Satu buah puisi sudah
rampung ditulis. Garis kalimat yang demikian rapi. Semula arahnya lebih banyak melintang
dan condong ke kiri. Namun atas bimbinganku dia mulai membenahi dengan gaya
khas yang selanjutnya ketika beranjak dewasa nanti sudah menjadi karakter
tulisan. Dengan melihat sepintas saja gaya bahasanya orang akan mengenal
penulisnya. Hari ini Nampak dia tengah duduk santai di ruang belajar, matanya
asyik tertuju pada sebuah judul berita Koran.
“Pekak, coba baca berita ini, “ ujarnya sembari
menyodorkan Koran kepadaku. Koran terbitan daerah. Tertulis sebuah judul berita
pada halaman 2 : KECEWA PUTUSAN HAKIM, DEWA SUTAMA AJUKAN BANDING. Aku baca
tentang kasus hukum seorang mantan guru SDN di sekitar kota ini. Apanya yang
aneh. Kupikir semua kasus hukum yang menyangkut rakyat kecil tidak menjadi
sorotan yang berarti di mata publik. Karena semua mata saat ini lebih tertuju
pada kasus Hambalang, kasus prahara demokrat, kasus daging sapi, kasus banjir
Jakarta dan Jokowi sampai melongok-longok ke selokan. Bukan kasus di daerah
terpencil, terlebih lagi mengenai kasus pencabulan seorang guru. Kasus ini
kurang penting dibaca, menurutku. Kasus pencabulan bukan suatu berita heboh.
Itu manusiawi. Kasus umum. Kasus yang tidak perlu terlalu dibesar-besarkan.
Apalagi sampai melibatkan LSM, masyarakat bahkan melibatkan media massa. Ini
kasus sederhana. Dan penanganannyapun mesti sesederhana mungkin. Tidak perlu
rumit-rumit. Apalagi ada kesepakatan MOU antara PGRI dengan kepolisian yang
mengatur tentang guru yang terlibat tindak pidana. Sudah ada pedoman yang
mengatur.
“Apa anehnya cu? Ini kan peristiwa biasa,’ aku meletakkan
Koran itu di atas meja dengan rasa kurang begitu greget membaca sebuah berita.
Kurang seru kupikir berita seorang guru.
“Badaaaah, pekak ini ketinggalan jaman. Pekak rupanya
tidak mengikuti kasus ini dari awal. Ini kasus tentang dugaan pencabulan guru
pada siswinya namun yang oleh guru tersebut sama sekali tidak pernah merasa
melakukan apa-apa. Makanya pekak rajin-rajinlah baca berita. Jangan hanya
nonton sinetron saja.”
Aku setengah terkekeh mendengar cucuku yang dulu sering
aku gendong kini berbalik sudah bisa menguliahi aku. Entah kapan dewasanya
sehingga tanpa aku sadari dia sudah demikain fasih bertutur tentang peristiwa
sebuah berita dalam Koran.
“Kalau saja hanya menyenggol seorang siwi kena vonis 5
tahun penjara berarti kalau meremas,memperkosa dan sejenisnya yang termasuk
perbuatan biadab akan kena hukuman 5 kali lipat dong kak. Berarti akan 25 tahun
mendekam di penjara. Kalau dakwaan yang dipaksa-paksa para saksi dan
kenyataannya sendiri saksi korban sendiri malah meragukan tindakan guru ini,
atau ragu-ragu memberi kesaksian kalau sesungguhnya yang dianggap korban tidak
memperoleh perlakuan amoral dari gurunya. Berarti kesaksian ini berdasar hanya
cerita yang dikarang-karang sendiri alias rekayasa kak. Aku heran pekak. Yang
direkayasa bukti dan saksi macam begini bisa kena hukuman 5 tahun. BAP dari
kepolisian jauh berbeda dengan keterangan saksi dan hakim begitu saja memvonis
5 tahun. Ini hukuman macam apa kak? Berdasarkan hanya kesaksian sebuah cerita
yang belum jelas datanya dan bukti yang demikian lemah mampu membuat hakim
ketok palu menjatuhkan hukuman. Dimana letak keadilan itu kak?”
“Hush! Jangan terlalu mendalami sebuah berita cu, Anak
kecil belum pantas bicara soal keadilan” aku mengingatkan.
“Sekarang coba kita maknai arti kata-kata menyenggol itu
sendiri. Menyenggol itu kalau kita artikan sebagai sebuah benturan yang tidak
sengaja. Beberapa ibu-ibu di pasar menjerit kaget karena ‘tersenggol’ ibu-ibu
yang lain di lokasi pasar yang berdesak-desakan itu. Nah ibu yang menjerit
itupun tak terima karena kena senggol, akhirnya melaporkan ibu yang menyenggol
itu ke kantor polisi. Hahahaha kalau hanya kasus menyenggol saja di laporkan ke
polisi dan di mejahijaukan, akan berapa banyak kasus-kasus serupa kak. Betapa
bingungnya pengadilan menangani kasus senggol-menyenggol? Apalagi kalau pelapor
tidak disertai dengan bukti dan saksi yang kuat, maka mulailah dia mengupayakan
alur media massa, membuat opini serupa kasus mantan guru SDN ini sebagai sebuah
pembenaran pencabulan. Lalu mengerahkan massa dan pake acara menyusun kekuatan
lewat LSM dan beberapa pejabat penting di kota ini. Wow…wow..wow…menggelikan
kak.” Seperti tidak mampu direm cucuku semakin nyeroscos saja. Kalau sudah
demikian aku jadi teringat mendiang ibunya sebagai calon pengacara yang sedang
sibuk-sibuk menyiapkan disertasi pengajuan dengan mengklaim beberapa peristiwa
hukum. Bila perlu yang sulit diklaimpun akan di’peristiwakan’ sehingga menjadi
sebuah pertimbangan untuk meraih gelar doktoral yang terhormat di mata
khalayak. Sepertinya semangat yang berapi-api dari sosok ibu itu mengalir pada
jiwa anak ini.
Aku geleng-geleng kepala. Demikian tajamnya dia merunut
sebuah pemberitaan sebuah media massa di usianya yang masih demikian belia. Tak
habis pikir aku mendengar kata-katanya yang bagai peluru kendali keluar tanpa
kendali sembari nyiprat-nyiprat berbaur dengan air liurnya. Sebagian ada
membasahi wajahku yang peyot.
“Iya…iya terus apa yang kamu peroleh dari berita itu cu?”
akhirnya aku bertanya setelah lelah mendengar ocehannya.
“Aku salut, mantan guru ini mau ajukan banding, pekak,”
ujarnya dengan mata berpijar.
“Terus?”
“Ya semoga saja keadilan berpihak padanya, kalau
sesungguhnya apa yang dituduhkan padanya itu sesungguhnya tidak pernah dia
lakukan. Aneh kan tidak melakukan perbuatan yang dituduhkan dipaksa untuk
mengakui. Coba pekak baca nih, apa kata guru itu, Ia merasa demikian shock.
Kasihan dia. Masak di vonis bersalah atas perbuatan yang tidak pernah dia
lakukan. Hukum macam apa ini?”
“iya…iya terus?”
“Iya pekak aku mendapatkan inspirasi sebuah puisi dari
peristiwa ini.”
“Hmmmm…”, aku hanya berdehem. Kulihat cucuku kian
bersemangat. Sepertinya semangatnya susah untuk dipadamkan.
“Pekak ndak pingin tahu apa puisi saya itu?”
Aku menggeleng.
“Sama sekali pekak tidak tertarik dengan puisi saya ini?”
“Apa?”
“Pekak ndak pingin tahu judul puisi saya ini, puisi yang
saya tulis semalaman, pekak?”
Kulihat cucuku menyodorkan sebuah kertas tulisan
tangannya sendiri, tulisan yang demikian indah kulihat sepintas lalu. Hmmm
cucuku pintar menulis puisi.
“Apa judulnya,cu?” akhirnya aku bertanya. Semoga seusai
menanyakan ini, dia mau menutup pembicaraan ini, karena aku sudah ngantuk berat
mendengar ocehannya yang tidak karuan.
“Ini menyiratkan tentang ketidak adilan pekak. Tentang
hukum yang tidak pernah mau berpihak pada rakyat kecil. Hukum telah jadi
komoditi dan di perdagangkan. Pasal-pasal bisa menjadi sebuah tender dalam
sebuah proyek. Dan pasal dalam hukum itu bisa dimistik maknanya. Hukum hanya
milik penguasa, kaum berduit dan orang-orang terkenal. Keadilan dalam hukum
bukan milik rakyat kecil, pekak karena….”
\ “Iya apa judulnya?!!” aku memotong omongannya
yang kian berapi-api.
“Judulnya KEADILAN MALU-MALU MAUNYA MANDUL….”
“…..!!!???”
Pekaaaaaaaaaaaaaaaakkkkkkkkk!!!!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar