Sabtu, 21 Januari 2012

SUATU KETIKA , AYU


Cerpen : DG. Kumarsana

 
Suatu ketika, Ayu. Barangkali nanti akan aku tunjukan kamu seorang gadis impian, sosok seindah matamu yang akan memberikan keinginan-keinginan, kesan-kesan ataupun sikap untuk bersaing, menyaingi keberadaanmu atau bahkan dalam kehadirannya nanti mungkin dia akan bisa melebihi dirimu, ya, suatu ketika........” Bolang bicara pelan. Matanya memandang lurus dan jauh. Ayu, gadis yang duduk di sebelahnya berusaha bersikap tenang namun mendesah pelan sambil tetap memakan bakso kesukaannya. Mengunyah pelan-pelan lalu memandang Bolang trenyuh.
            ”Akan kupamerkan di depan matamu dan akan kuperlihatkan betapa aku masih punya harga di depan gadis-gadis lain, selain dirimu.”
            Ayu mulai memandang dengan tatapan sengit. Tidak biasanya Bolang bersikap begini, pikirnya. Ingin ia berteriak, namun dia tahu semua itu tidak akan mendapat tanggapan serius dari laki-laki yang selama ini dikaguminya. Ia melihat bola mata pemuda di hadapannya begitu kosong dan pandangannya tidak lagi memberikan keteduhan yang berarti baginya. Sesungguhnya dari cara memandang pemuda itu terasa sedikit menyakitkan perasaan.
            ”Lalu akan kuperkenalkan kepada ayah dan ibumu, kepada adik-adikmu, kepada semua keluargamu, kepada siapa saja yang ada di rumahmu, bahkan juga kepada tetangga-tetanggamu....” masih tetap Bolang dengan bicaranya yang santai seolah-olah menganggap gadis di depannya hanya sepasang telinga yang tidak berarti, telinga yang mendengarkan suatu kebiasaan yang wajar dari omongan-omongannya, atau seperti santapan  sebuah dendang irama lagu buat pendengar yang bersiap-siap untuk tidur memasuki alam mimpi atau barangkali tak ubahnya seperti kebiasaan-kebiasaan rutin yang menyuguhkan hidangan makan bersama dalam suatu keluarga yang ikhlas menyantap semua suguhan dengan tanpa takut-takut dan malu untuk sebuah kesan perut yang lapar.
            Ayu menahan sebutir bakso yang sudah berada di sendoknya untuk siap dimasukkan ke dalam mulutnya, memandang pemuda itu lebih tajam seakan-akan tidak mempercayai semua kata-kata yang keluar dari mulut Bolang.
            ”kamu lagi berkelakar, Lang. Kamu lagi berkelakar ya? Kamu hanya main-main khan?” Ayu dalam kebiasaannya, dalam keakrabannya memanggil begitu saja nama pemuda itu, berusaha menutupi perasaannya yang kacau. “Itu kan hanya sebagian kecil dari cerita konyolmu yang tak pernah benar, karena sesungguhnya aku telah mengenal dirimu, kamu hanya mencari bahan pembicaraan lain karena aku tahu kamu suka bicara yang aneh-aneh.”
            “Keliru besar, nona manis. Sangat keliru malah !” spontan Bolang menangkis ucapan itu sambil memegang gelas yang berisi kopi yang baginya terasa manis. Dia berhenti sejenak untuk meneguk dengan sepenuh perasaan. ”Kalau aku kekurangan bahan pembicaraan akan lebih baik untuk diam menahan bicara. Aku selalu menyukai kebiasaan-kebiasaan yang tak baik dan sayang sekali kamu menyukai orang seperti aku, dengan kata lain itu berarti kamu telah menyukai semua kebiasaanku. Semua ceritaku. Hanya patut disayangkan, semua ceritaku itu akhirnya akan menjadi tidak baik buatmu yang akhirnya juga akan berpengaruh besar terhadap nilai-nilai pelajaranmu di sekolah.”
            ”Tidak!”
            ”Ah, kamu!!. Kemarin kulihat nilai pelajaran bahasa Indonesiamu merosot jauh. Apa buktinya itu,tidak ? Lagi-lagi tidak? Kenyataannya kalau kamu masih harus memerlukan latihan yang lebih serius lagi untuk menjadi seorang pendengar yang baik. Tahu maksudku? Mendengarkan omongan-omongan yang baik dari seseorang, termasuk aku, akan memberikan nilai yang baik buat pelajaranmu di sekolah.”
            ”Tapi selama ini kan sudah. Sudah!!” Ayu menjadi sengit.
            ”Sudah memang, tapi kamu lebih senang mendengar cerita-cerita sosok  pribadi yang bergelimangan jubah elite di sekitarmu, menurut nilai kehebatanmu sendiri. Padahal semuanya itu hanya pribadi yang nol besar. Apa itu? Sementara kamu tutup telinga buat omongan-omonganku, dengan mencari-cari alasan. Selalu saja kamu punya alasan tepat sampai akhirnya kamu kamu beralasan mematikan pembicaraanku dengan tadak mau tahu sejauh mana pengertianmu, pengertian yang kupupuk selama ini, pengertian orang yang bernama Bolang, sejauh mana?! Sejauh kebohongan-kebohongan yang tak mampu dan jelas terlihat di mataku? Dan kamu akan tetap memperlakukan aku sedemikian rendah?”
            ”Kamu ini bicara apa? Yang rendah siapa? Siapaaaa…..!!?” Ayu berteriak. Kedua tangannya yang putih menggoncang-goncangkan bahu Bolang. Bolang tetap diam. Pelayan rumah makan yang sedari tadi duduk pada jarak belasan meja yang kosong pengunjung masih mampu mendengar triakan Ayu, terbukti dari pandangan matanya yang mengandung keheranan, namun lebih baik baginya untuk mengerjakan tugasnya yang belum rampung. Masih ada beberapa orang yang dating. Kelenggangan meja makan yang tersedia disana belum mengisi kegaduhan yang diam-diam dilakukan Bolang maupun Ayu.
            Bolang tetap Bolang, yang selalu acuh tak acuh, yang selalu memberikan peluang buat merah muka Ayu karena marah akan kata-katanya yang bagi gadis itu terasa demikian tajam dan sangat menusuk perasaan.
            Bolang menyalakan rokok yang kesekian dan menyimpan batang korek api yang sudah tidak terpakai lagi diantara lepitan puntung-puntung rokok lain dalam dalam asbak sarat dengan abu rokoknya sendiri.Menyedot dan menghembuskan, membentuk lingkaran-lingkaran asap putih, bermain-main di atas kepala gadis itu.
            “Kamu sedang mengigau, lang,” Ayu bicara pelan. Matanya mulai kabur. “ Apa yang sedang kamu bicarakan? Apa?”
            Bolang menghirup kopi di atas meja. Tak begitu hirau, demikian tenangnya, sampai gadis itu tidak tahu bahwa dadanya bergetar melihat melihat mata bening yang berair membentuk pecahan-pecahan kaca. Dia agak lama diam, namun tidak terlalu lama bagi Ayu untuk menunggu jawaban itu.
            ”Sederhana sekali.”
            ”Sederhana bagimana?”
            ”Tentang Fajar.”
            Ayu tersentak.
            Bolang mengangguk lalu tersenyum.
            ”Ah, lagi-lagi kamu menyinggung hal itu. Bosan aku. Apa tidak ada cerita lain selain Fajar?Apa harus aku jelaskan lagi kalau dia itu saudaraku, seorang kakak yang mesti menjaga adiknya. Memperhatikan, melindungi. Dia itu saudaraku, Lang.”
            ”Aku tahu itu. Tidak usah kamu jelaskan lagi, aku sudah tahu. Dia memang saudaramu, dia kakakmu, seorang kakak yang baru kemarin kamu temukan dalam lingkaran hidupmu dan akan kamu katakan itu lagi tentang kakak yang sering datang ke rumahmu membawakan segala macam bingkisan yang berarti buatmu, seorang kakak yang sering menemani jalan-jalan, mengajak nonton bersama sampai harus mengikis habis hari-hariku disini, sampai harus aku katakan bahwa demikian sempit dan mulai tersisihnya aku dalam lingkaran hidupmu. Katakanlah bahwa tidak selalu pergi mesti ditemani pacar dan aku tidak perlu semua itu lagi.”
            ”Salahkah itu? Salahkah kalau seorang adik harus bepergian dengan kakaknya sendiri?”
            ”Tidak! Aku malah kagum akan nilai keakraban yang tercipta antara seorang kakak dan adik , namun sayang sekali kalau kamu lupakan, bahwa kamu masih punya satu mahluk lagi yang bernama Bolang.”
            ”Kamu salah, Lang. Justru aku selalu tetap memberikan kesempatan buat kehadiranmu yang terlalu pribadi sekali sifatnya bagiku yang tidak harus diketahui Fajar sekalipun.”
            ”Kamu berusaha berbohong lagi di hadapanku. Fajar sudah menjadi lain di hatimu. Fajar bukan lagi seorang kakak, sebaliknya malah secara sedikit demi sedikit Fajar telah menjadi pribadi yang sama kedudukannya denganku, yang bahkan pula akan mampu menggeser keadaanku dan itu mesti kamu akui. Jangan bohong!”
            Ayu diam. Tak mampu bersuara lagi.
            Bolang kembali menyedot rokoknya kuat-kuat. Matanya memperhatikan gadis di depannya. Ayu hanya menunduk, tidak menyentuh bakso kesukaannya yang terhidang di atas meja. Siaran dunia dalam berita yang ditayangkan TV di ruangan itu tidak menarik perhatian mereka. Lama tidak ada suara. Pemuda itu kian asyik dengan permainan asap rokoknya, sementara gadis itu tetap menunduk. Jari tangannya mempermainkan lap meja makan. Akhirnya Bolang memecahkan kebisuan itu, memulai dengan suatu dialog manis sekaligus penutup.
            ”Aku sudah mengerti semuanya itu. Yu, jangan kamu tutup-tutupi lagi. Aku bukan orang yang baru kemarin kamu temukan dalam hidupmu.Dua tahun kurasa sudah cukup untuk memahami perasaanmu dan sekaligus apa yang bergolak dalam sikapmu, terlebih akhir-akhir ini. Cukup sudah bagiku.Kurasa segalanya cukup jelas.”
            Ayu tetap mempermainkan lap meja makan itu, menghubungkan antara ujung satu dengan ujung yang lainnya. Lalu-lalang orang-orang di jalan tak begitu menarik perhatian mereka lagi. Malam itu dirasakan Ayu begitu dingin, tak ada lagi lengan yang memegang mesra bahunya. Perjalanan ini dirasakan begitu panjang dan jauh, ia merasa berjalan sendiri ,tanpa ditemani Bolang. Laki-laki di sampingnya lebih tenang dan senang berjalan dengan melipat lengannya, memeluk bahunya sendiri, tak ada lengan kekar yang mesti digayuti Ayu, lengan itu terasa asing baginya. Bola matanya kian membentuk bongkahan-bongkahan kristal basah. Jalan yang dilihat mulai kabur, airmatanya meleleh jatuh di atas pipinya.
            ”Dingin, ya?”
            Ayu seolah-olah tidak mendengar pertanyaan itu. Bolang tenang-tenang saja pergi meninggalkan rumah gadis itu, melupakan semua kata-kata yang pernah diucapkan, melupakan semua sikap yang pernah diberikan buat gadis itu.Ia pernah merasakan sakit, suatu perasaan yang membuatnya nelangsa. Setahun yang lalu begitu mengetahui apa yang terjadi belakangan ini tentang cerita Ayu. Semula iapun tidak begitu percaya akan apa yang pernah ia dengar ataupun yang pernah diceritakan teman-temannya. Namun ia mesti percaya. Ia melihat langsung, setelah malam minggu terakhir tidak ada yang menunggu  kehadirannya, setelah melihat catatan-catatan kecil yang pernah diberikan pada gadis itu kedapatan ada tulisan lain, tentang sebuah janji pertemuan, sebuah kalimat yang melemparkan dia sekaligus membuang jauh dari keadaan yang sebenarnya, kalimat yang bukan hasil tangannya sendiri. Sekarang Bolang mulai merasa tenang sendiri, senyum sendiri dan puas sendiri, yang kepuasannya itupun akhirnya harus ditebus dengan berita yang sangat mengejutkan. Ia merasa terkecoh. Gadis yang ia kenal begitu lugu dan kekanak-kanakan telah bersama seseorang. Seseorang yang tak eprnah terlibat dalam pembicaraan mereka selama tahun-tahun terakhir ini.
            “Kupikir aku tak mesti memperkenalkan semuanya itu kepada ayah dan ibumu, kepada adik-adikmu, kepada semua keluargamu, kepada siapa saja yang ada di rumahmu, bahkan juga kepada tetangga-tetanggamu, sebagaimana ucapanmu dulu, Bolangku. Kupikir semuanya memang harus terjadi, kupikir suatu ketika………..” Bolang tak berhasil menyelesaikan membaca surat terakhir yang dia terima dari gadis itu. Dadanya terasa sesak. Asap nikotin yang selama bertahun-tahun simpang siur di rongga pernapasannya kini membiak dan mulai menunjukkan kemarahannya.Ada rasa sakit menyelinap dalam hatinya setelah ia mengetahui gadis itu ditemani seseorang. Bukan Fajar. Seseorang yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya bahkan lebih jelek dari apa yang pernah ia bayangkan.
            Bolang benar-benar merasa terkecoh oleh ucapannya sendiri.



                                                                                  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar