Bhima
pun
sependapat dengan pertimbangan yang dianjurkan oleh dewi Draupadi itu, beliau
lalu menganjurkan, “ Kanda Prabhu Yudisthira. Bukan karena kebajikan, juga
bukan karena kejujuran, pun bukan karena kekuasaan, bahwa kerajaan kita
dirampas oleh Duryodhana, melainkan karena memainkan dadu yang curang. Seperti
anjing yang lemah mencuri mangsa dari seekor singa yang kuat (= bukan karena
anjing itu berperang dengan singa itu) maka, demikian itulah halnya Duryodhana
mencuri kerajaan kita.
Rupa-rupanya sia-sialah kiranya kesaktian Gandewa kita,
jikalau kesaktiannya itu tidak kita pergunakan untuk membela kerajaan kita.
Kehidupan dan kediaman dalam hutan adalah diperuntukkan bagi orang yang lemah
imannya, bukan diperuntukkan bagi orang kuat seperti kita (aku?). Pastilah
bahwa tidak seorang pun yang mempunyai kemampuan, akan kuat menjalankan
kehidupan seperti ini (melarat). Karena setianya kepada janji, orang berseru,
Agama! Agama!” Apakah karena putus asa, maka kelaki-lakiannya digagahi dengan
perkataannya itu?
Jikalau Duryodhana kanda beri maaf, maka itu merupakan
suatu keuntungan baginya. Tetapi bagiku itu berarti sakit hati. Lebih baik
sakit dari pada kematianku dalam peperangan. Kekalahan kita semua dalam
pertempuran yang jujur, tidak lari dari medan perang melawan si jahanam itu,
masih lebih baik dari pada pembuangan ini, meskipun untuk itu akan kita peroleh
tempat kebahagiaan di akherat kelak.
Kalau Duryodhana sudah musnah, kita akan memperoleh
seluruh daerah kita kembali. Kerajaan kita akan makmur. Bukankah itu juga suatu
kewajiban dan kebajikan yang wajar? Kadang-kadang kebajikan itu nampaknya suatu
kelemahan pada orang. Berbuat kebajikan hanya untuk kebajikan semata-mata
(tanpa pamrih) adalah tiada bedanya seperti orang buta yang ingin melihat
cahaya yang terang. Orang yang sungguh-sungguh bijaksana patut mengindahkan
kedua hal, yaitu (1) kebajikan dan (2) kemakmuran bersama-sama. Kedua hal ini
masing-masing bergantung yang satu kepada yang lain, seperti embun dan air
laut. Karena orang yang ingin memiliki kemakmuran, harus mencari dan berbuat
kebajikan sebanyak-banyaknya. Dan mereka yang ingin mendapat kesenangan,
mancahari kemakmuran agar supaya maksudnya itu tercapai. Manusia mengejar dan
patuh kepada tiga hal, dari satu kepada yang lain, yaitu mula-mula (1)
kebajikan, lalu (2) kemakmuran dan akhirnya (3) kesenangan (dharma,
artha,kama). Tidak ada orang yang mengingini yang pertama saja, tanpa ingin
kepada tujuannya yang utama, yaitu yang kedua dan yang ketiga. Kesenangan (Kama)
merupakan tujuan akhir. Pagi-pagi kita berbuat kebajikan, siang hari kita
mencahari kemakmuran (kekayaan) dan malam/sore hari kita menikmati kesenangan
yang pertama menghasilkan yang kedua, yang kedua menghasilkan yang ketiga. Dan
yang ketiga adalah tujuan akhir. Yang ketiga tidak menghasilkan apa-apa lagi,
karena itu merupakan tujuan akhir. Kesenangan menghasilkan kesenangan
(kebahagiaan?). Seperti halnya abu berasal dari pada kayu, tetapi abu itu
sendiri tidak akan kembali lagi menjadi kayu.
Dan sebagaimana kita lihat, wahai Rajaku, seperti halnya
penangkap burung membunuh burung, maka dosalah membunuh mahluk di dunia (?).
Dia yang kikir tidak pada tempatnya, karena kesukaan dan tamaknya, dipandang
sebagai tidak kebajikan asli dan oleh karena itu sudah sepatutnyalah dia
dibunuh oleh semua orang dan menjadi sengsara di dunia ini dan di akherat.
Nampak nyatalah bahwa kesenangan itu mungkin sekali menjauhkan kita dari pada
bermacam-macam Wisaya kenikmatan. Mereka yang tidak menggunakan atau
menghilangkan kesempatan karena tua dan kematiannya, menimbulkan duka cita. Dan
duka cita itu, wahai Raja, mengejar kita. Nikmat yang timbul dari kecerdasan
hati dan panca-indera yang ditujukan kepada hal-hal yang layak, itulah yang
disebut kesenangan (suka tan pawali dukha?). Kesenangan merupakan buah yang
terbaik dari pada perbuatan kita. Memang benar, bahwa kebajikan adalah paling
utama di dunia ini, (kesentosaan) dunia tergantung kepada kebajikan!
Dana-pun-ya, yadnya, menghormati tatwa pelajaran, memperlajari Weda, kehormatan,
ini semua merupakan dasar kebajikan yang luhur. Tetapi kebajikan itu
sesungguhnya tidak dapat diperoleh orang yang tidak mempunyai kekayaan. Dan
kekayaan itu tidak dapat kita peroleh dengan hidup mengemis. Kekayaan dan
kemakmuran itu hanya dapat diperoleh melalui pengetahuan yang/dan dipimpin
kebajikan oleh kebajikan (Dharma). Dalam hal ini, mengemis yang wajar bagi para
Brahmana, adalah terlarang (bagi Keshatriya). Oleh sebab itu, Wahai Raja,
berjuanglah! Gunakanlah kekuasaan dan kemampuan untuk mendapat kemakmuran.
Karena kekuasaan dan kekuatan merupakan dasar pokok kebajikan bagi seseorang
Keshatriya. Bunuhlah musuh kita! Hancurkanlah kekuasaan putra-putra
Dhristharasthra! Kekuasaan merupakan jalan untuk mencapai kemakmuran.
Kerajaan yang ada di tangan Duryodhana dapat diibaratkan
seperti air susu di kantong kulit anjing, seperti Weda ada pada orang sudra,
seperti kebenaran ada pada perampok dan sebagai kekuasaan ada pada tangan
wanita.
Di mataku tidak ada pahlawan sakti, tidak ada gajah, tidak
ada kuda, yang mampu menahan deras seranganku, jika aku marah dalam peperangan.
Kenapa kita tidak bertindak?
(penulis, I Gusti Ngurah Ketut
Sangka, Kerambitan 24 oktober 1964)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar