Sri
Kresnha
mengatakan pula,bahwa permainan dadu yang mengakibatkan bencana itu, andaikata
diketahui lebih dahulu tentu tak akan dibiarkan berlangsung. Ketika itu Sri
Kreshna sedang berperang melawan Raja Salwa dari Yawana-negara. Selanjutnya Sri
Kreshna bercerita, “Setelah didengarnya, bahwa Sisupala putra Raja Srutasrawa
kami tewaskan, Prabhu Salwa atau Raja dari Saubha datang menyerang kota Anartta
dan Dwarawati. Dwarawati terkepung. Peperangan terjadi amat hebatnya.
Pertahanan kota memang amat kuat. Suku bangsa Yadawa yang dibantu oleh
Danawa-danawa mengadakan serangan pembelaan mati-matian. Dalam perang tanding
putra kami Pradyumna (=putra Shri Kreshna dengan Dewi Rukmini) dapat melepaskan
anak panah kepada Prabhu Salwa, Raja dari Saubha dan menyebabkan Raja itu jatuh
ke tanah. Setelah menyaksikan bahwa Rajanya jatuh dalam perang, rakyatnya putus
asa dan mengeluh,” Oh aduh, sayang”
Raja Salwa segera bangun kembali dan dalam sekejap mata
telah melepaskan anak panahnya kepada putra kami Pradyumna. Pradyumna terkena
dan jatuh ridak sadar akan dirinya. Putra dari kusir Darukti segera memberi
pertolongan. Ia melarikan Pradyumna yang pingsan itu jauh ke luar medan
pertempuran. Sesudah Pradyumna siuman kembali, ia pun melanjutkan perangnya
lagi. Tiba-tiba terdengarlah sabda dari angkasa, “Hentikanlah usahamu untuk
menewaskan Raja Salwa. Ia hanya dapat ditewaskan oleh Sri Kreshna saja!”
Raja Salwa karena tidak kuasa menderita luka-lukanya yang
disebabkan oleh senjata Pradyumna, lalu terbang ke udara dan meninggalkan
Dwaraka.
Tatkala itu kami baru tiba kembali di sana dari kunjungan
kami pada upacara Rajasuya di istana dinda Prabhu. Setelah kami mendapat tahu,
bahwa Dwaraka bekas mengalami serangan Raja Salwa, maka kami pun segera menuju
Negara Yadawa. Kami tidak akan pulang kembali ke Dwaraka sebelum kami dapat
menewaskan Raja Salwa. Kami mengadakan pertempuran sengit. Kami menghadapi perlawanan
yang kuat. Setelah semua senjata kami tidak berhasil menewaskan Raja Salwa,
akhirnya kami gunakan cakram kami “Sudarsana”. Senjata ini berhasil membelah
tubuh Raja Salwa menjadi dua bagian. Raja Salwa pun tewaslah. Dan setelah
istananya yang dibangun di atas kota yang tinggi seperti gunung meru ikut kami
musnahkan dan para Danawa lari meninggalkan tempat itu, barulah kami pulang
kembali ke Dwaraka.
Sebab itulah, wahai dinda Prabhu Yudisthira, kami tidak
dapat berkunjung di kota Hastina. Sekiranya ketika itu kami hadir, niscayalah
Duryodhana tidak bernyawa lagi atau permainan yang membawa aib itu pasti takkan
perlu dilangsungkan. Maka apakah yang dapat kami perbuat sekarang? Nasi telah
menjadi bubur. Memang sukarlah menahan air bah apabila bendungan penahan air
sudah jebol.”
Setelah mengakhiri ceritanya itu Sri Kreshna dan para
raja lainnya mohon diri dan kembali pulang ke negrinya masing-masing. Abimanyu
serta ibundanya Dewi Subhadra ikut Sri Kreshna, dan putra-putra Dewi Draupadi
(Panca-kumara) ikut pada Dhristadyumna ke Draupada (Panchala). Dristhaketu
mengajak adik perempuannya yaitu istri Nakula yang bernama Dewi Karenumati ke
negrinya, yaitu Chedi dengan ibu kotanya yang bernama Suktimati. Hanya saja
Brahmana-brahmana, Waisya-waisya dan beberapa penduduk kota Indraprastha, yang
meskipun telah berulang-ulang diminta untuk meninggalkan hutan itu, namun tetap
tidak mau berpisah dengan Pandawa.
(penulis, I Gusti Ngurah Ketut
Sangka, Kerambitan 24 oktober 1964)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar