Minggu, 19 Februari 2012

ARJUNABHIGAMANA PARWA (33)


Bhima pun sependapat dengan pertimbangan yang dianjurkan oleh dewi Draupadi itu, beliau lalu menganjurkan, “ Kanda Prabhu Yudisthira. Bukan karena kebajikan, juga bukan karena kejujuran, pun bukan karena kekuasaan, bahwa kerajaan kita dirampas oleh Duryodhana, melainkan karena memainkan dadu yang curang. Seperti anjing yang lemah mencuri mangsa dari seekor singa yang kuat (= bukan karena anjing itu berperang dengan singa itu) maka, demikian itulah halnya Duryodhana mencuri kerajaan kita.
            Rupa-rupanya sia-sialah kiranya kesaktian Gandewa kita, jikalau kesaktiannya itu tidak kita pergunakan untuk membela kerajaan kita. Kehidupan dan kediaman dalam hutan adalah diperuntukkan bagi orang yang lemah imannya, bukan diperuntukkan bagi orang kuat seperti kita (aku?). Pastilah bahwa tidak seorang pun yang mempunyai kemampuan, akan kuat menjalankan kehidupan seperti ini (melarat). Karena setianya kepada janji, orang berseru, Agama! Agama!” Apakah karena putus asa, maka kelaki-lakiannya digagahi dengan perkataannya itu?
            Jikalau Duryodhana kanda beri maaf, maka itu merupakan suatu keuntungan baginya. Tetapi bagiku itu berarti sakit hati. Lebih baik sakit dari pada kematianku dalam peperangan. Kekalahan kita semua dalam pertempuran yang jujur, tidak lari dari medan perang melawan si jahanam itu, masih lebih baik dari pada pembuangan ini, meskipun untuk itu akan kita peroleh tempat kebahagiaan di akherat kelak.
            Kalau Duryodhana sudah musnah, kita akan memperoleh seluruh daerah kita kembali. Kerajaan kita akan makmur. Bukankah itu juga suatu kewajiban dan kebajikan yang wajar? Kadang-kadang kebajikan itu nampaknya suatu kelemahan pada orang. Berbuat kebajikan hanya untuk kebajikan semata-mata (tanpa pamrih) adalah tiada bedanya seperti orang buta yang ingin melihat cahaya yang terang. Orang yang sungguh-sungguh bijaksana patut mengindahkan kedua hal, yaitu (1) kebajikan dan (2) kemakmuran bersama-sama. Kedua hal ini masing-masing bergantung yang satu kepada yang lain, seperti embun dan air laut. Karena orang yang ingin memiliki kemakmuran, harus mencari dan berbuat kebajikan sebanyak-banyaknya. Dan mereka yang ingin mendapat kesenangan, mancahari kemakmuran agar supaya maksudnya itu tercapai. Manusia mengejar dan patuh kepada tiga hal, dari satu kepada yang lain, yaitu mula-mula (1) kebajikan, lalu (2) kemakmuran dan akhirnya (3) kesenangan (dharma, artha,kama). Tidak ada orang yang mengingini yang pertama saja, tanpa ingin kepada tujuannya yang utama, yaitu yang kedua dan yang ketiga. Kesenangan (Kama) merupakan tujuan akhir. Pagi-pagi kita berbuat kebajikan, siang hari kita mencahari kemakmuran (kekayaan) dan malam/sore hari kita menikmati kesenangan yang pertama menghasilkan yang kedua, yang kedua menghasilkan yang ketiga. Dan yang ketiga adalah tujuan akhir. Yang ketiga tidak menghasilkan apa-apa lagi, karena itu merupakan tujuan akhir. Kesenangan menghasilkan kesenangan (kebahagiaan?). Seperti halnya abu berasal dari pada kayu, tetapi abu itu sendiri tidak akan kembali lagi menjadi kayu.
            Dan sebagaimana kita lihat, wahai Rajaku, seperti halnya penangkap burung membunuh burung, maka dosalah membunuh mahluk di dunia (?). Dia yang kikir tidak pada tempatnya, karena kesukaan dan tamaknya, dipandang sebagai tidak kebajikan asli dan oleh karena itu sudah sepatutnyalah dia dibunuh oleh semua orang dan menjadi sengsara di dunia ini dan di akherat. Nampak nyatalah bahwa kesenangan itu mungkin sekali menjauhkan kita dari pada bermacam-macam Wisaya kenikmatan. Mereka yang tidak menggunakan atau menghilangkan kesempatan karena tua dan kematiannya, menimbulkan duka cita. Dan duka cita itu, wahai Raja, mengejar kita. Nikmat yang timbul dari kecerdasan hati dan panca-indera yang ditujukan kepada hal-hal yang layak, itulah yang disebut kesenangan (suka tan pawali dukha?). Kesenangan merupakan buah yang terbaik dari pada perbuatan kita. Memang benar, bahwa kebajikan adalah paling utama di dunia ini, (kesentosaan) dunia tergantung kepada kebajikan! Dana-pun-ya, yadnya, menghormati tatwa pelajaran, memperlajari Weda, kehormatan, ini semua merupakan dasar kebajikan yang luhur. Tetapi kebajikan itu sesungguhnya tidak dapat diperoleh orang yang tidak mempunyai kekayaan. Dan kekayaan itu tidak dapat kita peroleh dengan hidup mengemis. Kekayaan dan kemakmuran itu hanya dapat diperoleh melalui pengetahuan yang/dan dipimpin kebajikan oleh kebajikan (Dharma). Dalam hal ini, mengemis yang wajar bagi para Brahmana, adalah terlarang (bagi Keshatriya). Oleh sebab itu, Wahai Raja, berjuanglah! Gunakanlah kekuasaan dan kemampuan untuk mendapat kemakmuran. Karena kekuasaan dan kekuatan merupakan dasar pokok kebajikan bagi seseorang Keshatriya. Bunuhlah musuh kita! Hancurkanlah kekuasaan putra-putra Dhristharasthra! Kekuasaan merupakan jalan untuk mencapai kemakmuran.
            Kerajaan yang ada di tangan Duryodhana dapat diibaratkan seperti air susu di kantong kulit anjing, seperti Weda ada pada orang sudra, seperti kebenaran ada pada perampok dan sebagai kekuasaan ada pada tangan wanita.
            Di mataku tidak ada pahlawan sakti, tidak ada gajah, tidak ada kuda, yang mampu menahan deras seranganku, jika aku marah dalam peperangan. Kenapa kita tidak bertindak?
(penulis, I Gusti Ngurah Ketut Sangka, Kerambitan 24 oktober 1964)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar