihat tingkah laku bapak itu, tapi demi iming-iming sebuah pekerjaan, dihalaunya perasaan itu. Lama Wina menunggu, orang yang ditunggu-tunggu belum juga muncul. Wina mulai jenuh. Perasaan aneh mulai menghantuinya.
“Kok lama sekali orangnya datang sih, pak? “ Wina bertanya dan sudah mulai bosan duduk saja sedari tadi di sofa kamar depan. Ketika matanya mengarah ke hamparan tempat tidur yang sangat mewah itu, dilihat pak Wijaya tengah menatap dirinya dengan tajam. Tatapannya terkesan aneh. Tatapan yang janggal sebagai seorang lelaki. Sepasang mata laki-laki. Terasa aneh bagi Wina.
 “Bapak pasti bohong ya? Naaaa ketahuan kan bapak ini bohongin Wina? Iya kan pak?“ Wina bertanya dengan suara kekanak-kanakan, sifat lugu seorang anak gadis remaja masih terlihat dari rona matanya yang bening. Karena waktu tetap beranjak hampir satu jam lebih, seseorang yang dimaksud akan mewawancarainya belum muncul juga. Wina merasakan ada firasat yang aneh. Wina mulai merasa canggung berlama-lama dalam kamar. Kecanggungan yang aneh. Canggung yang mendebarkan hati.
“Ayolah sini santai sebentar, Win, “ Lelaki itu tidak menanggapai pertanyaan Wina. Tangannya menggapai mengharapkan dirinya untuk mendekat. Wina semakin yakin kalau ini hanya sebuah tipuan belaka. Ia merasa pasti ini hanyalah jebakan. Namun ia tidak tahu jebakan macam apa yang akan dilakukan lelaki yang sepantasnya dipanggil ayah. Wina sadar akan ekspresi aneh lelaki itu.
“Bapak bohong kan? Ndak ada yang akan datang mewawancarai Wina disini,” Wina kembali bertanya dengan nada polos, walau mulai merasakan ada sesuatu yang ganjil dari sikap laki-laki itu.
Ia merasa ini seperti merupakan sebuah jebakan halus. Namun pada kenyataannya memang demikian. Jebakan ini hanyalah sebuah rangkaian dari rasa peduli yang ditunjukan lelaki itu selama ini. Seorang lelaki yang normal melihat daun muda yang merasa demikian mudah digiring memasuki kamar hotel. Wijaya bisa saja menganggap Wina seorang gadis yang mudah diajak namun sesungguhnya Wijaya akan menyesal kalau mengetahui gadis ini benar-benar lugu.
“Sinilah Win, bapak sudah dari dulu menyukaimu. Bapak menginginkanmu, “ didengar suara  pak Wijaya tidak sebagaimana biasanya setiap perjumpaan dalam kegiatan keorganisasian. Ini suara yang aneh. Suara yang ganjil. Suara laki-laki yang menginginkan sesuatu.
“Mau ngapain sih pak….?” Wina bertanya polos, wajahnya tersipu-sipu mendengar suara pak Wijaya.
“Santai-santai dululah disini. Bapak capek sekali mau rebahan dulu. Ayo kemari Win…” Pak Wijaya memanggil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar