Senin, 01 April 2013

CINTA PISANG GORENG



Terlalu sulit membedakan, mana cinta sejati dan manapula sesungguhnya cinta palsu. Aku sering mendengar kata-kata cinta hanya lewat lagu doang, namun bukan menampik kenyataan sesungguhnya dalam hidupku. Kalau membedakan pisang dan singkong memang mudah. Dilihat dari bentuknya sudah jelas. Namun kalau cinta tidak bisa dilihat sebagai pisang ataupun sebagai singkong. Cinta adalah sesuatu yang……….
            “Hahahaha ada ada saja kamu kawan. Mana ada cinta dipandang dari sudut pisang dan singkong segala. Gila kamu!” Erlan mengumpat
            “Iya, kalau pisang goreng pasti ada. Mengunyahnya tidak membutuhkan cinta. Cukup dengan perut yang lapar,” Nyoman ikut-ikutan nyeletuk diikuti ketawanya yang keras.
            Aku lihat kedua teman karibku dengan perasaan aneh. Rasanya apa yang kupikirkan seperti apa yang ada dalam pikirannya. Hebat, wuih bener-bener hebat. Itu artinya perasaan berteman yang mendarah daging sampai merasuk ke dalam pikiran. Hingga sering kerasukan dibuatnya. Kenapa mereka memberi komentar demikian? Ah, ada-ada saja jalan pikiranku.
            “Lho, memangnya kalian tahu apa yang ingin aku omongkan?”
            “Iya jelas tahu dunk!”  Keduanya serempak menjawab seperti dalam sebuah komando
            “Apa?”
            “Hehehe tentang hubunganmu yang lagi kacau dengan Arimbi kan?” Nyoman menjawab.
            “Cerita darimana?” Aku bertanya kaget. Begitu cepatnya berita itu menyebar. Kupikir mereka ini hanya sibuk memikirkan sekolah, sibuk beraktifitas dalam organisasi ataupun sibuk berdemo. Ternyata untuk urusan pribadipun mereka masih peduli. Ini memang benar-benar kawan yang masih memikirkan diriku, mereka adalah orang-orang yang peduli terhadap lingkungan di sekitarnya. Tapi, ah, jangan-jangan mereka nanti akan mengolok aku. Ya, bisa saja dengan cara mereka memancing bicara akhirnya aku akan bercerita banyak dalam segala hal mengenai hubunganku dengan Arimbi. Kemudian secara diam-diam mereka menyebar cerita itu ke teman-teman sekolah yang lain. Menebar dalam gossip murahan. Iya mereka akan menceritakan semuanya. Tentu saja. Cerita ini akan menghebohkan kawan-kawan yang lain. Iya pasti demikian, karena kan aku adalah tokoh yang terkenal dan sangat beken. Baru-baru ini aku memerankan tokoh Arjuna dalam sinetron tayangan televisi dengan thema ‘ Arjuna memburu senggeger’ yang dalam cerita itu aku memerankan tokoh Arjuna si buruk rupa. Padahal dalam cerita sesungguhnya Arjuna itu orangnya ganteng, elok rupawan. Kok bisa ya sutradara merubah keadaan yang sesungguhnya? Ah. Aku ganteng kok!
            “Ha..ha..ha, ganteng katamu? Semprul! Kamu itu menang ganteng karena ngetop Jun, “ terdengar tawa khas Nyoman yang membuyarkan lamunanku tentang tokoh Arjuna nan ganteng. Busyet! Temenku ini bisa-bisa aja. Arimbi…..Arimbi….., semudah itukah hatimu berpaling? Padahal sudah sering aku bawa kamu jalan-jalan ke mall, aku bawa kamu berenang di caprio sambil duduk-duduk lesehan maem gurami, aku traktir mack Donald, kau mencicipi oleh-oleh pizza hut setiap aku ngapel ke rumahmu. Oh, hanya gara-gara xenia kau jatuh kepelukan Sekuni. Dasar kamu cewek matre. Matreeeeeee norak! Udah berapa duit aku habiskan buat kamu. Kantongku menipis. Saldo ATMku kian menciut. Engkau, Arimbi? Uh, malah bibirmu kau berikan si Sekuni brengsek itu untuk mengecup sesuka-sukanya. Bahkan mungkin juga engkau ikut menikmati hingga jontor. Dasar wanita murahan!
            “Tenang, Jun. Nanti Arimbi-mu yang sudah diambil orang kita umpan pake senggeger, gimana? Pasti dia akan berpaling lagi padamu. Pasti dia akan kepincut lagi ama sadel Variomu yang benar-benar pinky hehehe. Simple comme bonjour!” Erlan memperbaiki kekalutanku yang tak mampu bersembunyi dari penglihatan mereka berdua. Oh, dasar nasib apes. Mana Vario belum lunas cicilannya.
            “Bah! Senggeger, lagi-lagi senggeger. Masak Arjuna seganteng aku mesti pake ilmu senggeger segala? Nggak-lah!” Aku mengelak dan menolak saran temanku itu. Aku percaya senggeger. Aku percaya ilmu pelet dan aku tahu keampuhannya. Kemarin aja Subadra aku kasi kerlingan mantap sesudahnya habis-habisan ngejar aku. Bahkan sampai ke rumah selalu diikuti. Mau berak aja sampai dia bela-belain untuk setia menunggu ikutan jongkok di depan pintu. Oh, lugunya Subadra. Untung hanya satu punya rahim. Padahal kalau sepuluh rahimnya, mungkin sepuluh kali bermukim janin-janinku yang nakal. Lha, kok bisa? Satu rahimpun cukup menghasilkan sepuluh kepala bayi. Ah, bingung aku kalau memahami soal itu. Padahal dewi Gendari sendiri nggak pernah ngurus berapa rahimnya, anaknya malah seratus. Wow!
            “Tuh, kan! Ngelantur lagi?” Erlan mengagetkan pikiranku yang menerawang.  
            Iya, bener! Aku malah ngelantur. Kok malah larinya ke rahim segala. Padahal aku mengingat bagaimana kesetiaan Subadra menunggu aku berak di WC. Bah! Sesungguhnya yang ingin aku luruskan pikiranku bahwa keluguan Subadra tak beda jauh dengan keluguan Dewi Drupadi yang hingga kini masih setia mendampingiku. Selalu setia mengantarkan aku handuk manakala di kamar mandi kelupaan terlanjur tubuh terguyur air. Dan mereka biasanya berebutan mengantarkan..tok-tok-tok, berulang-ulang mengetok pintu. Seolah-olah kedua-duanya berebutan ingin menerobos masuk kamar mandi…wuihhhh!! Bangga nian rasanya. Padahal aku sudah bosan melihat penampilan, gerak-gerik dan kemanjaan mereka.
            Karena itu aku percaya ilmu itu. Aku sangat mempercayai senggeger. Namun senggeger jaman sekarang cukup dengan mobil Jepang saja sudah mampu membuat cewek-cewek kepincut.
            “Eh, tetanggaku hingga kini rukun-rukun aja. Padahal dulu dia tidak menyangka bakal bisa menyunting wanita secantik itu. Wanita yang menjadi istrinya sekarang. Lihatlah lakinya, mana udah pendek, gemuk dan botak lagi! Uts! Senggeger itu mampu membuat hidupnya bahagia.” Suara Erlan kian berapi-api.
            Aku mengangguk-angguk. Bukan setuju dengan ucapannya. Hanya bingung. Tidak mengerti dan sangat mustahil. Masak sih senggeger yang tidak jelas juntrungnya mampu membuat hidup orang bahagia? Apa nggak kebalik. Jangan-jangan hanya terlihat luarnya saja yang bahagia namun sesungguhnya bagian dalam kehidupannya malah justru amburadul. Ah, kawanku sungguh lucu kata-katanya hari ini.
            “Terus….trus gimana ceritanya?”
            “Cerita apa?”
            “Itu, tentang tetanggamu yang botak itu”
            “Ya, begitulah…..”
            “Begitu bagaimana?”
            “Iya jatuh cinta menikah dan punya anak”
            “Maksudku apakah dalam pernikahan itu mereka bahagia?”
            “Iya bahagia”
            “Apa tidak pernah terjadi pertengkaran?”
            “Pernah.”
            “Terus?”
            “Ya baikan lagi, sama seperti tetanggaku Anton dan istrinya atau mbak Min dan suaminya, ya biasa-biasalah. Dan aku tahu pasangan yang lainpun pasti demikian. Masak mulus-mulus aja jalan perkawinan mereka? Pastilah sekali waktu ada perdebatan, ada ribut mulut kecil-kecilan terus ya terus ada sedikit pertempuran. Itu biasa dalam rumah tangga. Besok dilihat tetangga yang lain, ya biasa-biasa lagi.”
            “Bagaimana dengan yang mempergunakan jalan itu?”
            Arjuna melipat jidatnya. Menatap temannya. Pikirnya, temannya ini lama-lama selain pertanyaannya aneh juga sikapnya seperti menyelidik. Bukan saja membayang-bayanginya, tapi malah lebih jauh lagi. Mengurus orang-orang yang tidak ada sangkut paut dengan dirinya. Aku yang tidak ada urusan asmara dengannya juga ikut jadi terlibat. Terlibat dalam pembicaraan. Bukan melibatkan asmaranya. Aku juga tidak yakin, apakah temannku ini bisa bermain asmara atau pernah bergelut dengan asmara. Atau malah sebaliknya, seorang pemain asmara yang ulung, yang tengah menyimpan,mempersiapkan dan sewaktu-waktu membentangkan busur asmara kepada setiap pilihan yang dia suka.
            “Membentangkan busur asmara?” Dia berteriak sambil memandang Arjuna kalut.
            Arjuna tidak kaget lagi. Berarti temannya ini memang sang cenayang tangguh. Mampu membaca apa yang tengah dipikirkan.
            “Hmm, kalau begitu coba tolong kamu baca apa yang dipikirkan Arimbi saat ini, kenapa dia malah berpaling dariku,” Arjuna bertanya setelah berpikir sesaat. Bisa juga dimanfaatkan kemahiran dan ketrampilan temannya dalam membaca pikiran orang.
            “Goblok, kamu!”
            Arjuna kaget. Lho, kok bisa goblok gimana sih? Belum sempat merapal mantra, belum terpejam-pejam dalam kontak pikiran sudah asal memaki sembarang aja.
            “Iya, dasar goblok, tidak perlu dibaca pikirannya juga yang pasti Arimbi nggak pernah akan mikirin kamu.” Ujar temannya.
            Wah, ini yang dibaca pikiranku, bukan jalan pikiran Arimbi. Dari tadi dia hanya mampu membaca pikiran Arjuna, jangan-jangan dalam radius sekian kilometer temannya justru tidak mampu membaca pikiran Arimbi yang lagi enak-enak berenang di hutan Dandaka.
            “Yang ada dalam pikiran Arimbi itu hanyalah Bima. Bukan kamu Jun. Kok sejarah mau kau rubah seenaknya. Kamu itu iparnya, Jun. janganlah macam-macam mau merubah sejarah.” Temannya lebih detail menjelaskan.
            “Terus….terus…gimana dengan Sekuni?”
            “Lha, lagi lagi kamu ngomong Sekuni.”
            “Terus pisang goreng itu gimana?” Arjuna semakin bego.
            Teman-temannya pada ngakak ketawa.
            “hei, aku jelaskan ya. Kalau kau yang bawakan pisang goreng, sebaiknya buat kita-kita aja. Percuma. Kau bawakan dia. Pasti akan ditolak mentah mentah.”
            Arjuna menatap Nyoman dan teman-temannya yang lain dalam versi bergantian. Dalam roman tanda Tanya dan pula lewat ekspresi berharap kejelasan.
            “Nggak ngerti?”
            Arjuna menggeleng.
            “Gini aja deh biar simple. Variomu kau tukar dengan Xenia, lalu kau antarkan cewek kau pisang goreng hehehehe, aku jamin.”
            Arjuna manggut-manggut. Baru ngerti. Sekarang pikirannya bercahaya terang. Sekarang dia kagum dan benar-benar salut kalau Nyoman ini memang benar-benar seorang cenayang yang hebat. Berarti kalau dengan Xenia dan pisang goreng…. Jelas tak perlu senggeger. Iya, apa gunanya ilmu pemikat itu kalau ada senggeger buatan Jepang yang jauh lebih ampuh?  Dan tak perlu baca-baca mantra segala, iya nggak? Hehehe benar juga tuh!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar