Minggu, 18 November 2012

PURNAMAMU LURUH DENPASAR



Purnama di atas ketinggian Catur muka
meluruh dalam waktu tak berbatas waktu
angin berpasang pasang memainkan tarian sepasang
bercengkerama dalam asap habis terbakar nyala diammu
ketinggian
bukan waktu yang tepat dalam kecemasan
dan prasangka
bukan sesuatu yang kita pahami sebagai rasa
menghuni jiwa
serta keinginan
bukan penghabisan untuk meresapi doa
            sekali waktu melintas dokar tanpa penumpang

purnama luruh di atas kotamu, warna warni indah
dalam keriuhan cahaya menghujam asap asap dupa
beterbangan
            : masih ada Jagatnatha, masih ada karmaphala diniatkan
denting genta sesaat merayapi pendengaran
rimba di sela sela kegelapan pephononan beton meretas cahaya
menikam daun daun jatuh
berguguran
purnama luruh di kotamu, di sekujur ranting ranting berbeton
lelap dalam riuh jalanan bergelayut bagai kera-kera lapar
tertelan dalam berbagai cahaya neonsign reklame dan plank plank
tak ubah plankton warna warni menjamur pada setiap sudut trotoar

purnamamu luruh Denpasar
matamu lesu
            sekali waktu wanita wanita malam bergelayut
            bergantung napasmu, jalan jalan sepanjang pasar membuka pagi
mengerak aspal ditindih asap knalpot
waktu menghitam dalam semalam tak memberi jarak matahari
singgahi atas tanahku
kotaku

purnamamu luruh Denpasar
sinar menghambat dedaunan, terhambat akar akar pohon berbeton
bias cahaya
bayang bayangnya jatuh ke tanah mengganti pohon pohon yang mulai hilang bentuk
dan di siang yang panas, cuaca bergantung pada satu peristiwa
mengikuti hiruk kota yang lebih bising dari riuhnya cahaya di malam hari
pelatuk ditarik
tidak ada jam yang tidur

denpasar, 28 maret 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar