Kamis, 01 Maret 2012

NOLAPAKHYANA PARWA (53)


Adalah seorang Raja, di negeri Nishadha, bernama Nala, putra raja Wirasena. Raja Nala adalah seorang yang kuat dan gagah berani. Beliau sangat akhli mengemudikan kereta. Dalam bidang itu tak seorang pun dapat menandinginya. Beliau adalah seorang raja yang sangat disegani oleh Raja-Raja lainnya. Mempunyai cukup pengetahuan atas isi Weda. Seorang pahlawan perang yang agung. Beliau tidak pernah berdusta, mempunyai bala tentara yang kuat, tetapi sayangnya bahwa beliau amat gemar bermain dadu. Beliau merupakan tokoh yang dicintai dan dipuja oleh pria dan wanita.
            Di negeri lain, yaitu di Widharba ada pula seorang Raja yang sama utamanya dengan Raja Nala, bernama Bhima. Beliau ini tidak berputera. Segala usaha sudah dijalankannya untuk mendapat keturunan, tetapi belum berhasil.
            Pada suatu hari datanglah seorang Brahma Rihsi pada beliau, Damana namanya. Rishi Damana dihaturi makanan yang lezat citarasanya dan dilayani dengan sopan santun oleh Raja dan permaisurinya. Atas jasa itu Raja diberi anugerah, bahwa beliau akan memperoleh anugerah keturunan. Kemudian Raja Bhima berputera empat orang yakni: (1) Damayanti (perempuan), (2) Dama, (3) Danta, dan (4) Damana (semuanya lelaki). Dewi Damayanti sangat cantik parasnya dan termashur kemana-mana serta menjadi pujaan lelaki di seluruh dunia.
            Raja Nala dan Dewi Damayanti telah sama mendengar keutamaan pribudinya satu sama lain. Tanpa diinsyafinya, maka tumbuhlah cinta – bakti pada diri mereka masing-masing, cinta yang kian hari kian subur, meskipun paras- muka dari pujaannya itu belum pernah dilihatnya. Raja Nala tidak dapat menahan rindu hatinya. Cinta hatinya menggelora dalam kalbunya, sehingga sebagian besar waktunya dihabiskannya untuk bertamasya dalam tamannya agar terhibur hatinya yang rindu itu. Tiba-tiba ia melihat banyak angsa yang bulunya kuning keemas-emasan berkeliaran dalam tamannya. Seekor diantaranya berhasil ditangkapnya. Maka terjadilah sesuatu yang aneh. Angsa itu berbicara seperti manusia, katanya, “Wahai, paduka tuanku Raja, junjungan semesta alam. Paduka tuanku menangkap diri hamba pastilah bukan untuk disembelih. Ampunilah kiranya hamba ini. Hamba hendak mempersembahkan suatu jasa terhadap Paduka Tuanku. Sekiranya paduka tuanku dapat menyetujuinya, akan hamba ceritakan keutamaan prilaku dan kemuliaan paduka tuanku pada Dewi Damayanti, dengan cara yang demikian menarik hatinya, sehingga beliau tidak suka lagi mengindahkan orang lain, selain paduka tuanku sendiri”.
            Angsa itu kemudian dilepaskan oleh Raja Nala, lalu terbang bersama kawannya menuju Widharba. Angsa-angsa itu turun di taman Dewi Damayanti. Kebetulan sekali Dewi Damayanti tatkala itu bertamasya di dalam taman itu. Beliau lalu menyuruh dayang-dayangnya menangkap angsa itu, seekor angsa dikejar masing-masing oleh seorang dayang. Maka Dewi Damayanti tinggal seorang diri saja, karena ditinggalkan oleh semua dayang-dayangnya memburu angsa yang menarik hati itu. Seekor angsa masih tertinggal, dan angsa itu dengan mudah dapat ditangkap oleh Dewi Damayanti. Terjadilah pula suatu yang ajaib. Angsa itu berbicara seperti manusia, katanya,”Wahai Dewi Damayanti, hamba mengenal seorang raja di negeri Nishadha yang bernama Raja Nala. Kebagusan parasnya seperti Dewa Aswin, tiada manusia menandingi keelokan wajahnya itu. Bentuk perawakannya seperti Kandarpa. Jikalau paduka tuan putri menjadi permaisurinya, kehidupan dan kecantikan Paduka tuan putri akan berguna. Hamba banyak mengenal orang lain, misalnya : Gandharwa, Naga, Rakshasa, namun hamba belum pernah menjumpai orang seperti Raja Nala. Sebagaimana halnya paduka tuan putri laksana permata diantara para wanita, seperti itu pula halnya Raja Nala adalah adalah insan utama diantara para pria.”
(penulis, I Gusti Ngurah Ketut Sangka, Kerambitan 24 oktober 1964)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar