Minggu, 22 Januari 2012

PUJANGGA MILLENNIUM


Seseorang yang menamakan dirinya sendiri sebagai sosok sang pujangga millennium tak segampang itu memperoleh pengakuan. Memang tidak gampang menjadi pamor. Ibaratkan memegang satu tanggung jawab. Maka seolah-olah tugas itu terasa membelenggu, mengikat. Tulisan sudah tidak dapat lagi berbentuk panutan ide yang selama ini demikian mudah dia refleksikan, sudah punah angan. Imajinasiku telah mati, hanya hiasan kata yang ada di batok kepala yang nantinya jelas tidak bakal tertuang. Bayangkan itu. Secara drastis proses kreatifnya menunjukan grafik menurun.
            Sang pujangga millennium berlari-lari kecil dari kehidupan, menguak keterbatasan gerak dari keterlibatannya dalam proporsi masalah yang relevan dengan sanubari. Ia berkicau tak karuan tentang tuntas kehidupan yang mesti diisi dengan kerutinan belaka yang sudah merupakan aturan permainan dimana prosedurnya harus dipatuhi. Prosedur apa? Ia tidak tahu dan tidak mau tahu sedikitpun tidak memusingkan. Hanya ia ingat kapan tangan-tangan kasap membuat aturan-aturan tersebut. Sebut saja dogma kecil. Aturannya yang terkendali disaat penghabisannya nanti akan terlanggar juga oleh aturan-aturan yang baru. Aturan-aturan lebih menusiawi, lebih up to date. Sementara aturan-aturan yang lama terinjak-injak begitu saja, digigit, dilumat habis-habisan oleh tangan kasap semula yang memulai aturan permainan, membuang hajat di atas kepala, di atas ubun-ubun yang suci dan sangat disucikan agamanya, menyanggul kemana-mana, menyundul di atas gundul berbau kekonyolan dan sekaligus meludah ke atas.
            Budaya yang dituntun sang pujangga millennium dalam keterbatasan kerjanya, sepertinya kalau dikatakan mulai melemah, bahkan kering tanpa adanya berbagai motivasi-motivasi dari angan yang sehat. Sang pujangga millenium sehat dalam posisi bagaimana seharusnya tubuh dalam artian sehat jasmani tentukan untuk dapat bertindak atau sehat jasmani lepas kontrol tanpa kendali. Nah, tanpa kendali ia akan berjalan dalam kurun budaya yang konstektual. Yang ribut biarlah ribut. Ini sebuah tanggung jawab. Menjaga perbawa dari leluhur, dedengkot seniman, supaya muka tidak tercoreng. Entah lahir dari dunia kampiun, dunia plagiat, sang pujangga millennium menuduh terlalu ngawur. Barangkali saja. Perbawa yang bagaimana? Supaya tidak dimutasi dalam kultur budaya yang kere? Lebih barangkali lagi.
            He..he..he.. sang pujangga millennium ikut-ikut dalam situasi budaya kekinian. Dalam perombakan yang katanya lewat pujangga angkatan millennium terlepas dari karya yang dianggap bermutu. Sebuah hasil karya seni yang gombal. Mungkin saja. Sang pujangga millennium merasa ke-barangkalian, suatu posisi kemungkinan yang lain peradaban yang lebih baik. Mutasi untung-untungan dengan dengan melupakan segala ikatan, tata tertib garis ketergantungan.
            Sang pujangga millennium baru saja mengenal kata-kata. Di hadapan sebuah hasil karya seni, ia seolah-olah masih merasa seorang bayi yang masih menetek. Ibu sang kata lari pada intelektual yang menyala-nyala. Berupa kodrat yang harus dan sudah merupakan jalan terjadwal, berupa perundingan nasib yang bisa lembut buat bergayut oleh gubahan pikir imajinasi di bawah kata, di bawah koma, di bawah logika pengevaluasian, berupa malaikat ending, topic, sponsor sampai head line segala, berupa kamus, berupa wesel, berupa naskah, berupa kata-kata yang terlambat mati, berupa cacat jasmani yang hanya mampu menangisi karya yang telah diserobot dan tidak dapat dilakukan olehnya, berupa koma, berupa titik, berupa definisinya sendiri selaku sebutan sang pujangga.
            Sang pujangga millennium merupakan benda jamak yang karena dosa melahirkan fisik baik sehat atau kadang-kadang sakit dalam dua kelamin. Adam yang positip, Hawa yang negatip. Proton dan Neutron. Im dan Yang. Sang pujangga millennium melahirkan ahli pikir, Ahli pendobrak, ahli pemberontak, ahli pembuat bom hingga Kuta dan sekitarnya sempat berantakan, luluh lantak, hingga pariwisata hancur hingga orang-orang kehilangan pekerjaan, kehilangan keluarga dan banyak yang kehilangan masa depan. Sang pujangga millennium melahirkan ahli pengacau, ahli penyumbat, ahli mendefinisikan sesuatu tindakan dan ahli-ahlinya semua. Sang pujangga millennium telanjang bulat tanpa busana sutera, tanpa mahkota gelung tanpa sastra, tanpa kata-kata sekaligus tanpa tanggung jawab yang mengikat berdiri dan tercenung di rimba selaku sang pujangga millennium yang punya keterbatasan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar