Jumlah ini sama dengan tahun
sebelumnya, ditulis oléh tujuh pengarang. Karya-karya tersebut adalah roman
réligi Dr. Ratini dan Ngrestiti Ati karya Nyoman Manda; Sentana (roman) dan Méong
Garong (kumpulan sajak) karya Madé Sugianto; Bégal (cerita péndék) karya IDK
Raka Kusuma; Gancaran Mersun (cerita péndék) karya Wayan Paing, dan Mekel Paris
(cerita péndék) karya IBW Kenitén. Dua lagi merupakan kumpulan puisi yaitu Léak
Kota Pala karya IGP Samar Gantang dan Kabinét Ngejengit karya DG Kumarsana.
Sesuai permintaan pengarangnya,
kedua karya Nyoman Manda tidak dinilai untuk mendapat Hadiah Sastera “Rancagé”
2013. Nyoman Manda pernah mendapat hadiah “Rancagé” tiga kali, satu untuk jasa
(1998), dua untuk karya (2003 dan 208). Beliau memberikan kesempatan kepada
sastrawan muda Bali untuk memperoléh Hadiah “Rancagé”.
Roman péndék Sentana karya I Madé
Sugianto mengisahkan percintaan dua remaja berbéda kasta. Tokoh laki-laki,
Kadek Subhakti, dari kastra rendah (jaba), sedang Ida Ayu Déwi Anjani berkasta
tinggi (brahmana). Ketika Dayu hamil, dia dilarang menikah oléh keluarganya
karena perbédaan kasta. Konflik terjadi sehingga Dayu mau bunuh diri. Upaya
bunuh diri bisa dicegah. Tapi pada akhir cerita, Dayu yang hendak dijodohkan
dengan saudaranya yang kastanya sama, tiba-tiba menghilang.
Téma konflik kasta banyak diangkat
sasterawan Bali sejak 1920-an sampai sekarang. Kelebihan karya Madé Sugianto
ini ialah karena dia memasukkan gagasan pernikahan pada gelahang (saling
memiliki), yakni kombinasi patrilinéal dan matrilinéal dengan tujuan akhir
berbagi sentana (keturunan). Gagasan pada gelahang déwasa ini banyak dibahas di
Bali sebagai solusi bagi keluarga yang sama-sama mempunyai anak tunggal yang diharapkan
jadi penerus keturunan. Roman Madé Sugianto termasuk karya awal yang
menjadikannya sebagai téma sastera.
Tidak Rampung
Dilukiskan dalam bahasa yang lancar, penuh métafora dan kias-kias indah dalam bahasa Bali, roman péndék ini sesuai sebagai bacaan remaja, umpan baik guna mendekatkan remaja kepada sastera Bali modéren. Walau akhir cerita terasa tidak rampung, karena Dayu tidak ada di kamarnya, entah ke mana, namun jelas roman péndék ini berhasil memperkaya wacana publik tentang persoalan kasta dan solusi pernikahan saling memiliki, pada gelahang.
Dilukiskan dalam bahasa yang lancar, penuh métafora dan kias-kias indah dalam bahasa Bali, roman péndék ini sesuai sebagai bacaan remaja, umpan baik guna mendekatkan remaja kepada sastera Bali modéren. Walau akhir cerita terasa tidak rampung, karena Dayu tidak ada di kamarnya, entah ke mana, namun jelas roman péndék ini berhasil memperkaya wacana publik tentang persoalan kasta dan solusi pernikahan saling memiliki, pada gelahang.
Kedua belas cerita péndék karya IBW
Kenitén yang dimuat dalam Mekel Paris tokoh-tokoh utamanya orang asing seperti
wanita Paris, lelaki Belanda, pria Amérika dan wanita New Zealand. Nama tokoh
utama itu dijadikan judul cerita.
Latar belakang meréka beragam. Ada
yang peneliti, ada wisatawan yang jatuh cinta dan tinggal di Bali.
Tidak semua berakhir dengan bahagia,
seperti kisah pernikahan Mekel Paris dengan Ida Bagus Rai. Meréka saling
mencintai. Mekel Paris yang bernama asli Christina tekun belajar bahasa, budaya
dan adat Bali. Tapi karena pernikahannya tidak memberikan keturunan, maka Ida
Bagus Rai disuruh oléh orangtuanya yang menjadi pendéta menikah dengan gadis
lain untuk memastikan ada keturunan sebagai pendéta.
Cerita-cerita yang dimuat dalam
Bégal karya IDK Kusuma mengangkat berbagai téma kompléksitas kehidupan manusia
baik di pedésaan maupun di perkotaan yang menggiring orang untuk melakukan
tindakan kriminal. Dalam “Bégal” tokohnya terpaksa menjadi perampok sebagai
cara balas dendam kepada lelaki yang tak mau mengakuinya sabagai anak; dalam
“Bui” diceritakan konflik individu yang diwarnai ketegangan sosial politik dan
berujung dengan kekerasan. Ceritanya péndék-péndék dengan perkecualian satu-dua
alur kilas baik, kebanyakan alur liniér.
Gancaran Mersun karya Wayan Paing,
memuat cerita-cerita yang punya kekhasan lain yaitu judul ceritanya terdiri
dari satu dua kata, seperti “Bini”, “Redite”, “Mersun” dll. Kebanyakan kisahnya
terjadi di pedésaan, suasana kekerabatan yang sedang mengalami perubahan karena
kemajuan zaman. Kelemahannya terdapat pada struktur yang lebih dekat kepada
ésai atau skétsa kehidupan, kurang kuat sebagai cerita.
Kumpulan puisi Léak Kota Pala karya
IGP Samar Gantang memuat 48 sajak yang terutama bertéma “sétan” yang seperti
mantra, penuh dengan éksprési anéh, tujuannya menimbulkan kesan magis dan
sesekali ironis menimbulkan tawa. Di samping itu ada juga yang berupa kritik
sosial seperti “Sundel Tanah” yang melukiskan kekecéwaan publik karena daérah
agraris berubah menjadi hutan beton karena tanahnya habis dijual.
Sajak-sajak yang dimuat dalam
Kabinét Ngelengit karya DG Kumarsana terutama merupakan kritik yang ditujukan
kepada aparat culas, penipu, mengatasnamakan rakyat tapi hanya menguntungkan
diri sendiri. Dalam “Kabinét Ngejengit 3” misalnya diungkapkan bagaimana tokoh
Sengkuni yang culas berganti perangai menjadi ksatria, memuji penguasa agar
dapat kedudukan.
Sajak-sajak DG Kumarsana cukup
padat, menggunakan dengan baik mitos-mitos dan tokoh dunia pewayangan untuk
mengartikulasikan sindiran.
Sajak-sajak Madé Sugianto yang
dimuat dalam Méong Garong mempunyai pola persajakan dengan akhir bunyi berirama
yang kedengaran indah. Témanya tentang cinta, keindahan, spiritulitas dan juga
kritk sosial. Ada yang berjudul “Makelar Kasus” yang mengasosiasikan pembaca
kepada Gayus (gayas gayus mamuncak markus). Yang menjadi soal ialah karena
fokus Madé Sugianto pada persamaan bunyi akhir baris, maka kemampuannya untuk
mendédah téma kadang terhambat, sering menjadi kurang dalam.
Kekinian
Setelah dipertimbangkan dengan mendalam maka yang terpilih untuk mendapat Hadiah Sastera “Rancagé” sastera Bali 2013 buat karya adalah Sentana, roman péndék karya I Madé Sugianto terbitan Pustaka Eksprési.
Setelah dipertimbangkan dengan mendalam maka yang terpilih untuk mendapat Hadiah Sastera “Rancagé” sastera Bali 2013 buat karya adalah Sentana, roman péndék karya I Madé Sugianto terbitan Pustaka Eksprési.
I Madé Sugianto pernah mendapat
Hadiah Sastera “Rancagé” sastera Bali untuk jasa tahun 2012. Kepadanya akan
diserahkan Hadiah Sastera “Rancagé” 2013 sastera Bali untuk karya berupa piagam
dan uang (Rp 5 juta).
Sedangkan Hadiah Sastera “Rancagé”
sastera Bali untuk jasa tahun 2013 karena jasanya mengembangkan bahasa dan
sastera Bali dihaturkan kepada I Nyoman Suprapta kelahiran Dénpasar 11 Novémber
1962.
I Nyoman Suprapta pernah bekerja
sebagai guru agama (1981-1997). Namun, Suprapta kini memusatkan perhatian pada
penulisan karya puisi tradisional Bali jenis geguritan. Sejak 2000 sampai
sekarang, Suprapta sudah menulis 100 judul geguritan, 80 di antaranya sudah
diterbitkan sebagai buku dalam seri ‘Pustaka Gita Santi’ (buku nyanyian suci)
dengan judul tambahan ‘tuntutan ngartos geguritan’ (pedoman mengartikan
geguritan).
Buku yang sudah diterbitkan antara
lain Geguritan Maya Danawa, Geguritan Watugunung, Geguritan Siwaratri,
Geguritan Pancadatu, Geguritan Dalem Balingkang, dan Geguritan Putra Sesana.
Inti cerita geguritan-geguritan itu diambil dari kisah-kisah yang sudah dikenal
masyarakat baik dalam tradisi lisan maupun berupa téks klasik.
Selain menggubah kisah-kisah yang
sudah ada, Suprapta juga menulis geguritan bertéma baru seperti Geguritan
Narkoba dan Geguritan Sad Atatayi (Tembang tentang Enam Jenis Pembunuhan).
Karya dengan téma lama ataupun téma baru sama-sama untuk menyampaikan ajaran
moral, étika, dan spiritual. Orisinalitas karyanya bukan terletak pada cerita
tetapi pada tafsir atas kisah-kisah klasik yang disesuaikan dengan kontéks
kekinian.
Buku-buku itu terdiri dari 30-35
bait pupuh (tembang), tebalnya pun sekitar 35 halaman, menggunakan sekitar 10
macam pupuh seperti semarandana, ginada, pangkur, dan sinom. Bukan dimaksudkan
untuk menyampaikan cerita yang kompléks dengan plot berlapis, tetapi untuk
ditembangkan dalam kegiatan mocopotan atau gita santi.
Gita santi dalam tradisi Bali adalah
seni melantunkan tembang dengan irama indah dan memberikan arti baris demi
baris atas bait pupuh dengan bahasa yang lugas dan seni. Kegiatan gita santi
juga diiringi dengan gamelan sehingga tampil seperti pertunjukan seni suara.
Untuk satu buku, bisa diselesaikan dalam waktu dua jam.
Buku-buku geguritan karya Suprapta
banyak yang dicetak ulang dan beredar di kalangan kelompok gita santi
(pesantian) di Bali dan juga di kalangan warga Bali di perantauan. Selain itu,
Nyoman Suprapta juga memiliki kelompok gita santi bernama Sanggar Sunari dengan
anggota anak-anak dan remaja yang mengadakan pentas-pentas untuk upacara atau
ritual.
Suprapta juga sering membina
kelompok gita santi sekolah-sekolah dengan mengajarkan tembang dan seni
mengartikan tembang. Usaha Suprapta membina bahasa dan sastera Bali dalam
beberapa tahun belakangan ini patut juga dicatat.
Sebagai penghargaan kepada usaha membina
dan mengembangkan bahasa dan sastera Bali, Hadiah Sastera “Rancagé” 2013
sastera Bali untuk jasa dihaturkan kepada I Nyoman Suprapta berupa piagam dan
uang (Rp 5 juta).
Hadiah Sastera Rancage merupakan
penghargaan untuk penulis sastra daerah, seperti Sunda, Jawa, Bali, dan
Lampung. [b]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar