Terlalu
sulit membedakan, mana cinta sejati dan manapula sesungguhnya cinta palsu. Aku
sering mendengar kata-kata cinta hanya lewat lagu doang, namun bukan menampik
kenyataan sesungguhnya dalam hidupku. Kalau membedakan pisang dan singkong
memang mudah. Dilihat dari bentuknya sudah jelas. Namun kalau cinta tidak bisa
dilihat sebagai pisang ataupun sebagai singkong. Cinta adalah sesuatu yang……….
“Hahahaha ada ada saja kamu kawan.
Mana ada cinta dipandang dari sudut pisang dan singkong segala. Gila kamu!”
Erlan mengumpat
“Iya, kalau pisang goreng pasti ada.
Mengunyahnya tidak membutuhkan cinta. Cukup dengan perut yang lapar,” Nyoman
ikut-ikutan nyeletuk diikuti ketawanya yang keras.
Aku lihat kedua teman karibku dengan
perasaan aneh. Rasanya apa yang kupikirkan seperti apa yang ada dalam
pikirannya. Hebat, wuih bener-bener hebat. Itu artinya perasaan berteman yang
mendarah daging sampai merasuk ke dalam pikiran. Hingga sering kerasukan
dibuatnya. Kenapa mereka memberi komentar demikian? Ah, ada-ada saja jalan
pikiranku.
“Lho, memangnya kalian tahu apa yang
ingin aku omongkan?”
“Iya jelas tahu dunk!” Keduanya serempak menjawab seperti dalam
sebuah komando
“Apa?”
“Hehehe tentang hubunganmu yang lagi
kacau dengan Arimbi kan?” Nyoman menjawab.
“Cerita darimana?” Aku bertanya
kaget. Begitu cepatnya berita itu menyebar. Kupikir mereka ini hanya sibuk
memikirkan sekolah, sibuk beraktifitas dalam organisasi ataupun sibuk berdemo.
Ternyata untuk urusan pribadipun mereka masih peduli. Ini memang benar-benar
kawan yang masih memikirkan diriku, mereka adalah orang-orang yang peduli
terhadap lingkungan di sekitarnya. Tapi, ah, jangan-jangan mereka nanti akan
mengolok aku. Ya, bisa saja dengan cara mereka memancing bicara akhirnya aku
akan bercerita banyak dalam segala hal mengenai hubunganku dengan Arimbi.
Kemudian secara diam-diam mereka menyebar cerita itu ke teman-teman sekolah
yang lain. Menebar dalam gossip murahan. Iya mereka akan menceritakan semuanya.
Tentu saja. Cerita ini akan menghebohkan kawan-kawan yang lain. Iya pasti
demikian, karena kan aku adalah tokoh yang terkenal dan sangat beken. Baru-baru
ini aku memerankan tokoh Arjuna dalam sinetron tayangan televisi dengan thema ‘
Arjuna memburu senggeger’ yang dalam cerita itu aku memerankan tokoh Arjuna si
buruk rupa. Padahal dalam cerita sesungguhnya Arjuna itu orangnya ganteng, elok
rupawan. Kok bisa ya sutradara merubah keadaan yang sesungguhnya? Ah. Aku
ganteng kok!
“Ha..ha..ha, ganteng katamu?
Semprul! Kamu itu menang ganteng karena ngetop Jun, “ terdengar tawa khas
Nyoman yang membuyarkan lamunanku tentang tokoh Arjuna nan ganteng. Busyet!
Temenku ini bisa-bisa aja. Arimbi…..Arimbi….., semudah itukah hatimu berpaling?
Padahal sudah sering aku bawa kamu jalan-jalan ke mall, aku bawa kamu berenang
di caprio sambil duduk-duduk lesehan maem gurami, aku traktir mack Donald, kau
mencicipi oleh-oleh pizza hut setiap aku ngapel ke rumahmu. Oh, hanya gara-gara
xenia kau jatuh kepelukan Sekuni. Dasar kamu cewek matre. Matreeeeeee norak!
Udah berapa duit aku habiskan buat kamu. Kantongku menipis. Saldo ATMku kian
menciut. Engkau, Arimbi? Uh, malah bibirmu kau berikan si Sekuni brengsek itu
untuk mengecup sesuka-sukanya. Bahkan mungkin juga engkau ikut menikmati hingga
jontor. Dasar wanita murahan!
“Tenang, Jun. Nanti Arimbi-mu yang
sudah diambil orang kita umpan pake senggeger, gimana? Pasti dia akan berpaling
lagi padamu. Pasti dia akan kepincut lagi ama sadel Variomu yang benar-benar
pinky hehehe. Simple comme bonjour!” Erlan memperbaiki kekalutanku yang tak
mampu bersembunyi dari penglihatan mereka berdua. Oh, dasar nasib apes. Mana
Vario belum lunas cicilannya.
“Bah! Senggeger, lagi-lagi
senggeger. Masak Arjuna seganteng aku mesti pake ilmu senggeger segala?
Nggak-lah!” Aku mengelak dan menolak saran temanku itu. Aku percaya senggeger.
Aku percaya ilmu pelet dan aku tahu keampuhannya. Kemarin aja Subadra aku kasi
kerlingan mantap sesudahnya habis-habisan ngejar aku. Bahkan sampai ke rumah
selalu diikuti. Mau berak aja sampai dia bela-belain untuk setia menunggu
ikutan jongkok di depan pintu. Oh, lugunya Subadra. Untung hanya satu punya
rahim. Padahal kalau sepuluh rahimnya, mungkin sepuluh kali bermukim
janin-janinku yang nakal. Lha, kok bisa? Satu rahimpun cukup menghasilkan
sepuluh kepala bayi. Ah, bingung aku kalau memahami soal itu. Padahal dewi
Gendari sendiri nggak pernah ngurus berapa rahimnya, anaknya malah seratus.
Wow!
“Tuh, kan! Ngelantur lagi?” Erlan
mengagetkan pikiranku yang menerawang.
Iya, bener! Aku malah ngelantur. Kok
malah larinya ke rahim segala. Padahal aku mengingat bagaimana kesetiaan
Subadra menunggu aku berak di WC. Bah! Sesungguhnya yang ingin aku luruskan
pikiranku bahwa keluguan Subadra tak beda jauh dengan keluguan Dewi Drupadi
yang hingga kini masih setia mendampingiku. Selalu setia mengantarkan aku
handuk manakala di kamar mandi kelupaan terlanjur tubuh terguyur air. Dan
mereka biasanya berebutan mengantarkan..tok-tok-tok, berulang-ulang mengetok
pintu. Seolah-olah kedua-duanya berebutan ingin menerobos masuk kamar
mandi…wuihhhh!! Bangga nian rasanya. Padahal aku sudah bosan melihat
penampilan, gerak-gerik dan kemanjaan mereka.
Karena itu aku percaya ilmu itu. Aku
sangat mempercayai senggeger. Namun senggeger jaman sekarang cukup dengan mobil
Jepang saja sudah mampu membuat cewek-cewek kepincut.
“Eh, tetanggaku hingga kini
rukun-rukun aja. Padahal dulu dia tidak menyangka bakal bisa menyunting wanita
secantik itu. Wanita yang menjadi istrinya sekarang. Lihatlah lakinya, mana
udah pendek, gemuk dan botak lagi! Uts! Senggeger itu mampu membuat hidupnya
bahagia.” Suara Erlan kian berapi-api.
Aku mengangguk-angguk. Bukan setuju
dengan ucapannya. Hanya bingung. Tidak mengerti dan sangat mustahil. Masak sih
senggeger yang tidak jelas juntrungnya mampu membuat hidup orang bahagia? Apa
nggak kebalik. Jangan-jangan hanya terlihat luarnya saja yang bahagia namun
sesungguhnya bagian dalam kehidupannya malah justru amburadul. Ah, kawanku
sungguh lucu kata-katanya hari ini.
“Terus….trus gimana ceritanya?”
“Cerita apa?”
“Itu, tentang tetanggamu yang botak
itu”
“Ya, begitulah…..”
“Begitu bagaimana?”
“Iya jatuh cinta menikah dan punya
anak”
“Maksudku apakah dalam pernikahan
itu mereka bahagia?”
“Iya bahagia”
“Apa tidak pernah terjadi pertengkaran?”
“Pernah.”
“Terus?”
“Ya baikan lagi, sama seperti
tetanggaku Anton dan istrinya atau mbak Min dan suaminya, ya biasa-biasalah.
Dan aku tahu pasangan yang lainpun pasti demikian. Masak mulus-mulus aja jalan
perkawinan mereka? Pastilah sekali waktu ada perdebatan, ada ribut mulut
kecil-kecilan terus ya terus ada sedikit pertempuran. Itu biasa dalam rumah
tangga. Besok dilihat tetangga yang lain, ya biasa-biasa lagi.”
“Bagaimana dengan yang mempergunakan
jalan itu?”
Arjuna melipat jidatnya. Menatap temannya.
Pikirnya, temannya ini lama-lama selain pertanyaannya aneh juga sikapnya
seperti menyelidik. Bukan saja membayang-bayanginya, tapi malah lebih jauh
lagi. Mengurus orang-orang yang tidak ada sangkut paut dengan dirinya. Aku yang
tidak ada urusan asmara dengannya juga ikut jadi terlibat. Terlibat dalam
pembicaraan. Bukan melibatkan asmaranya. Aku juga tidak yakin, apakah temannku
ini bisa bermain asmara atau pernah bergelut dengan asmara. Atau malah
sebaliknya, seorang pemain asmara yang ulung, yang tengah
menyimpan,mempersiapkan dan sewaktu-waktu membentangkan busur asmara kepada
setiap pilihan yang dia suka.
“Membentangkan busur asmara?” Dia
berteriak sambil memandang Arjuna kalut.
Arjuna tidak kaget lagi. Berarti
temannya ini memang sang cenayang tangguh. Mampu membaca apa yang tengah
dipikirkan.
“Hmm, kalau begitu coba tolong kamu
baca apa yang dipikirkan Arimbi saat ini, kenapa dia malah berpaling dariku,”
Arjuna bertanya setelah berpikir sesaat. Bisa juga dimanfaatkan kemahiran dan
ketrampilan temannya dalam membaca pikiran orang.
“Goblok, kamu!”
Arjuna kaget. Lho, kok bisa goblok
gimana sih? Belum sempat merapal mantra, belum terpejam-pejam dalam kontak
pikiran sudah asal memaki sembarang aja.
“Iya, dasar goblok, tidak perlu
dibaca pikirannya juga yang pasti Arimbi nggak pernah akan mikirin kamu.” Ujar
temannya.
Wah, ini yang dibaca pikiranku,
bukan jalan pikiran Arimbi. Dari tadi dia hanya mampu membaca pikiran Arjuna,
jangan-jangan dalam radius sekian kilometer temannya justru tidak mampu membaca
pikiran Arimbi yang lagi enak-enak berenang di hutan Dandaka.
“Yang ada dalam pikiran Arimbi itu
hanyalah Bima. Bukan kamu Jun. Kok sejarah mau kau rubah seenaknya. Kamu itu
iparnya, Jun. janganlah macam-macam mau merubah sejarah.” Temannya lebih detail
menjelaskan.
“Terus….terus…gimana dengan Sekuni?”
“Lha, lagi lagi kamu ngomong
Sekuni.”
“Terus pisang goreng itu gimana?”
Arjuna semakin bego.
Teman-temannya pada ngakak ketawa.
“hei, aku jelaskan ya. Kalau kau
yang bawakan pisang goreng, sebaiknya buat kita-kita aja. Percuma. Kau bawakan
dia. Pasti akan ditolak mentah mentah.”
Arjuna menatap Nyoman dan
teman-temannya yang lain dalam versi bergantian. Dalam roman tanda Tanya dan
pula lewat ekspresi berharap kejelasan.
“Nggak ngerti?”
Arjuna menggeleng.
“Gini aja deh biar simple. Variomu
kau tukar dengan Xenia, lalu kau antarkan cewek kau pisang goreng hehehehe, aku
jamin.”
Arjuna manggut-manggut. Baru ngerti.
Sekarang pikirannya bercahaya terang. Sekarang dia kagum dan benar-benar salut
kalau Nyoman ini memang benar-benar seorang cenayang yang hebat. Berarti kalau
dengan Xenia dan pisang goreng…. Jelas tak perlu senggeger. Iya, apa gunanya
ilmu pemikat itu kalau ada senggeger buatan Jepang yang jauh lebih ampuh? Dan tak perlu baca-baca mantra segala, iya
nggak? Hehehe benar juga tuh!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar