Senin, 23 Januari 2012

Senggeger jaran guyang (5)


Sebuah novel
DG Kumarsana



Rina yakin lelaki itu tidak mampu mencerna tiga keinginan yang dia ungkapkan. Semudah itukah haji Saidi membalikkan kata-katanya sendiri? Padahal barusan lelaki itu menceritakan tentang kejelekan istrinya sendiri. Barusan dia meminta saran padanya bagaimana caranya untuk mengenyahkan istrinya yang dianggap selalu menjengkelkan. Lelaki itu menanyakan, entah merupakan pertanyaan pancingan dengan mengatakan dimana bisa di tunjukkan orang pintar. Haji Saidi ingin membunuh istrinya sendiri.
”Kalau bisa saya ingin memberikan racun dalam makanannya, dik. Biar langsung meninggal.” Itu kata-kata yang dia keluarkan barusan. Oh, sadis sekali! Dan sekarang semudah itu dia mengatakan untuk menyanggupi tiga hal yang Rina inginkan. Akankah seseorang yang punya rencana jahat ingin membunuh istrinya sendiri secara tiba-tiba pada wanita lain berkata berbeda untuk menyanggupi menyayangi, menghargai apalagi akan melindungi?
”Itu sih sangat mudah sekali, dik” lagi dia dengar suara lelaki itu.
”Mudah? Bukankah barusan pak haji mengatakan padaku merencanakan akan membunuh istri pak haji sendiri?” Rina membalikkan ucapan laki-laki itu.
Tak terdengar suara di seberang. Barangkali kaget mendengar ucapan Rina yang tiba-tiba datangnya. Menghujam bagaikan belati.
”Seandainya nanti aku harus memilih pak haji sebagai suami, terus kalau pak haji sudah bosan, aku yakin pak haji akan memperlakukan hal yang sama seperti istri-istri pak haji sebelumnya. Kamu pasti akan membunuhku juga ’kan? ”
”Ah, tidak mungkin itu dik” Suara lelaki itu terdengar kacau.
”Aku berada di sini atas kehendakku. Biarkan aku menemukan jati diriku di sini sebelum menentukan pilihan, mana orang-orang yang bisa dipercaya. Untuk saat ini aku tidak bisa mempercayai siapa-siapa. Suami sendiripun belum bisa aku percaya. Entah siapa yang benar dalam hal ini, aku belum tahu. Aku belum siap untuk kembali sebelum mengetahui siapa sesungguhnya yang bisa aku percaya!”
”Pulanglah dik, nanti aku jemput. Ayu sedang sakit, sekarang sedang opname di rumah sakit. Tengoklah dia. Dia mengiggau dan sangat merindukan kehadiranmu,” sekali lagi laki-laki itu memohon dengan memperalat pikiran Rina melalui anaknya Ayu yang diketahui hubungannya sangat dekat dengannya. Selalu saja Ayu dimanfaatkan sebagai senjata untuk melemahkan pertahanan Rina yang rapuh. Karena gadis kecil itu demikian akrab dengannya sewaktu dia masih dalam pengaruh senggeger. Dan berulang kali lelaki itu selalu menyebut-nyebut nama anaknya yang ke dua.
Rina mengernyitkan alisnya yang berbentuk indah. Bak burung camar melintas. Lama-lama kesal dengan kecengengan ini. Telinganya jadi gatal oleh celoteh haji Saidi yang memuakkan.
”Ayu? Hmmm... apa hubungannya denganku. Mamanya ’kan masih ada? Ada yang lebih berhak mengurus hidupnya. Bukan aku?! Aku juga punya anak yang selama ini telah kutelantarkan kebahagiaannya. Aku lebih berhak buat anak-anakku. Urus sendiri anakmu  pak haji!” desis Rina tajam memberi jarak.
Ketika sudah mulai suntuk dalam aktifitas ashram, pernah nama anak itu disebut-sebut. Dalam masa transisi proses pengobatan sedang berlangsung, terlebih di tempat yang terisolir ini sempat Rina terpengaruh dan menghubungi mbak Widia, menyarankan temannya untuk mewakili menengok anak itu. Kata haji Saidi anaknya lagi opname di rumah sakit. Entah ini cerita sungguhan atau hanya rekayasanya orang itu.
” Hati-hati gek. Biasanya orang yang berperawakan pendek itu banyak akalnya. Bli perhatikan sekilas matanya seperti menyembunyikan kelicikan.” Pernah Rina diingatkan dengan kata-kata demikian oleh suaminya.
Mbak Widia ini adalah tetangga dekatnya yang sama-sama satu profesi sebagai pengusaha salon dan juga bergerak dalam kegiatan lembaga pelatihan kursus kecantikan, seperti yang dia kerjakan. Mbak Widia inilah orang ke dua setelah suaminya mengatakan hal yang sama mengenai kejadian yang menimpa dirinya. Mbak Widia memiliki pehatian yang sangat besar menyangkut hidupnya yang dilanda kemelut. Ia begitu kasihan melihat apa yang tengah menimpa dirinya. Indranya yang ke enam memang agak tajam mengamati apa yang sedang dialaminya. Mbak Widia masih berdarah bangsawan keturunan brahmana. Orang pertama yang mengatakan dirinya kena pelet, tidak dia percayai sama sekali. Rina sudah tidak mempercayai kata-kata suaminya sendiri. Entah kenapa bisa begitu. Begitu hebatnya pengaruh haji Saidi dalam senggegernya hingga sangat kuat mempengaruhi hidupnya untuk melupakan suaminya sendiri.
Ketika mbak Widia mengatakan hal yang sama persis seperti apa yang pernah dikatakan suaminya tentang senggeger, ada sedikit dorongan yang muncul dari dalam dirinya sendiri untuk mencari penyembuhan. Rina ingat satu tempat yang pernah ditunjukkan seseorang tentang sebuah ashram di daerah Karangasem, Bali. Rina mengemukakan itu kepada temannya. Ada niat untuk mengunjungi tempat itu. Namun rencana itu dia undurkan berhubung masih menunggu persalinan adik iparnya yang menjadi tanggung jawabnya mengenai pembiayaan. Setelah itu mungkin rencananya akan merayakan hari ulang tahunnya haji Saidi, karena Rina diharapkan untuk hadir menemani harinya yang sangat spesial. Namun dorongan mbak Widia lebih kuat memaksakan dirinya untuk bergegas melakukan pengobatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar