Sabtu, 21 Januari 2012

PENYAIR, SISYPHUS DAN ARJUNA


Ketika puisi tidak sampai pada pembaca dalam suatu kalimat yang sangat sulit untuk dicerna kita akan mengatakan itu sebuah puisi yang aneh, puisi yang absurd. Maka arah pikiran kita akan berkembang pada makna kata yang kosong dalam pemikiran muluk yang terkadang tidak memberikan daya tarik atau penciptaan absurditas terhadap sesuatu yang membawa makna tak jelas dan kurang berguna untuk dibaca. Baik terhadap dirinya sendiri yang menimbulkan instink sebagai insan yang memiliki rasa seni yang terbawa sikap berkemauan keras untuk dapat mengembalikan tingkah lakunya sebagai manusia yang memiliki tingkah kreatifitas tingkat tinggi yang tidak mandul. Bagaimana kalau kita membaca rangkaian kalimat penuh nuansa keindahan yang sangat menarik bahkan penuh makna yang dalam? Kita melihat makna kata yang dikandung sang pencipta barangkali sangat mudah untuk di mengerti kalangan umum, maka itu menjadi sebuah karya yang sangat menarik dan digemari. Kawan saya pernah menyandang gelar seorang penyair (meski kini tidak dianggap pensiun oleh sementara waktu jeda karena mulai kurang greget) yang pernah menjadi robot dalam kehidupan kepenyairannya. Kemudian dia bersama sama dengan Sysiphus memahami sebuah pendakian terus menerus menggulirkan kebiadaban sebuah batu yang selalu menggelinding tiada henti memberi kesempatan pada kematangan berpikir bahwa segala sesuatu yang senantiasa dia kerjakan hanya sebuah lakon. Obrolan ringan menempuh perjalanan panjang tak bertepi. Teman saya berubah menjadi sysiphus manusia mesin terus menerus menerobos dunia robot yang berkontemplasi dengan tehnologi. Betapa menyedihkan. Drastis sekali perkembangan sajak-sajaknya. Akhirnya dia berkata, saya berupaya menjadi batu dalam gelindingan sysiphus. Sehingga lahirlah sebuah obsesi yang sangat ambisius. Namun secara jumawa saya berani mengatakan entah seorang teman itu adalah diri saya sendiri, atau anda sekalian. Bahkan mungkin kita semua.
            Pada akhirnya ia melanjutkan dunia kepenyairan dalam hunian sebuah institusi perkantoran yang memporak-porandakan kepeduliannya akan waktu, hakekat dari kata-kata bagi dunia penyair yang tidak tembus ruang dan waktu. Dia terprogram dalam laju gerak tuntutan ekonomi yang selalu mematuhi waktu-waktu yang terjadwal ketat dan akhirnya tidak berkutik. Kita semua tahu ruang gerak seorang penyair kian dipersempit bukan hanya oleh mesin-mesin kantor atau sebuah berita BBM yang terus mengungkit sumber kehidupan yang selalu membendung dari arah mana datangnya sebuah ide. Mungkin lahir sebuah sajak mesin dari kehidupan yang menumpangkan berbagai permasalahan pelik yang muncul sebagai pijakan awal dari kehidupan rumah tangganya. Ada beberapa pemikiran Locke dan Smith telah dia terapkan dalam bahasanya sehari-hari. Senantiasa pada saat kebingungan menghadapi mood yang tak kunjung datang dia akan beralih rupa menjadi sesuatu bentuk robot yang beradaptasi (baca:mengabdikan diri) pada kepentingan keluarga walau suara hati nuraninya selaku pelaku seni (seniman) berkata lain. Selalu bersilang pendapat dengan bathinnya. Bersikap dari hati nurani yang dalam untuk menemukan makna dialog yang benar dalam menapsir hasil sebuah karya seni. Itu yang dikatakan Sysiphus muda melawan ikatan kuat melepas bathinnya dari guliran rutinitas. Memang pekerjaan itu menempati urutan yang sangat universal. Sebuah pekerjaan yang mengharuskan terjadwal dengan rutinitas mengikuti prosedur yang diterapkan institusi tempatnya mengais ladang buat kehidupan. Apa yang mendasari seluruh kebudayaan manusia adalah dirinya yang merintis suatu upaya hidup yang lebih realistis. Benar apa yang menjadi pernyataan Locke dan Smith. Dan mari menjadi Sysiphus yang tiada henti mendorong batu itu ke atas bukit, ke atas menara rutinitas dan menunggu bukit itu runtuh dengan sendirinya.
            Namun apakah sosok Sysiphus yang abadi pada abad modern pernah menjadi seorang penyair selain mengisahkan pergulatan bathinya sendiri? Atau dalam sosok dunia pewayangan, pernahkah sosok arjuna dalam pergulatan ilmunya berpikir nikmatnya sebuah sarapan bersama keluarga dan kerabat handai-taulan? Dr Franz Von Magnis pernah mengupas hal ini dengan lugas dan sedikit gamblang diterka. Dikisahkan bagaimana sosok Arjuna dalam kisah pewayangan yang sibuk bertapa, berperang, omong-omong, main-main dengan tidak pernah bertanya darimana Arjuna mendapat nasinya setiap hari, siapa yang memasakkan nasi, siapa yang memanen padi di negerinya yang penuh ladang luas dan seandainya kesibukannya dalam dunia pertapaan dan perang bharata yudha tokoh kita tidak sempat memasak atau sarapan, apakah ada kedai yang menyiapkan sarapan khusus? Serta menu apa yang cocok buatnya. Ini bukan kesalahan sutradara dalam mensiasati naskah. Bukan keharusan seorang dalang dalam merombak sebuah cerita. Pun bukan kealpaan sang pengarang sendiri dalam memaparkan ide-ide.
            Pada akhirnya dunia seni selaku pelaku seni akan selalu melupakan sarapan entah karena berkhayal tentang dunia kata-kata atau sedang bertapa menuai inspirasi buat berkarya hingga lupa untuk makan atau memang tidak ada yang akan dimakan sebelum hasil karya seni ini lahir, akan rela mengorbankan perutnya demi sebuah idealisme seni. Memang kelahiran sang idealisme yang menamakan diri atau mengatas-namakan seniman tulen perlu memancing seorang tokoh yang mengingatkan jadwal kapan kita sebagai manusia yang merasakan arti panas dingin, sehat dan sakit tanpa melepaskan baju kita selaku pegiat seni. Kitapun tidak akan menjadi ekstrim karenanya. Kitapun bukan manusia ajaib setengah dewa ketika masih merasakan keajaiban peristaltik dalam lambung digugat-gugat asam cuka berlebih oleh rasa lapar dahaga bertubi-tubi datangnya  dalam berkesenian. Manakala terlempar pada dunia entah berantah, kitapun bukan Sysiphus muda yang senantiasa menggurat takdir, berani dalam kemandirian meninggalkan segala eksistensi intuisi yang semakin liar melorotkan baju yang disebut robot monoton memalia serta sebagai hewan benalu yang bersifat siluman, untuk berani menghadapi resiko kehidupan lebih frontal. Bahwa dunia seni bak pewayangan bagi sang imajiner macam Arjuna selain berani menanggalkan kebesaran busana pun bisa lebih pekat menghasilkan karya-karya seni dibarengi dengan kualitas seni yang agung. Lebih diimbangi intensitas karya sebagai pelaku seni pula. Maka ia akan memberanikan diri selaku penggugat takdir yang senantiasa menanamkan kegelisahan sepanjang tahun dari waktu ke waktu secara terus menerus.(DGK)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar