Kamis, 16 Februari 2012

ARJUNABHIGAMANA PARWA (13)


Sri Kresnha mengatakan pula,bahwa permainan dadu yang mengakibatkan bencana itu, andaikata diketahui lebih dahulu tentu tak akan dibiarkan berlangsung. Ketika itu Sri Kreshna sedang berperang melawan Raja Salwa dari Yawana-negara. Selanjutnya Sri Kreshna bercerita, “Setelah didengarnya, bahwa Sisupala putra Raja Srutasrawa kami tewaskan, Prabhu Salwa atau Raja dari Saubha datang menyerang kota Anartta dan Dwarawati. Dwarawati terkepung. Peperangan terjadi amat hebatnya. Pertahanan kota memang amat kuat. Suku bangsa Yadawa yang dibantu oleh Danawa-danawa mengadakan serangan pembelaan mati-matian. Dalam perang tanding putra kami Pradyumna (=putra Shri Kreshna dengan Dewi Rukmini) dapat melepaskan anak panah kepada Prabhu Salwa, Raja dari Saubha dan menyebabkan Raja itu jatuh ke tanah. Setelah menyaksikan bahwa Rajanya jatuh dalam perang, rakyatnya putus asa dan mengeluh,” Oh aduh, sayang”
            Raja Salwa segera bangun kembali dan dalam sekejap mata telah melepaskan anak panahnya kepada putra kami Pradyumna. Pradyumna terkena dan jatuh ridak sadar akan dirinya. Putra dari kusir Darukti segera memberi pertolongan. Ia melarikan Pradyumna yang pingsan itu jauh ke luar medan pertempuran. Sesudah Pradyumna siuman kembali, ia pun melanjutkan perangnya lagi. Tiba-tiba terdengarlah sabda dari angkasa, “Hentikanlah usahamu untuk menewaskan Raja Salwa. Ia hanya dapat ditewaskan oleh Sri Kreshna saja!”
            Raja Salwa karena tidak kuasa menderita luka-lukanya yang disebabkan oleh senjata Pradyumna, lalu terbang ke udara dan meninggalkan Dwaraka.
            Tatkala itu kami baru tiba kembali di sana dari kunjungan kami pada upacara Rajasuya di istana dinda Prabhu. Setelah kami mendapat tahu, bahwa Dwaraka bekas mengalami serangan Raja Salwa, maka kami pun segera menuju Negara Yadawa. Kami tidak akan pulang kembali ke Dwaraka sebelum kami dapat menewaskan Raja Salwa. Kami mengadakan pertempuran sengit. Kami menghadapi perlawanan yang kuat. Setelah semua senjata kami tidak berhasil menewaskan Raja Salwa, akhirnya kami gunakan cakram kami “Sudarsana”. Senjata ini berhasil membelah tubuh Raja Salwa menjadi dua bagian. Raja Salwa pun tewaslah. Dan setelah istananya yang dibangun di atas kota yang tinggi seperti gunung meru ikut kami musnahkan dan para Danawa lari meninggalkan tempat itu, barulah kami pulang kembali ke Dwaraka.
            Sebab itulah, wahai dinda Prabhu Yudisthira, kami tidak dapat berkunjung di kota Hastina. Sekiranya ketika itu kami hadir, niscayalah Duryodhana tidak bernyawa lagi atau permainan yang membawa aib itu pasti takkan perlu dilangsungkan. Maka apakah yang dapat kami perbuat sekarang? Nasi telah menjadi bubur. Memang sukarlah menahan air bah apabila bendungan penahan air sudah jebol.”
            Setelah mengakhiri ceritanya itu Sri Kreshna dan para raja lainnya mohon diri dan kembali pulang ke negrinya masing-masing. Abimanyu serta ibundanya Dewi Subhadra ikut Sri Kreshna, dan putra-putra Dewi Draupadi (Panca-kumara) ikut pada Dhristadyumna ke Draupada (Panchala). Dristhaketu mengajak adik perempuannya yaitu istri Nakula yang bernama Dewi Karenumati ke negrinya, yaitu Chedi dengan ibu kotanya yang bernama Suktimati. Hanya saja Brahmana-brahmana, Waisya-waisya dan beberapa penduduk kota Indraprastha, yang meskipun telah berulang-ulang diminta untuk meninggalkan hutan itu, namun tetap tidak mau berpisah dengan Pandawa.
(penulis, I Gusti Ngurah Ketut Sangka, Kerambitan 24 oktober 1964)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar