Minggu, 22 Januari 2012

W A H


Cerpen : DG. Kumarsana

 
SETIAP dia pulang dari daerah rantau selalu aku disuguhkan cerita-cerita yang hebat tentang dirinya, tentang sesuatu yang dilakukan dan sulit di lakukan oleh beberapa orang di kampung, khususnya diriku untuk ukuran dirinya. Aku tahu dia memang hebat. Sembari mengisap rokok kali ini dia datang ke kamarku yang pengap penuh puntung-puntung rokok di asbak dan beberapa cangkir kosong bekas kopi dari beberapa kawan kampung yang biasa dolan ke kamar. Mulutnya tanpa diminta langsung nyeroscos.
“Rasanya aku telah membuat sejarah baru dalam hidupku. Sesuatu hal kecil yang ternyata mendatangkan hikmah bagi seluruh masyarakat di perkampungan sana. Aku dengar itu.”
“Semuanya?”
“Ya, semuanya. Bahkan apa kelemahan-kelemahan dari mereka yang terucap aku bisa memberikan penilaian.Ini pula yang akan aku kembangkan disini, di kampung kita. Yah, agar mengurangi tingkat pengangguran yang makin tinggi. Ingin aku berkiprah disini, di kampung kita, agar tidak kalah dengan kampung tetangga. Aku mau kampung kita ini maju, tidak ada pengangguran lagi”
Aku mendehem halus.
”Kamu tidak percaya itu?” tanyanya tersinggung.
Aku menghentikan jari-jari tangan  yang sedari tadi menari-nari di atas keyoard. Kuhirup segelas kopi. Memang terasa kopi. Rasanya ingin juga mendengarkan pengalamannya setelah selama ini telingaku terkunci oleh ceritanya yang menarik. Kuambil sebatang rokok, menyalakan pelan. Pelan sekali di bawah tatapan matanya. Aku melihat tatapannya persis seperti tatapan setahun yang lalu saat di kampung ada penjagaan hari raya Nyepi. Karena nyala rokok ini membuat diriku bertemperamen puncak.
Dia tidak tahu itu. Justru kedatangannya mendatangkan cemohan yang sangat tidak bertanggung jawab mengenai diriku.
“he..he…. ternyata kamu menyamakan dirimu sendiri seperti boneka-boneka kemarin yang diarak menuju pembakaran,” dia memulai.
”Agaknya kamu lebih tahu itu,” jawabku tak acuh sambil tetap memandang papan catur yang terhampar di depan. Dalam ketenangan aku merangsak. Bahkan mengambil ancang-ancang buat menjatuhkan posisi lawan.
Dia datang mendekat. Kutahu maksudnya.
”Tahu memang. Dia yang serakah kamu usir dari keserakahan lewat segala macam tetabuhan dan api, tapi kamu seenaknya menggunakan alasan tersebut untuk menikmati kesukaanmu. Kau padamkan api buat pribadimu...”
Aku panas. Kemana arah kata-katanya sudah dapat aku raba. Aku memandang. Dia balas memandang. Aku nyengir setengah masam, dia balas nyengir. Aku kernyitkan alis, diapun melakukan hal yang sama. Lama-lama aku jadi jengkel Kumatikan rokok sambil mematahkan satu persatu rokok dalam bungkus yang belum terisap. Satu persatu di bawah tatapan matanya yang nanar.Kupikir dia akan kaget atau salut dan akan melongo dengan wajah berlagak pilon. Kupikir dia akan segan atau takut dengan wajah pucat pasi dan mata terbelalak ngeri.              
Aku beranjak dari pos penjagaan. Beranjak dari sebuah pukulan telak yang menjatuhkan diriku. Permainan kuhentikan. Sebab aku merasa kalah. Kekalahan semakin jelas setelah kudengar dari cerita-cerita teman sekampung bahwa dia tetap bertahan semalam suntuk dari nyala rokok, nyala api di tubuhnya, dari segala keinginan-keinginan untuk makan dan minum.
Di rumah aku ceritakan pada pacarku, bagaimana emosinya aku dalam kekalahan itu.
”Rasanya aku mengenal dia, memang dia demikian adanya,” aku melongo mendengar komentar pacarku. Lho kok malah jadi sebaliknya? Bukannya aku dibela dan ikut-ikutan membenci dia atau memberi dukungan moril bahwa kekalahanku harus dialihkan dengan hal-hal lain yang tidak mematahkan semangat. Eh, ini malah sebaliknya.Naskah puisi yang tengah aku persiapkan aku buang jauh-jauh. Naskah-naskah yang lain aku remas dan aku buang ke tong sampah. Aku jadi minder. Aku jadi rendah hati dan sebentar lagi aku akan jadi orang sakit hati. Karena orang yang aku cintai dalam hidup ini sudah tidak mempercayai aku lagi. Ah, jangan-jangan dia akan menjadi benci kalau aku ini seorang seniman. Jangan-jangan aku malah jadi penghuni rumah sakit gila, seperti Erik temanku yang over dosis atau seperti Amang teman seperjuangan dalam satu inspirasi yang bolak-balik dikejar-kejar petugas karena sering mengganggu keamanan etika  dan ketertiban umum dengan telanjang bulat membaca sajak di jalan raya.. Ah, aku tidak mau seperti itu. Janganlah sampai separah itu.
”Jangan terlalu melankolis-lah, honey. Ini kenyataan hidup” pacarku membelai wajahku, seolah-olah menyadarkan aku .
”Hidup ini absurd, Ning,:” aku menasehati pacarku. ”Hidup ini kata-kata, Sebuah kalimat yang terjalin indah dan tiap suku kata demi suku kata kita dapat jadikan angin. Kita hidupkan indera kita dengan perasaan yang dalam. Bisa kamu bayangkan berapa banyak orang menjadi bengis karena melupakan kata-kata yang indah. Berapa banyak manusia jadi sadis karena memperkosa kosa-kata yang beradab itu. Dan berapa banyak pembunuhan karena tidak tahu cara bertutur kata. Janganlah semua menjadi dia! Aku tidak setuju itu.” Aku berkata demikian seolah-olah aku ingin membaca hidup, membuka absurditas hidup. Atau aku seolah-oalh ingin membaca pikirannya. Aku lebih setuju dengan feeling sendiri bahwa telah terjadi sesuatu pada dirinya saat kedatngan kawanku dari rantau itu, itu berarti aku lebih yakin bahwa cinta sejati tidak ada di dunia ini. Cinta sejati itu hanya ada dalam cerita pewayangan. Cerita sejati hanya ada dalam komik, dalam novel.
”Iya, tapi hidup ini  harus kita jalani. Hidup ini tetap berjalan dan kita harus tetap makan. Bukan hanya pengertian aja yang kita tanamkan. Bukan hanya kata-kata saja yang kita makan dan bukan hanya omong kosong aja tentang puisi yang kita makan. Kita tidak bisa menjalani hidup cukup hanya dengan budi pekerti saja. Hidup dengan cerita-cerita saja. Kita tidak hidup dengan naskah saja. Hidup itu butuh uang..Aku perjelas lagi: : aku butuh gincu. Aku ingin tampil cantik, memukau dan penuh percaya diri”
”Tapi bagaimana dengan komitmen. Kita harus menjalani....”
”Bukan! Itu pemimpi,” pacarku Ning memotong ucapanku. Aku tercenung dan tidak melanjutkan lagi.Aku jadi memakan komitmen itu sendiri dengan pil pahit. Pil penawar penyakit TBC, atau pil jenis lain semacam penawar malaria yang dikunyah mentah-mentah. Aku jadi teringat teman-temanku. Semuanya sudah jadi orang. Sudah mapan bahkan sudah punya masa depan yang pasti.Ada yang sudah mengembangkan perusahaan, ada yang ke luar negeri , pulang-pulang sukses jadi tenaga TKW dan buka warung makan, buka warung telpon, buka warung pulsa Sudah mampu memenuhi kehidupannya.Apakah sorang penyair tidak punya masa depan? Apakah seorang seniman seperti aku tidak punya masa depan? Aku disini masih bertahan dengan rangkaian kalimat. Dengan kata-kata yang hanpir setiap malam aku susun menjadi sepetak sawah, menjadi bulan, menjadi bintang-bintang di langit, menjadi daun yang bergoyang. Aku jual kata-kata itu ke pasar, aku tawarkan produknya, aku kemas jadi makanan, jadi minuman jadi lembaran ticket, lalu aku berdiri di atas mimbar dan membacanya keras-keras. Lalu aku dibayar....ya aku dibayar. Ya aku menghasilkan. Aku bisa beli buku, bisa jalan-jalan. Bukan, aku menjadi bagian dari kebutuhan pokok. Aku berubah jadi mesin kata-kata. Tapi aku bukan pemimpi. Karena mimpi yang benar adalah bagaimana mewujudkan khayalan itu sehingga menjadi barang dagangan, dan yang pasti impianku selalu ditunggu.Impianku selalu terwujud Apa yang akan kamu tulis? Demikian orang-orang yang mengenalku akan berucap.Dan aku pasti dibayar. Itu berarti aku bukan sampah. Bukan sesuatu yang yang harus dibenci.
Ataukah pacarku benci aku seniman? Aku seorang penyair yang membaca kata-kata dengan keras? Membaca sajak-sajak? Membaca roh yang setiap malam mengukir kata-kata di atas meja?
”Ning, kamu tidak usah khawatir dengan kehidupanmu kelak. Penyair yang miskin seperti aku cukup banyak, kalau kamu masih mencintai kehidupan ataupun seperti kehidupan kawan lamaku itu yang pulang dari tanah rantau dengan ceitanya yang hebat dan segala keberhasilannya di daerah lain, maka saranku: belajarlah merantau dan susuri masa depanmu. Mungkin di daerah lain kehidupanmu akan berubah. Minimal tidak harus bergaul dengan seorang pemimpi seperti aku.. Kalau seandainya masa depanmu suram karena nantinya harus hidup denganku, barangkali bisa kamu pertimbangkan. Karena secara logika tidak mungkinlah orang seperti aku bisa kaya, hidup mewah dengan harta berlimpah hanya dari hasil merangkai kata-kata saja” Aku akhirnya memutuskan berbicara sambil berharap dia akan pergi dari kehidupanku. Toh, kehidupan seorang teman dari rantau dengan ceritanya yang hebat berbekal dengan berbagai proses sengit yang datang-datang membawa cerita sukses di kampung. Tanpa harus menghakimi kehidupanku karena aku dari dulu tetap mencintai duniaku yang sederhana. Bukan apa-apa, karena aku memang malas merantau.
”Kamu mau jadi TKW Ning?”
”Ndak!”
”Kamu mau jadi dokter?”
”Ndak!”
”Kamu mau jadi pengacara?”
”Ndak!”
”Kamu mau jadi bintang sinetron? Jadi peramal? Jadi Pramugari? Jadi....”
”Ndak! Ndak, Ndaaaaaaaak!!!”
”lantas kamu mau jadi apa kalau mau pergi merantau?”
Dia hanya melengos pergi. Aku tidak mendapat jawaban yang pasti.
Setelah itu , setelah beberapa hari percakapan yang cukup sengit ,di kampung ini aku tidak melihat temanku yang pulang dari tanah rantau. Setelah itu aku tidak melihat pacarku ”Ning” lagi.Aku tidak melihat bayangan mereka. Pelan-pelan aku ingin melupakan mereka.
Beberapa bulan kemudian aku membaca  sebuah harian berita kota, seseorang yang mengaku ibu muda, tepatnya seorang gadis berinitial ”N” kedapatan membuang jabang bayinya dalam got. Selang beberapa hari dari berita di Koran Ning muncul di kampung dengan bergincu tebal dan bekaca mata hitam lagi dikerumuni para gadis di kampung  tengah asyik menceritakan pengalamannya di rantau.

                                                    
                                                          

Tidak ada komentar:

Posting Komentar