Sabtu, 25 Februari 2012

INDRALOKAGAMANA PARWA (46)


Urwasi lalu mandi dan berbusana yang serba indah. Ia tunduk di bawah kekuasaan Dewa Asmara. Kemudian pergilah Urwasi menuju Arjuna dengan senyum simpulnya yang menawan hati. Semua ciptaannya hanya ditujukan dan dipusatkan kepada Arjuna saja. Sementara itu pikirannya melayang-layang dan terbayanglah dalam hatinya, seolah-olah dia bersama Arjuna tidur di atas kasur yang empuk yang ditutupi dengan kain sprei yang halus. Urwasi menuju tempat kediaman Arjuna sambil menyebut-nyebut nama Arjuna berulang-ulang. Kecantikannya yang luar biasa, roman mukanya laksana rembulan, ucapan kata-katanya yang lembut menawan hati, alis seperti semut beriring, ayunan langkahnya tertib teratur, seakan-akan menantang keutamaan sang dewi malam. Selanjutnya diceritakan dengan panjang lebar tentang kecantikan bidadari Urwasi itu, perhiasan badannya, lagak ragamnya, dengan lukisan kata-kata yang amat menggiurkan hati.
            Urwasi diterima oleh Arjuna dengan senang hati dan penuh hormat. Baru saja Arjuna mengarahkan pandangan matanya kepada bidadari itu, iapun menutup mukanya, lalu berkata; hamba menyampaikan hormat atas kedatangan tuan hamba dengan menundukkan kepala. Wahai putrid kahyangan, katakanlah apa maksud tuan hamba! “Hamba siap melaksanakannya seperti seorang abdi.!”
            Urwasi lalu menceritakan segalanya tentang tugas yang diberikan Hyang Indra kepadanya melalui perantaraan Gandharwa Chitrasena dan menambah dengan perkataan,”Engkau telah mengarahkan pandangan matamu atas diriku, pandangan mata yang tajam dan kuat. Engkau tahu, bahwa sejak kedatanganmu disini, Indraloka merupakan tempat pertemuan para Rishi, Hyang Rudra, Aditya, Aswin, Wayu, dan Gandharwa-Gandharwa menyanyikan lagu-lagu yang merdu. Setelah selesai pertemuan itu, Hyang Indra memerintahkan supaya semua hadirin kembali ke tempat kediamannya masing-masing. Dan oleh karena kehendak Hyang Indra jugalah engkau dapat bertemu dengan daku di tempat yang sunyi ini. Untuk maksud itulah Hyang Indra memerintahkan arag semua hadirin meninggalkan tempat ini. Tetapi engkau mengarahkan pandangan mata yang kuat, seakan-akan merupakan pandangan mata dari seorang teman kepada temannya yang lain. Demi untuk mentaati perintah Hyang Indra, dan demi hubungan persahabatanku dengan Chitrasenalah aku datang padamu. Hatiku telah ditawan oleh kebajikan yang telah engkau perbuat. Dan aku telah bersedia menerima semua tanggung-jawab dari padanya. Dan, hai pahlawan, hanya karena itulah keinginanku, pengharapanku, dan aku akan berbahagia untuk selama-lamanya. Aku aku perlakukan dikau dengan lemah lembut untuk selama-lamanya.”
            Setelah mendengar perkataan yang diucapkan dengan suara yang amat merdu itu, Arjuna sangat malu, karena ia insyaf akan dirinya, bahwa ia berada di surga. Sambil menutupi telinganya dengan kedua tangannya ia berkata, “Aduhai putri yang terpuji, tidak sedap telinga hamba mendengarkan perkataan tuan hamba itu. Dalam pandangan hamba, tuan hamba hanya patut menjadi permaisuri dari orang yang lebih utama daripada kedudukannya sendiri, umpamanya ibunda Kunti, Dewi Sachi (permaisuri Hyang Indra). Hal ini sedikitpun tidak hamba ragukan. Memang benar bahwa hamba pernah mengarahkan pandangan mata hamba kepada tuanhamba, karena ingat akan suatu peristiwa tertentu. Tatkala hamba memandang wajah tuanhamba, terlintas dalam hati hamba begini, “Putri yang seperti bunga cantiknya seperti inilah ibu dari Brahmana yang menurunkan suku bangsa Paurawa (Pururawa). Janganlah tuanhamba membuat supaya senang hati hamba dengan menceritakan pertimbangan orang lain mengenai hamba, karena tuanhamba adalah pemuka dari pada orang yang hamba utamakan, juga dijunjung oleh suku bangsa hamba.”
            Urwasi menjawab,”Hai putra Hyang Indra, ketahuilah bahwa kami para apasari bebas dan tidak terbatas memilih calon suami. Oleh karena itulah dalam hal ini, engkau tidak patut mempunyai anggapan, bahwa aku lebih utama dari padamu. Putra dan cucu keturunan bangsa Puru adalah selalu mencapai kemajuan melalui jasa dari hidup bertapa, bebas dari semua dosa. Janganlah engkau abaikan semua jasamu itu, hai pahlawan! Seharusnya engkau tidak menolak kedatanganku ini! Aku seakan-akan terbakar oleh nyala hasratku. Aku menyerah kepadamu. Terimalah diriku ini, wahai pemberi penghargaan yang benar.!”
            Arjuna berkata,”Aduhai putri yang cantik jelita tanpa cacat-cela, dengarkanlah, hamba berkata yang sebenarnya kepada tuanhamba! Semoga ke empat arah mendengar, ke-empat sudut mata angin mendengarkan, juga semoga Dewa-Dewa ikut serta mendengarkan perkataan hamba ini! Sebagaimana halnya ibunda Kunti, atau Madri, atau Dewi Sachi adalah ibu dalam ingatan hamba, demikian pulalah sesungguhnya diri tuanhamba dalam pandangan hamba adalah ibu dari keluarga hamba. Maka kembalilah, hai putri yang utama, kepada kejujuran sifat tuanhamba. Hamba tundukkan kepala hamba untuk tuanhamba, dan meniarap di bawah duli tuanhamba. Tuanhamba patut menerima sembah sujud hamba sebagai ibu hamba, dan tuanhamba wajib melindungi hamba sebagai putra.
            Urwasi menjadi murka. Badannya gemetar, keningnya mengkerut; beliau lalu mengutuk Arjuna dengan berkata,”Sejak engkau tidak mengindahkan seorang wanita yang datang kepadamu atas perintah orang tuamu, terlebih-lebih pula wanita yang telah tertawan hatinya oleh panah Dewa Asmara, oleh karena itulah, hai Arjuna, engkau akan selalu berada di tengah-tengah wanita, tetapi tidak mendapat perhatian dan penghargaan daripadanya, dan sebagai seorang penari, tak punya unsur kelaki-lakian, seperti budak,hina, jijik, orang memandang!”
            Setelah Urwasi mengucapkan kutukannya kepada Arjuna, segera beliau kembali ke tempat tinggalnya.
            Ke-esokan harinya Arjuna segera mendapatkan Chitrasena dan bersama-sama menghadap Hyang Indra. Di sana ia menceritakan peristiwa yang dialaminya pada malam yang lampau dengan Urwasi.
            Hyang Indra berkata,”Dengan mendapat kutukan itu dari Urwasi, engkau pada hari ini mempunyai ibu yang patut kau puja. Engkau telah menguasai dirimu sendiri seperti Rishi, karena kesabaran dan perhatianmu terhadap dirimu sendiri. Kutukan yang mengancam dirimu itu, justru akan berfaedah bagimu kelak, dan menempatkan engkau pada tempat yang baik. Hai, Arjuna, dalam keadaan seperti itu engkau akan menjalani masa pembuanganmu dalam tahun ke tiga-belas tanpa dikenali orang. Dan setelah melewati masa satu tahun sebagai penari tanpa unsur kelaki-lakian, engkau akan memperoleh kekuatanmu kembali, tepat sampai pada saat batas akhir masa pembuanganmu.”
            “Hasrat untuk mendengar cerita Pandawa selamanya tidak akan pernah kunjung padam. Orang yang terkemuka, orang yang utama, dengan mendengar kisah cerita tingkah laku Arjuna yang bersih ini akan menjadi hilang sombongnya, takeburnya dan marahnya, dan kesalahan-kesalahan lainnya, dan akan naik ke surga serta memperoleh kebahagiaan di sana.”
(penulis, I Gusti Ngurah Ketut Sangka, Kerambitan 24 oktober 1964)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar